Komisaris Jenderal Rycko Amelza Dahniel (IDN Times/Irfan Fathurohman)
Sebelumnya, Rycko menjelaskan mekanisme kontrol di tempat ibadah ini diusulkan dengan menggarisbawahi pentingnya melibatkan masyarakat setempat dalam pengawasan. Atau bukan kontrol penuh dan sepihak oleh pemerintah.
"Terhadap penggunaan tempat-tempat ibadah untuk menyebarkan rasa kebencian, kekerasan, mekanisme kontrol itu artinya bukan pemerintah yang mengontrol. Mekanisme kontrol itu bisa tumbuh dari pemerintah beserta masyarakat," terang Rycko dalam keterangan resmi BNPT, Selasa (5/9/2023).
Menurutnya, mekanisme kontrol ini tidak mengharuskan pemerintah mengambil kontrol langsung. Akan tetapi mekanisme yang dapat tumbuh dari pemerintah dan masyarakat. Ia mengatakan, pengurus masjid dan tokoh agama setempat bisa berperan dengan melaporkan aktivitas atau ajaran yang berpotensi radikal.
Pendekatan yang diusulkan, lanjut Rycko, adalah melibatkan tokoh agama dan masyarakat setempat dalam memonitor dan memberikan peringatan kepada individu yang terlibat dalam penyebaran pesan kebencian dan kekerasan.
Kemudian, warga yang terindikasi menebar gagasan kekerasan dan anti moderasi beragama bisa dipanggil, diberikan edukasi, diberikan pemahaman, ditegur serta diperingatkan oleh aparat setempat.
"Kalau pemerintah yang mengontrol tak akan sanggup," papar Rycko.
Ia mengklaim BNPT telah melakukan studi banding ke negara-negara seperti Singapura, Malaysia, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Maroko yang menerapkan kendali langsung oleh pemerintah terhadap tempat ibadah. Namun, Rycko menyadari bahwa situasi di Indonesia berbeda, dan oleh karena itu, ia mengusulkan mekanisme kontrol yang bersifat kolaboratif dengan masyarakat.
Rycko sendiri mengusulkan mekanisme moderasi beragama di rumah ibadah saat menanggapi pernyataan anggota Komisi III DPR RI Irjen Pol (Purn) Safaruddin, yang menyinggung adanya karyawan PT KAI terpapar paham radikalisme beberapa waktu lalu.