Yogyakarta, IDN Times – Budiono dan anaknya, yang sehari-hari menjadi tulang kunci. Agung, kemudian suami istri Sugiyadi dan Suwarni yang menjual bakmi, serta Sutinah penjual nasi rames duduk lesehan di atas konblok di sisi selatan alun-alun utara Yogyakarta, Senin (11/11).
Terik matahari yang menyengat menjelang tengah hari membuat mereka tetap bergeming. Kebaya yang dikenakan Sutinah dan Suwarni maupun peranakan yang dipakai Budiono, Agung, dan Sugiyadi dibasahi keringat. Sandal yang dikenakan di kaki beralih menjadi alas duduk untuk mengurangi panas yang menyengat.
“Kami datang untuk mengadu kepada Sultan (Raja Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X) karena besok Selasa (12/11) kios kami akan digusur,” kata Sugiyadi yang bersila di ujung timur menjelaskan tujuan ritual tapa pepe mereka.
Mereka adalah pedagang kaki lima (PKL) yang biasa mangkal di sisi barat Jalan Brigjend. Katamso, Kelurahan Prawirodirjan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta. Lahan tempat kios-kios mereka adalah tanah milik Sultan yang dihuni orang tua mereka sejak tahun 1960.
Mereka terancam digusur setelah pemilik toko mainan di belakang kios mereka, Eka Aryawan memperkarakan lokasi kios-kios mereka yang menghalangi akses ke toko. Tak tanggung-tanggung, proses hukum sampai ke Mahkamah Agung.
Seperti apa kasusnya?