kondisi Mapolda DIY pasca aksi yang berlangsung Jumat (29/8/2025) hingga Sabtu (30/8/2025) dini hari. (IDN Times/Febriana Sinta)
Fajar Junaedi menilai secara regulasi, surat edaran KPI problematis. Pasalnya, KPI seharusnya berpegang pada UU Penyiaran yang menekankan fungsi media untuk mendidik, menginformasikan, dan mengawasi jalannya demokrasi. Pembatasan siaran aksi publik justru melanggar esensi UUD 1945 yang menjamin kebebasan berpendapat dan kemerdekaan pers.
“Kalau kita kembali pada UUD 1945, di sana jelas ditegaskan kebebasan menyatakan pendapat dan kemerdekaan pers. Negara seharusnya melindungi kebebasan itu, bukan malah membatasinya melalui instrumen KPI. Apalagi KPI sebagai lembaga independen semestinya menjaga netralitas, bukan menjadi perpanjangan tangan kekuasaan,” ujarnya.
Fajar menilai edaran KPI juga menimbulkan dilema bagi jurnalis. Di satu sisi, wartawan terikat pada etika jurnalistik untuk menyajikan informasi jujur, berimbang, dan relevan dengan kepentingan publik. Namun di sisi lain, ada tekanan ekstra-media yang membatasi ruang gerak mereka.
Mengutip teori Pamela J. Shoemaker dan Stephen Reese dalam Framing the Media, ia menyebut lima faktor yang memengaruhi pembingkaian berita: Individu jurnalis, rutinitas media, organisasi media, ekstra-media, dan ideologi media.
"Dalam kasus edaran KPI, terlihat jelas faktor ekstra-media yang mendominasi. Ini berbahaya karena framing berita akhirnya tidak lagi murni lahir dari proses jurnalistik, melainkan dari tekanan eksternal,” jelasnya.