TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Seks Tanpa Nikah Halal, UIN Sunan Kalijaga: Banyak yang Salah Tafsir

Disertasi Abdul Aziz tetap dapat nilai memuaskan

IDN Times/Tunggul Kumoro

Sleman, IDN Times - Disertasi karya Abdul Aziz berjudul "Konsep Milk al-Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non Marital" menuai polemik.

Pihak Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga yang melakukan pengujian terhadap Abdul Aziz merasa banyak pihak salah menafsirkan tulisan mahasiswanya, yang mencoba meneliti tentang penafsiran Muhammad Syahrur, tokoh asal Suriah, atas istilah Milk Al-Yamin.

Pihak yang salah tangkap itu, menurut kampus, menafsirkan jika hubungan seksual tanpa dilandasi pernikahan itu tak melanggar syariat. Atau anggapan menyimpang soal Hukum Islam melindungi seks di luar nikah.

1. Kajian dan kritikan Abdul Aziz belum sempurna

IDN Times/Tunggul Kumoro

Dalam sesi jumpa pers yang turut menghadirkan para promotor Abdul Aziz, Rektor UIN, Yudian Wahyudi mengatakan, cara mahasiswanya ini mengkaji dan mengkritik pandangan Syahrur bahwa Milk Al-Yamin tak cuma budak, tapi semua orang yang diikat oleh kontrak hubungan seksual, belum sempurna. Baik dari sisi linguistik maupun pendekatan gender.

"Memang, kritikannya masih belum sempurna dan belum komprehensif," kata Yudian, di Gedung Prof Saifuddin Zuhri, komplek Kampus UIN, Yogyakarta, Jumat (30/8).

Sementara, salah satu promotor Abdul Aziz, Khoiruddin Nasution mengatakan, Syahrur mengkontekstualkan konsep Milk Al-Yamin dalam kehidupan kontemporer sekarang dengan beberapa perkawinan yang bertujuan memenuhi kebutuhan biologis.

"Yakni, nikah al-mut'ah, nikah al-muhallil, nikah al-irfi, nikah al-misyar, nikah al-misfar, nikah friend, nikah al-musakanah atau samen leven. Nikah-nikah jenis ini sekarang umum dilakukan orang-orang Eropa, termasuk Rusia, di mana Syahrur hidup lama," ujarnya.

Secara hermeneutika atau ilmu yang mempelajari tentang interpretasi makna, konteks ini yang selanjutnya memberikan Syahrur inspirasi.

Jenis-jenis nikah tadi sebenarnya juga sudah ada di dalam tradisi muslim. Tapi, memang masih ada pro dan kontra. "Ada ulama yang membolehkan, dan ada muslim yang mengamalkan. Sebaliknya, ada juga ulama yang mengharamkan," urainya.

Baca Juga: Disertasi Seks Tanpa Nikah: Halal tapi Ada Syaratnya

2. Meminta abstrak disempurnakan

Pixabay/Fizkes

Sementara, dalam disertasi itu, Abdul berupaya mengkritik konsep Syahrur dengan menyebut ada bias-bias subjektivitas pencetusnya. Di antaranya, adalah Syahrur ingin mengubah hukum zina yang didasarkan pada sentimen pribadi, bisa jadi politik, dan bukan atas pembuktian.

Kata Khoiruddin, Syahrur beranggapan jika persyaratan pembuktian zina itu sangatlah ketat. Sehingga, jangan begitu mudahnya menghukum orang berzina.

"Sayangnya, dalam abstrak, Abdul Aziz tidak menulis kritik tersebut. Malah menyebut konsep Syahrur ini sebagai teori baru dan dapat dijadikan justifikasi keabsahan hubungan seksual non-marital. Kalimat terakhir ini juga yang menjadi keberatan tim penguji promosi," lanjutnya.

Tim penguji, kata Khoiruddin, sudah meminta Abdul Aziz menyempurnakan abstrak agar lebih sesuai dengan isi dari disertasi yang ditulisnya.

3. Penafsiran Syahrur dinilai terlalu subjektif

Pexels/Pixabay

Promotor lain, Sahiron mengatakan, penafsiran Syahrur mengenai Milk Al-Yamin dalam ayat-ayat Alquran masih terlalu subjektif. Karena, dipengaruhi wawasan dan tradisi di keluarga negara lain.

Ini, pada akhirnya membuat Milk Al-Yamin yang ditafsirkan ulama dulu sebagai 'budak', jadi 'setiap orang yang diikat oleh kontrak hubungan seksual' oleh Syahrur. Bagi dia, budak zaman dulu dimanfaatkan oleh pemiliknya untuk hubungan seks.

"Orang-orang, yang diikat kontrak untuk hubungan seks apa pun bentuknya, marital ataupun non-marital, halal. Penafsiran ini terlalu subjektif, karena mungkin dipengaruhi oleh tradisi dan kultur masyarakat yang melegalkan tindakan hubungan seks yang didasarkan pada suka sama suka, atau kontrak," ungkapnya.

Ini membuat objektivitas makna teks ayat Alquran terkesampingkan. Apalagi, analogi antara budak dan orang yang diikat kontrak cuma memandang aspek seksualitas.

Sisi lain yang harus diperhatikan dari perbudakan yang sudah ada jauh sebelum turunnya ayat-ayat Milk Al-Yamin padahal ada. "Sisi lain yang saya maksud di sini adalah martabat kemanusiaan oleh ayat-ayat Alquran yang sangat dijunjung tinggi," tutupnya.

4. Penjelasan penguji

IDN Times/Tunggul Kumoro

Sedangkan, salah satu penguji disertasi Abdul Aziz, Euis Nurlaila menerangkan, disertasi itu adalah kajian ilmiah atas pemikiran Syahrur. Di mana, Abdul Aziz memahami jika konsep Milk Al-Yamin hubungan seksual di luar pernikahan diperbolehkan dalam Islam.

Abdul Aziz, lanjut Euis, menekankan bahwa Syahrur mengembangkan konsep ini untuk diterapkan di masa kini dalam sejumlah jenis pernikahan atau hubungan seksual, macam nikah misyar, nikah pertemanan dan lain sebagainya.

"Tujuan Syahrur dalam pemahaman penulis (Abdul Aziz) adalah untuk melindungi institusi perkawinan yang diagungkan Syariat Islam untuk menjadi keluarga yang sakinah, bahagia, dan damai," terangnya.

Penguji lainnya, Alimatul Qibtiyah, menambahkan, pemikiran Syahrur mengakui konsep Milk Al-Yamin problematis, utamanya bila dicermati dari perspektif kesetaraan gender.

Perspektif Syahrur, katanya, lebih menekankan kriteria perempuan yang boleh "dinikahi" secara non-marital atau nikah hanya untuk kepuasan seksual. "Tidak melihat dampak yang ditimbulkan terhadap istri pertama (istri yang ada di rumah), kesehatan reproduksi, hak-hak anak, dan hak-hak perempuan dari pernikahan non-marital," jelasnya.

Baca Juga: UIN Sunan Kalijaga: Berita Disertasi Seks Nonmarital 'Agak Menyimpang'

Berita Terkini Lainnya