Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2022, mengeluarkan data mengenai biaya kuliah termahal di 10 provinsi Indonesia. Hasilnya, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menempati ranking pertama dalam hal rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk berkuliah. Rata-rata biaya kuliah di DIY tercatat Rp21,1 juta pada tahun ajaran 2020/2021.
Berdasarkan survei yang dilakukan BPS, biaya itu tidak hanya komponen SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) atau UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang dibayarkan setiap bulan, tetapi juga termasuk uang pendaftaran, praktikum, uang saku, kunjungan edukatif, SPP/UKT, uang transportasi, alat tulis, dan ujian internet. SPP/UKT dan uang saku menjadi dua komponen yang mendominasi biaya pendidikan.
Dilansir dari laman BPS, 10 wilayah di Indonesia dengan rata-rata total biaya pendidikan tinggi menurut provinsi periode Juli 2020 - Juni 2021, adalah:
1. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), rata-rata biaya pendidikan tinggi Rp 21,10 juta per tahun
2. Banten, rata-rata biaya pendidikan tinggi Rp19,59 juta per tahun
3. Maluku,rata-rata biaya pendidikan tinggi Rp19,44 juta per tahun
4. Maluku Utara, rata-rata biaya pendidikan tinggi Rp17,47 juta per tahun
5. DKI Jakarta, rata-rata biaya pendidikan tinggi Rp16,74 juta per tahun
6. Sumatera Selatan, rata-rata biaya pendidikan tinggi Rp15,71 juta per tahun
7. Bali, rata-rata biaya pendidikan tinggi Rp15,70 juta per tahun
8. Jawa Barat, rata-rata biaya pendidikan tinggi Rp15,67 per tahun
9. Kalimantan Barat, rata-rata biaya pendidikan tinggi Rp15,59 juta per tahun
10. Jawa Tengah, rata-rata biaya pendidikan tinggi Rp14,76 juta per tahun
Data BPS juga menyebutkan untuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN), dari total biaya pendidikan sekitar 34,69 persen dipakai untuk membayar SPP/UKT. Jika berkuliah di perguruan tinggi swasta (PTS) yakni 40,22 persen. Sedangkan dengan uang saku, mahasiswa PTN mengalokasikan 25,52 persen dari total biaya pendidikan. Sementara mahasiswa PTS mengalokasikan 22,34 persen.
Perwakilan Aliansi Pendidikan Gratis (Apatis), sebuah aliansi yang mengupayakan akses pendidikan terjangkau, Ganta Semendawai menyebut survei dari BPS tersebut bukan hal yang mengejutkan, meski menjadi suatu hal yang miris. Ia menyebut berdasarkan data terbaru, hasil survei yang dilakukan Apatis dengan Project Multatuli yang dikeluarkan 25 Juli 2023, Jogja saat ini sedang tidak baik-baik saja.
"(Hasil survei) 3 dari 10 (mahasiswa di Jogja) tidak bisa membayar biaya kuliah. 74,22 persen mahasiswa tidak bisa membayar biaya kuliah memiliki masalah fisik dan mental. Ini harus dihentikan, atau masa depan yang tak menentu akan menerpa generasi mendatang. Cukup sudah dengan biaya kuliah mahal," ungkap Ganta kepada IDN Times.
Pendiri Social Movement Institute (SMI) sekaligus pengamat pendidikan, Eko Prasetyo melihat terdapat masalah di kampus yang ada di DIY saat ini. Hal tersebut tidak lepas dari orientasi kampus pada aspek pembangunan infrastruktur, yang membutuhkan biaya tinggi.
Persaingan kampus di Jogja menurut Eko saat ini bukan kualitas pengajaran, tapi kualitas bangunan. Banyak kampus yang mulai berkompetisi pada bangunan fisik. "Menurut saya kompetisi infrastruktur itu yang membuat kampus di DIY, menjadi kampus yang sangat mahal," ungkap Eko, Kamis (10/8/2023).
Sementara Wakil Rektor IV Bidang Kemahasiswaan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Muhammad Faris Al-Fadhat, Ph.D, mempertanyakan hasil yang dikeluarkan oleh BPS. Meski belum mencermati lebih detail hasil survei, menurutnya terdapat beberapa data yang perlu dikonfirmasi. Misalnya, mengapa biaya hidup di DKI justru lebih rendah, dibandingkan di Jogja?
Faris juga mencermati di tahun tersebut terjadi Covid-19. UMY, menurutnya malah menurunkan uang kuliah. "Petimbangannya adalah kuliah hibrid, ada beberapa pertemuan online karena Covid, dan kondisi ekonomi nasional," terangnya.