TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Korban Tanah Kas Desa di Jogja Ungkap Akal-akalan Pengembang

Para korban mengaku awam aturan kas desa

Penyegelan hunian ilegal di atas tanah kas desa di Maguwoharjo, Depok, Sleman. (Dok. Satpol PP DIY)

Sleman, IDN Times - Para konsumen korban dugaan kasus mafia tanah kas desa (TKD) di Kabupaten Sleman, angkat suara awal mereka jatuh ke perangkap oknum pengembang hingga akhirnya merugi ratusan juta rupiah.

Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Universitas Proklamasi 45 mengungkap perkiraan jumlah kerugian yang mencapai miliaran rupiah dari sebagian laporan korban saja. Sementara pelapor telah mencapai ratusan orang dan semuanya menyangkut dugaan penyalahgunaan lahan TKD oleh Robinson Saalino.

1. Perpanjang status HGB dua kali

Robinson Saalino atau RS (33), terdakwa kasus mafia tanah kas desa di Sleman, saat ditahan Kejati DIY. (IDN Times/Tunggul Damarjati)

Salah seorang konsumen Ambarrukmo Green Hills di Nologaten, Caturtunggal, Depok, Sleman, bernama Darno mengaku mulanya tergiur iming-iming harga murah yang ditawarkan pengembang. Dia membeli 2 kaveling tanah total seluas 235 meter seharga Rp370 jutaan pada 2021.

Kata Darno, di sana terdapat sekitar 75 kaveling. Dia berniat memakai 2 kaveling untuk kepentingan investasi.

"Tadinya saya mau bikin kos. Duit yang saya peroleh dari purna tugas itu saya investasikan ke situ," kata Darno ditemui di UP 45, Sleman, DIY, Sabtu (27/5/2023).

Saat itu, skema yang ditawarkan adalah konsumen bisa mendirikan hunian dengan status Hak Guna Bangunan (HGB) namun tak ada sertifikatnya. Kesepakatan antara konsumen dan pengembang diikat dengan Surat Perjanjian Investasi (SPI).

Status HGB tersebut selain itu bisa diperpanjang sebanyak dua kali. Setelah masa pakai 60 tahun, statusnya akan kembali ke desa sebagai TKD. Darno mengaku awam, karena pengembang telah menyodorkan bukti legalitas berupa surat perjanjian dengan pemerintah desa, izin bupati, serta gubernur. Dia pun tidak memahami soal pemanfaatan area singgah hijau itu.

"Saya nggak paham, kiranya boleh untuk dirikan rumah," katanya.

Belum sampai bangunan miliknya didirikan, kasus penyalahgunaan lahan TKD oleh PT. Deztama Putri Sentosa mencuat jelang akhir 2022 lalu, hingga berujung penyegelan Ambarrukmo Green Hills disegel oleh Pemda DIY.

Sementara itu, LKBH UP 45 menerima laporan jika ada pula konsumen yang dijanjikan Sertifikat Hak Milik (SHM) oleh pengembang setelah memperpanjang status HGB sebanyak 2 kali.

2. Awam soal pemanfaatan TKD

Penyegelan hunian ilegal di atas tanah kas desa di Maguwoharjo, Depok, Sleman. (Dok. Satpol PP DIY)

LKBH UP 45 mengungkap banyak dari konsumen yang ternyata berdomisili di luar DIY, seperti Jakarta, Bandung, Kalimantan, Sumatera, bahkan Papua. Mereka disinyalir tak memahami TKD yang semestinya dilarang untuk perumahan. Edwin Affandi adalah seorang di antaranya. Ia merupakan konsumen Avanti Villa yang berada di lahan TKD Caturtunggal lainnya, tepatnya Kledokan, Depok, Sleman.

Kata Edwin, pengembang menawarkan lahan yang bisa dipakai untuk hunian atau investasi. Ia merogoh kocek Rp190 juta sebagai separuh dari total pembiayaan Februari 2023 lalu. Namun rumahnya belum dibangun sampai dia mengetahui proyek dihentikan. Padahal di Avanti Villa terdapat 58 unit dan terjual 23 di antaranya.

Dari 23 kaveling terjual, belum satupun yang diserahterimakan. Ada 8 bangunan yang sudah didirikan namun kini, semuanya mangkrak.

"Ada yang cash keras, kalau ditotal seluruh pembeli Rp4 miliar," ucapnya. Edwin juga menyebut dirinya ditawari soal perpanjangan HGB. Dia sebenarnya sempat merasa janggal ketika mengetahui beda informasi antara admin dan marketing.

Informasi dari marketing, ada tawaran soal HGB dengan dua kali perpanjangan. Sedangkan dari admin hanya 20 tahun pertama saja perpangan.

"Marketing bilang ke saya tidak ada biaya per tahun, jadi per 20 tahun perpanjang itu 10 persen. Tapi admin bilang ke saya per tahun bayar Rp2,5 juta. Ketika admin dan marketing bertemu kita satu meja, saling debat," ungkapnya.

Tapi nasi sudah menjadi bubur. Edwin kini cuma dijanjikan jawaban pasti soal nasib tanahnya 3-4 bulan ke depan menanti proses penyidikan Kejati DIY. Di satu sisi, domisili para konsumen yang kebanyak di luar kota turut menyulitkannya mencari solusi perkara ini.

"Jadi susah koordinasi," imbuhnya.

 

Baca Juga: Cek, Ini Ragam Pelanggaran Penggunaan Tanah Kas Desa di DIY

Berita Terkini Lainnya