Prof. Faruk (kiri) dan Dr. Arie Sujito. (ugm.ac.id)
Pada kesempatan yang sama, sosiolog politik UGM, Dr. Arie Sujito, berpendapat pengibaran bendera One Piece bukanlah gerakan radikal, melainkan simbol perjuangan dan perjalanan panjang mencapai tujuan. Menurutnya, aksi ini bukan tanda krisis politik atau ekonomi tertentu, melainkan akumulasi rasa ketidakpuasan terhadap pemerintah. Media sosial menjadi medium efektif untuk menyalurkan kegelisahan publik.
“Melarang tidak akan efektif. Motor resonansi yang baik itu terbuka, artikulasinya cukup bagus dan ada pesan yang wajib diketahui. secara simbolik dan substansial beginilah cara orang-orang mengingatkan bahwa ada isu penting,” tutur Arie. Ia menilai fenomena ini cukup berhasil memunculkan isu substansial terkait keadilan dan krisis nasional yang perlu diperhatikan pemerintah.
Budayawan UGM, Prof. Faruk, melihat ada perubahan tren dalam perayaan kemerdekaan. Jika dahulu simbol kemerdekaan lekat dengan gapura, bambu runcing, dan bendera, kini dikemas dalam bentuk yang lebih kreatif.
Faruk menjelaskan, gerakan yang spontan dan tidak berkelanjutan bisa jadi bersifat tidak organik. Namun, ia menilai fenomena bendera One Piece kali ini berbeda, ada keterkaitan dengan gerakan sebelumnya seperti Indonesia Gelap dan Darurat Konstitusi.
“Bisa dilihat apakah ini protes politis atau kreativitas. Dilihat dari sisi kreatif, ini kan strategi komunikasi yang unik dengan menyampaikan kritik melalui konteks tertentu,” ucap Faruk.
Ia menilai aksi tersebut bukan gerakan radikal, melainkan bentuk kepedulian terhadap kondisi negara. Kritik disampaikan dengan gaya khas anak muda yang menandai perubahan cara masyarakat mengekspresikan nasionalisme di tengah situasi yang memprihatinkan.