Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi bendera One Piece (IDN Times/Khusnul Hasana)
Ilustrasi bendera One Piece (IDN Times/Khusnul Hasana)

Intinya sih...

  • Pengibaran bendera One Piece sejajar Merah Putih dinilai peneliti UGM sebagai perlawanan simbolik dan ekspresi kebebasan sipil, bukan ancaman negara, memanfaatkan budaya populer sebagai bahasa kritik sosial.

  • Fenomena ini bersifat spontan, cepat viral di media sosial, tidak terorganisir, dan dianggap efektif menyampaikan pesan protes generasi muda secara ringan, imajinatif, dan inklusif.

  • Sosiolog dan budayawan UGM menilai aksi ini bukan gerakan radikal, melainkan bentuk kepedulian serta kritik kreatif terhadap kondisi negara, mencerminkan perubahan cara mengekspresikan nasionalisme.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Yogyakarta, IDN Times – Menjelang peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan RI, media sosial diramaikan aksi pengibaran bendera One Piece sejajar dengan Merah Putih. Fenomena ini memicu respons pemerintah yang menilai aksi tersebut berpotensi melanggar hukum. Peneliti dari Center for Digital Society (CfDS) FISIPOL UGM, Ayom Mratita Purbandani, menilai peristiwa itu lebih tepat dilihat sebagai bentuk perlawanan simbolik dan kebebasan sipil, bukan ancaman negara.

Ayom menjelaskan bahwa pemanfaatan simbol budaya populer menjadi sarana kreatif bagi masyarakat untuk menyampaikan kritik sosial. “Ini adalah ekspresi protes yang sifatnya simbolik. Idiom budaya populer digunakan sebagai media kritik, mirip dengan simbol salam tiga jari di Thailand atau semangka yang digunakan sebagai simbol dukungan terhadap Palestina,” ujarnya, Kamis (14/7/2025) dilansir laman resmi UGM.

1. Kritik simbolik yang cepat menyebar di media sosial

Diskusi Pojok Bulaksumur UGM. (ugm.ac.id)

Ayom menyebut bentuk perlawanan seperti ini biasanya spontan, emosional, dan cepat menyebar di media sosial, berbeda dari demonstrasi konvensional. Ia menilai reaksi pemerintah yang menganggap aksi ini sebagai makar mencerminkan adanya political paranoid.

Ia menambahkan, pembatasan ekspresi serupa bisa menimbulkan kesan menyempitnya ruang kebebasan sipil.

“Aksi seperti ini umumnya tidak bertahan lama dan tak terorganisir secara struktural. Tapi jika pemerintah meresponsnya dengan keras, maka pesan protesnya justru jadi makin kuat,” ungkapnya.

2. Budaya populer jadi bahasa kritik generasi muda

Peneliti dari Center for Digital Society (CfDS) FISIPOL UGM, Ayom Mratita Purbandani. (ugm.ac.id)

Bagi generasi muda, idiom budaya populer dinilai efektif menyampaikan pesan protes karena ringan dan mudah dipahami. “Anak muda sekarang punya banyak cara untuk bersuara. Mereka menggunakan simbol yang familiar agar pesannya diterima secara luas,” jelas Ayom.

Ia menekankan pentingnya pemerintah bersikap bijak terhadap fenomena ini.

“Perlawanan simbolik seperti ini justru membuka ruang baru bagi praktik politik yang lebih imajinatif dan inklusif. Ketimbang bersikap reaktif, lebih baik ini dilihat sebagai bentuk kritik yang perlu didengarkan,” tambahnya.

Ayom menilai meski bernuansa politis, cara penyampaiannya efektif dan komunikatif. “Perlawanan ini tidak frontal, tapi justru efektif karena menyentuh sisi kemanusiaan dan imajinasi khalayak,” ucapnya.

3. Fenomena yang tidak bersifat radikal

Prof. Faruk (kiri) dan Dr. Arie Sujito. (ugm.ac.id)

Pada kesempatan yang sama, sosiolog politik UGM, Dr. Arie Sujito, berpendapat pengibaran bendera One Piece bukanlah gerakan radikal, melainkan simbol perjuangan dan perjalanan panjang mencapai tujuan. Menurutnya, aksi ini bukan tanda krisis politik atau ekonomi tertentu, melainkan akumulasi rasa ketidakpuasan terhadap pemerintah. Media sosial menjadi medium efektif untuk menyalurkan kegelisahan publik.

“Melarang tidak akan efektif. Motor resonansi yang baik itu terbuka, artikulasinya cukup bagus dan ada pesan yang wajib diketahui. secara simbolik dan substansial beginilah cara orang-orang mengingatkan bahwa ada isu penting,” tutur Arie. Ia menilai fenomena ini cukup berhasil memunculkan isu substansial terkait keadilan dan krisis nasional yang perlu diperhatikan pemerintah.

Budayawan UGM, Prof. Faruk, melihat ada perubahan tren dalam perayaan kemerdekaan. Jika dahulu simbol kemerdekaan lekat dengan gapura, bambu runcing, dan bendera, kini dikemas dalam bentuk yang lebih kreatif.

Faruk menjelaskan, gerakan yang spontan dan tidak berkelanjutan bisa jadi bersifat tidak organik. Namun, ia menilai fenomena bendera One Piece kali ini berbeda, ada keterkaitan dengan gerakan sebelumnya seperti Indonesia Gelap dan Darurat Konstitusi.

“Bisa dilihat apakah ini protes politis atau kreativitas. Dilihat dari sisi kreatif, ini kan strategi komunikasi yang unik dengan menyampaikan kritik melalui konteks tertentu,” ucap Faruk.

Ia menilai aksi tersebut bukan gerakan radikal, melainkan bentuk kepedulian terhadap kondisi negara. Kritik disampaikan dengan gaya khas anak muda yang menandai perubahan cara masyarakat mengekspresikan nasionalisme di tengah situasi yang memprihatinkan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team