TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Walhi Minta Pemda DIY Atur Sanksi dan Insentif Pengelolaan Sampah

Tidak ada sanksi bagi pelanggar memperberat masalah sampah 

Ilustrasi tumpukan sampah di TPA Piyungan. (IDN Times/Daruwaskita)

Yogyakarta, IDN Times - Pengelolaan sampah masih menjadi persoalan pelik yang dialami Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Penutupan sementara TPA Piyungan yang berlokasi di Bantul membuat kelimpungan. 

1. Dampak perubahan metode dan volume di TPA Piyungan

Ilustrasi TPA Piyungan Bantul. (IDN Times/Daruwaskita)

Awalnya, pengelolaan sampah di TPA Piyungan menggunakan metode sanitary landfill. Metode ini hanya berlaku untuk sampah organik yang dapat terurai. Proses pengelolaan sampah di TPA Piyungan saat ini berubah menjadi control landfill, karena tidak lagi memisahkan sampah organik dan anorganik. "Perubahan metode dan volume timbulan sampah di TPA Piyungan justru meningkatkan risiko terjadinya bencana ekologis di wilayah sekitarnya," kata Direktur WALHI Yogyakarta, Gandar Mahojwala.

Pada tahun 1995, TPA Piyungan mulai beroperasi dengan luasan lahan mencapai 12 hektare dan mampu menampung hingga 2,7 juta meter kubik sampah. Lokasi TPA Piyungan bertindak sebagai tempat pembuangan akhir sampah yang dihasilkan oleh warga dari tiga wilayah perkotaan, yaitu Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Bantul. Menurut data dari Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Energi Sumber Daya Mineral, volume sampah yang ditangani pada tahun 2022 sebanyak 757,2 ton/hari.

 

 

 

Baca Juga: Pembuangan Sampah Sementara di Cangkringan Dipastikan Batal Digunakan

2. Tidak ada sanksi bagi pelanggar memperberat aturan pengelolaan sampah di DIY

Tumpukan sampah di Kota Yogyakarta ditemukan di beberapa lokasi (Forpi Kota Yogyakarta)

Dari sisi kebijakan, ketentuan mengenai pengelolaan sampah DIY sudah tertuang dalam Perda DIY Nomor 3 tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Secara normatif, kebijakan pengurangan dan penanganan sampah di DIY diatur dengan skema pembatasan timbunan sampah, pemanfaatan kembali, dan daur ulang sampah.

Dalam skema ini, produsen sampah wajib menghasilkan produk dengan kemasan yang mudah terurai dan melakukan pengelolaan daur ulang hingga pemanfaatan kembali. Sayangnya ketentuan ini hanya pada tataran normatif saja, belum optimal dalam proses implementasi. Tidak adanya sanksi bagi pelanggar, menjadi isu beratnya menegakkan peraturan mengenai pengelolaan sampah di Jogja.

"Selain sanksi yang tidak ada, persoalan yang menjadi catatan adalah tidak adanya daya tekan khusus untuk sektor bisnis yang memproduksi sampah non organik," ujar Gandar. 

3. Pemindahan lokasi hanya solusi jangka pendek

Spanduk penolakan TPS Sementara, di Karanggeneng, Umbulharjo, Cangkringan. (IDN Times/ Herlambang Jati Kusumo)

Usulan pemerintah DIY yang akan mengalihkan penimbunan sampah di wilayah lain, hanya akan menyelesaikan persoalan tata kelola sampah dalam jangka pendek saja. WALHI menilai usulan ini hanya memindahkan risiko ke wilayah lain, dan akhirnya membuat wilayah pembuangan tersebut menjadi sama rentannya. "Perlu adanya langkah strategis dalam mencari jalan keluar persoalan ini. Peran sektor dan pemerintah memiliki peran krusial dalam mendorong pengurangan produksi sampah,' ujar Gandar.

Meski masyarakat memiliki tanggung jawab secara aktif mengurangi produksi sampah, kontribusi dari sektor bisnis dan pemerintah akan mempercepat pencapaian perbaikan lingkungan yang diinginkan.

Baca Juga: 5 Tips Mengurangi Sampah Sisa Makanan di Rumah, Yuk, Lebih Cerdas

Berita Terkini Lainnya