Ilustrasi Pendidikan (IDN Times/Arief Rahmat)
Lalu apa harus dilakukan oleh presiden yang baru? Eko menyebut hampir semua pemikir HAM, termasuk para peneliti HAM mengerti bahwa dalam beberapa hal instrumen HAM karakternya abstrak, tapi negara punya kewajiban mengongkritkannya. Maka politik kekuasaan itu harus memastikan HAM yang abstrak, bisa dijalankan menjadi sesuatu yang konkret.
Eko melihat kebijakan yang dijalankan pemerintah saat ini menjadikan indikator pembangunan fisik yang utama. "Padahal ada indikator lain yang jauh lebih substanstif dan itu sesuai standar HAM," terang Eko.
Dicontohkan Eko, soal pendidikan. Menurutnya mengukur kualitas pendidikan di Indonesia saat ini cukup mudah. "Misal kalau tidak salah, partisipasi pendidikan generasi muda di pendidikan tinggi kalau gak salah itu hanya sekitar 39 persen. Artinya ada 61 persen anak muda yang tidak bisa mengenyam pendidikan tinggi, kata Eko.
"Pembangunan seharusnya tidak hanya fisik, tetapi juga dimaknai dengan pembangunan manusia. Itulah yang menjadi kewajiban konstitusional, karena itu diperintahkan oleh konstitusi untuk memenuhi hak pendidikan. Selain itu masalah kesehatan juga menjadi perhatian," ujarnya.
Banyak orang yang masih kesulitan mengakses fasilitas kesehatan. BPJS Kesehatan dinilai amburadul, masih ada diskriminasi. Padahal untuk membangun bangsa yang maju syaratnya ada dua, pendidikan dan kesehatan harus diperbaiki.
"Itu perintah HAM, perintah kosntitusi. Jadi sayangnya hak-hak yang konstitusional, yang lebih fundamental tidak mendapatkan perhatian yang cukup baik, kalah dengan pembangunan fisik, tol, bandara, pelabuhan, dan seterusnya, karena nampaknya yang dikejar pembangunan ekonomi," ujar Eko.