Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Sejumlah orangtua mengaku anak-anaknya jadi korban salah tangkap kepolisian, meminta pendampingan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Kamis (9/10/2025).
Sejumlah orangtua mengaku anak-anaknya jadi korban salah tangkap kepolisian, meminta pendampingan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Kamis (9/10/2025). (IDNTimes/ Tunggul Damarjati)

Intinya sih...

  • Belasan anak diduga jadi korban salah tangkap saat demo ricuh di Magelang

  • Orangtua meminta pendampingan LBH Yogyakarta karena anaknya dipaksa mengaku ikut aksi demo dan mendapat tindak kekerasan dari aparat.

  • 53 orang ditangkap, 26 di antaranya berstatus anak di bawah umur. Mereka mengalami tindak kekerasan selama pemeriksaan dan mendapat stigma buruk setelah dibebaskan.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Yogyakarta, IDN Times - Sejumlah orangtua yang mengaku anaknya menjadi korban salah tangkap kepolisian saat aksi demo beberapa waktu lalu, meminta pendampingan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta.

Mereka menyebut anaknya dipaksa mengaku ikut aksi demo berujung ricuh di Polres Magelang Kota, Jawa Tengah pada 29 Agustus 2025. Bahkan, menurut mereka, anak-anak yang masih di bawah umur ini sempat mendapatkan tindak kekerasan dari aparat agar mau mengaku ikut aksi.

1. Jaga angkringan dituduh ikut demo

Sejumlah orangtua mengaku anak-anaknya jadi korban salah tangkap kepolisian, meminta pendampingan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Kamis (9/10/2025). (IDNTimes/ Tunggul Damarjati)

Sumiyati, salah satu orangtua yang datang ke LBH menyebut putranya berinisial SP ditangkap pada 29 Agustus malam. Saat aksi demo berlangsung, SP sedang berjaga di sebuah warung angkringan yang lokasinya tepat di depan Polres Magelang Kota. Ketika situasi berubah ricuh, SP buru-buru hendak menutup warung angkringannya. Pada saat itulah putra Sumiyati ditangkap aparat.

"Pas mau nutup (angkringan) langsung dibawa ke kantor, ditendang sini (menunjuk pinggang) sama perutnya," kata Sumiyati, Kamis (9/10/2025).

2. Ambil motor lalu ditangkap

Dugaan tindak kekerasan oleh aparat juga dialami oleh ND, putra Hana Edi Pambudi, warga Kabupaten Magelang. Ia berkisah anaknya pada 29 Agustus pukul 19.00 WIB pamit pergi ke Kota Magelang mengendarai sepeda motor.

Setibanya di Kota Magelang, ND pergi membeli jajan ke sebuah mini market tak jauh dari Polres Magelang Kota, saat demo ricuh sedang berlangsung. Namun selesai belanja, ia tidak mendapati sepeda motornya di halaman parkir. Dia berkeliling mencari hingga mendapat informasi kendaraannya diangkut oleh polisi.

Karena takut mendekati lokasi aksi, ND lantas memutuskan untuk mengecek kendaraannya di Polres Magelang Kota esok harinya. Pada malam itu ia bermalam di kediaman salah seorang rekannya, daerah Muntilan, Kabupaten Magelang.

Menurut Hana, ND sempat pulang ke rumah pada 30 Agustus 2025 untuk mengambil STNK dan BPKB sebelum menuju ke Polres Magelang Kota. Sesampainya di markas kepolisian untuk mengambil sepeda motornya, ND malah ditangkap petugas.

"Anak saya ketemu polisi di depan Polres. Ditanya mau apa, mau ambil motor lalu disuruh masuk. Katanya nggak apa-apa, masuk saja. Sampai di dalam langsung ditangkap polisi, dibawa ke sebuah ruangan lalu istilahnya diinterogasi," jelas Hana.

Hana menambahkan ND mendapat tindak kekerasan selama proses pemeriksaan karena bersikeras mengaku tak ikut aksi demo. Putranya dipukul memakai sandal hingga helm.

ND akhirnya mengakui perbuatan yang tak dilakukan, karena merasa takut. Namun setelah mengaku ND masih mendapatkan kekerasan di ruangan lain.

