Kulon Progo, IDN Times – Tuginah, 50 tahun, dan puluhan warga lain adalah rombongan terakhir yang bertahan di dalam pagar kawasan yang akan disulap menjadi Yogyakarta International Airport (YIA) di pesisir Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo. Mereka bersikukuh menolak meninggalkan rumah dan lahan garapan demi bandara. Tak terhitung berapa kali perempuan yang menjanda usai suaminya meninggal pada 2016 itu berdiri berhadapan dengan aparat keamanan.
Tuginah masih ingat ketika bersama kakak perempuannya menghadang ratusan polisi yang mengamankan proses pengukuran lahan dan rumahnya. Ia juga menjerit ketika mesin ekskavator melantakkan tanaman cabainya yang akan dipanen pada 2018 pagi itu. Menyisakan onggokan cabai merah ranum yang berubah jadi sampah digulung tanah. Tak berapa lama, giliran rumah tempat berlindung dia dan empat anaknya gentian dilibas backhoe. Semua dihadapi penuh nyali.
“Sebagai perempuan, aku gak mau di belakang. Harus di depan. Meski kalah,” kata Tuginah saat ditemui di rumah barunya di Dusun Bugel, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo, 26 April 2020.
Kawasan yang disebut di dalam pagar itu sudah jadi bandara megah. Rencana pemindahan semua maskapai penerbangan dari Bandara Adisutjipto ke YIA pada akhir Maret 2020 lalu gagal karena virus corona. Namun promosi kemewahan bandara itu gencar diletupkan. Seolah ada yang terlupakan, ketika pesawat terbang dan mendarat di sana, ada air mata ratusan perempuan yang tumpah di atasnya.
“Penggusuran sudah diberitakan. Tak ada perubahan. Persoalannya, tidak ada keberlanjutan isu,” kata aktivis pendamping warga terdampak bandara, Pitra Hutomo dalam workshop “Pemberitaan Berbasis Gender pada Perempuan Terdampak Pembangunan Infrastruktur” di Auditorium Kampus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, 15 Januari 2020.
Tuginah adalah potret perempuan korban penggusuran bandara. Tak banyak yang tahu perempuan adalah kelompok rentan yang terdampak berat. Lahan pertanian subur mereka dirampas. Pekerjaan sebagai petani dan penghasilan hilang. Janji dapat pekerjaan di bandara diganjal diskriminasi umur, pendidikan, kompetensi, dan jenis kelamin. Perempuan harus bersiasat untuk menyambung hidup.
“Pembangunan itu sangat maskulin. Lingkungan sangat feminin. Di mana-mana lingkungan berkelindan dengan persoalan-persoalan perempuan,” kata jurnalis senior, Bambang Muryanto.