Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Cerita Perajin Mainan Edukasi di Bantul Menyambung Napas Digempur Produk Impor
‎Pemilik Yungki Edutoys, Siti Rachma Yuliati (61).(IDN Times/Daruwaskita)

Intinya sih...

  • Sejumlah pekerja memproduksi mainan edukasi anak jenis puzzle, termasuk pemotongan dan pengecatan

  • Pemilik Yungki Edutoys, Siti Rachma Yuliati, memulai usaha mainan edukasi anak sejak tahun 2010 dengan harga Rp10.000–Rp400.000

  • Yungki Edutoys mengalami penurunan omzet akibat produk impor yang murah, namun tetap bertahan dengan menjual stok daring dan merintis usaha day care untuk anak-anak

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bantul, IDN Times - Gudang di Jalan Ahmad Wahid No. 4, Padukuhan Ngentak, Kalurahan Baturetno, Kapanewon Banguntapan, Kabupaten Bantul, yang biasanya sepi kini kembali tampak beraktivitas. Beberapa pekerja terlihat memotong hingga mengecat papan kayu yang telah melalui proses penggergajian.

Gudang tersebut diketahui memproduksi mainan edukasi anak yang sempat laris sebelum pandemi COVID-19. Kini, produksinya dilakukan hanya berdasarkan pesanan. Di dalam gudang yang juga berfungsi sebagai tempat produksi, tampak ribuan mainan edukasi hasil produksi sebelum pandemi menumpuk, dipenuhi debu, dan terlihat kotor karena lama tersimpan.

‎1. Sejumlah pekerja tampak memproduksi mainan edukasi anak jenis puzzle

Rumah produksi mainan edukasi anak Yungki Edutoys. (IDN Times/Daruwaskita)

Salah seorang pekerja di gudang produksi mainan anak, Slamet, mengaku telah puluhan tahun membuat mainan edukasi. Ia bertugas menggergaji bahan sesuai pola yang telah digambar sebelumnya.

"Ini sedang menggergaji pola yang dibuat dalam papan berjenis MDF untuk dijadikan puzzle. Tidak rumit juga karena tinggal mengikuti pola yang dibuat di papan MDF," ujarnya saat ditemui IDN Times di rumah produksi mainan edukasi anak Yungki Edutoys, Senin (20/10/2025).

Sementara itu, Mawardi, pekerja lainnya di Yungki Edutoys, terlihat sibuk mengecat papan untuk puzzle serta potongan-potongan puzzle yang sudah melalui proses pemotongan dan penghalusan.

"Warna puzzle bisa bermacam-macam sesuai dengan gambarnya," ungkapnya.

2. Memulai usaha mainan edukasi anak sejak tahun 2010

Rumah produksi mainan edukasi anak Yungki Edutoys. (IDN Times/Daruwaskita)

Pemilik Yungki Edutoys, Siti Rachma Yuliati (61), menceritakan bahwa usaha memproduksi mainan edukasi anak dimulai pada 2010, setelah ia dan suaminya kembali ke Yogyakarta. "Rumah produksi mainan edukasi anak juga berpindah-pindah dan terakhir di Baturetno, Banguntapan, Bantul ini," ungkapnya.

Ide membuka usaha mainan edukasi anak, kata perempuan yang akrab disapa Yungki ini, berawal dari profesi ibunya yang menjadi guru taman kanak-kanak (TK). Saat mengajar, sang ibu selalu menggunakan alat peraga agar pelajaran lebih menarik dan mudah dipahami.

"Karena saya sering membantu ibu saya mengajar bahkan saya juga dikira guru. Dari pengalaman itu, saat saya kembali ke Jogja, saya minta ibu saya untuk memproduksi mainan edukasi anak. Mainan edukasi anak ini saya jual dengan kisaran harga Rp10.000–Rp400.000," ucapnya.

Di rumah produksi yang berlokasi di Banguntapan tersebut, telah tercipta ratusan model mainan edukasi anak, seperti berbagai jenis puzzle, maze, bingkai geometri, papan pasak silinder, balok angka, balok abjad, dan lainnya. Semua mainan dibuat dari kayu MDF dan menggunakan cat non-toxic.

“Aman untuk anak. Kami juga sudah punya standar sesuai SNI. Sebelum pandemi COVID-19, permintaan dari sekolah, khususnya PAUD dan TK, cukup tinggi," ungkapnya.

3. Megap-megap digempur produk impor

Rumah produksi mainan edukasi anak Yungki Edutoys. (IDN Times/Daruwaskita)

Selama 15 tahun bergelut di bidang mainan edukasi anak, Yungki Edutoys tidak lepas dari berbagai tantangan. Seiring waktu, mereka harus bersaing dengan produk-produk impor yang kian membanjiri pasar. Meski begitu, Yungki mengaku tetap bertahan.

“Omzet memang menurun. Apalagi pasca COVID-19. Pernah berbulan-bulan tidak ada income. Tapi kami tetap ikhtiar. Kami ada 13 pegawai atau pekerja yang rata-rata di atas kepala empat. Kalau kami tidak produksi dan mereka harus berhenti bekerja, akan sulit mencari lapangan kerja baru,” jelasnya.

Yungki menambahkan, stok mainan edukasi yang menumpuk di gudang kini dijual secara daring karena tidak lagi ada pesanan dari sekolah. Namun, penjualan online pun belum banyak membuahkan hasil, karena kebanyakan hanya dibeli perorangan.

"Karena tidak ada pemasukan maka dari 13 pekerja saat ini hanya tinggal tujuh orang yang merupakan pekerja di bagian pokok dengan gaji 60 persen saja," ucapnya. "Kondisi penjualan juga bertambah berat dengan serbuan mainan edukasi anak dari China yang harganya murah-murah," tambahnya.

‎4. Banting setir usaha day care anak-anak

ilustrasi penitipan anak (pexels.com/Naomi Shi)

Namun, Yungki belum patah arang. Di tengah gempuran produk impor yang lebih murah, ia memilih tak menurunkan standar. "Nggak papa. Kami tidak akan menurunkan standar. Kami percaya masih ada yang bisa melirik produk-produk kami," ujarnya.

Untuk menyambung napas, Yungki mengaku mulai merintis usaha baru berupa day care untuk anak-anak. Langkah ini diambil agar tujuh pekerja yang tersisa tetap bisa diberdayakan dengan membuat meja dan kursi untuk kebutuhan day care.

"Semoga pada bulan Januari 2026 day care sudah buka," ucapnya.

Editorial Team