Masjid Suciati di Sleman (Dokumentasi Istimewa)
Pada gelar perkara tersebut, menurut Setyoko, penyidik beranggapan perkara ini bukan tindak pidana berdasar keterangan ahli. Padahal, dua saksi ahli dari pelapor yang sudah diperiksa menyatakan terjadi indikasi pidana.
Ahli pidana menyatakan dalam perkara ini ada tindak pidana dan oleh ahli perseroan dijelaskan terjadi pelanggaran yang bisa berkonsekuensi pidana, sekaligus perdata dan administrasi.
Bagi tim kuasa hukum, agar pemeriksaan lebih objektif dapat dilakukan pemeriksaan ulang secara bersama-sama mendengarkan keterangan para ahli, baik ahli yang diajukan pelapor dan terlapor, bahkan ahli yang diajukan penyidik.
Selanjutnya, keterangan para ahli bisa diperiksa secara bersama-sama dalam sidang terbuka untuk umum, sehingga semua orang dapat menilai secara objektif bagaimana pendapat ahli mengenai perkara ini.
"Kami mengajukan praperadilan ini sebagai bentuk ikhtiar untuk mengembalikan marwah hukum agar setiap tindak pidana, sekecil apa pun, ditangani secara adil, objektif, dan transparan. Fakta hukum yang ada sudah lebih dari cukup untuk membuktikan adanya dua alat bukti yang dibutuhkan dalam perkara ini," jelas Setyoko.
Harapannya, sidang praperadilan menjadi momentum koreksi atas keputusan penghentian penyidikan yang prematur dan membangun kepercayaan publik terhadap proses penegakan hukum yang tercoreng.
"Kami menilai bahwa penghentian perkara ini penuh dengan bau yang tidak sedap, apakah itu intervensi kekuasaan atau intervensi lain, sehingga tidak memenuhi rasa keadilan dan bertentangan dengan prinsip due process of law," ucapnya.
Tim kuasa hukum berharap agar pengadilan menjadi pengawal proses ini dan jangan berlaku yang sebaliknya.