Menurut Hana, ND baru dibebaskan pada 30 Agustus 2025 sekitar pukul 18.00 WIB setelah ada upaya mediasi dari Bupati Magelang, Zaenal Arifin. Saat menjemput putranya, Hana mengaku melihat banyak anak-anak juga orang dewasa yang ditangkap dalam kondisi babak belur, seperti bibir bengkak atau kepalanya diperban. Ia pun menyayangkan yang dialami putranya.

"Walapun mereka demo, seharusnya diperlakukan sebagaimana mestinya. Semisal mau diproses hukum, ya diproses sesuai atuan hukum berlaku," katanya.

Selain Sumiyati dan Hana, ada pula Adi Widodo dan Mala. Anak mereka juga mendapat kekerasan fisik dari petugas seperti ditampar, dipukul wajahnya, diinjak kepalanya memakai sepatu lars, dicambuk menggunakan selang. 

Keempat orangtua ini mengaku setelah dibebaskan, data-data pribadi anak mereka disebar disertai keterangan sebagai pelaku aksi demo ricuh di Polres Magelang Kota. Mereka meminta informasi itu dicabut dan nama baik anak-anak dipulihkan.

3. Perlakuan tak manusiawi, berencana lapor Polda Jateng

LBH Yogyakarta /lbhyogyakarta/org

Menanggapi laporan itu, Staf Divisi Advokasi LBH Yogyakarta, Royan Juliazka Chandrajaya, mengatakan pihaknya mencatat sebanyak 53 orang yang ditangkap pada 29-30 Agustus 2025. Sebanyak 26 di antaranya berstatus anak di bawah umur dan LBH berhasil menemui dan memintai keterangan 14 anak. Mereka berusia antara 14 hingga 17 tahun.

Dari keterangan itu, LBH mengantongi informasi berbagai tindak kekerasan selama jalannya pemeriksaan. Mulai dari menggunakan tangan kosong, benda tumpul hingga perlakuan aparat yang menurut mereka tak manusiawi. Seperti memaksa mengunyah kencur dan dilepeh untuk dikunyah kembali oleh anak lainnya.

"Satu kencur dikunyah dioper ke yang lain. Bayangkan, ada 53 orang, mengunyah satu kencur yang sama, secara bergantian, dilepeh, dikunyah, dilepeh, dikunyah, sampai (orang) paling ujung disuruh menelan. Itu bagaimana polisi bertanggung jawab kalau ada anak yang punya penyakit menular," ujar Royan.

Setelah dibebaskan, anak-anak ini juga mendapat stigma buruk karena penyebaran data pribadi. Status pelaku demo ricuh melekat.

"Akhirnya ada stigma di masyarakat, bahwa anak-anak ini merupakan pelaku kriminal. Padahal mereka tidak melalui proses peradilan yang tepat atau tidak adil, tapi mereka mengalami stigmatisasi. Ini anak di bawah umur lho, luka ini yang akan mereka bawa sepanjang hidupnya ketika tidak dipulihkan," ujar Royan.

Menurut LBH, perlakukan aparat merupakan tindak pelanggaran hukum, HAM dan hak anak. Saat ini orangtua dari enam anak di bawah umur yang sempat ditangkap, akan menempuh jalur hukum dan berencana melapor ke Polda Jateng tanggal 15 Oktober 2025.

4. Kapolres menepis tuduhan

Terpisah, Kapolres Magelang Kota AKBP Anita Indah Setyaningrum menepis tuduhan salah tangkap. Menurutnya, jajarannya melaksanaka n pengamanan terhadap beberapa orang yang berada di lokasi kericuhan.

"Bukan salah tangkap ya, saya klarifikasi kita tidak ada melakukan upaya penangkapan dan itu kami amankan. Yang mana pada saat itu beberapa orang mulai ada yang remaja maupun orang yang sudah dewasa ada di TKP. TKP maksudnya adalah tempat pada saat memang kejadian tersebut," kata Anita kepada wartawan di Magelang, Kamis (9/10/2025).

Anita juga membantah tudingan soal jajarannya yang disebut melakukan tindak kekerasan selama proses pemeriksaan terhadap orang-orang yang diamankan. Dia mengklaim petugas memperlakukan mereka dengan baik, termasuk menyediakan kebutuhan makan pada 29 Agustus malam hingga keesokan harinya.

Anita pun mempersilakan para orangtua yang anak-anak sempat ditangkap hendak menempuh jalur hukum.

Editorial Team