Aliansi Rakyat untuk Demokrasi melakukan aksi menolak KUHP Baru di kawasan Tugu Yogyakarta, Selasa (6/12/2022). (IDN Times/Herlambang Jati Kusumo)
Ada juga penambahan poin soal larangan menyerang integritas aparat penegak hukum, petugas pengadilan, atau persidangan dalam sidang pengadilan dengan ketentuan tambahan delik aduan.
"Dalam negara demokrasi, kritik merupakan sesuatu yang melekat pada jalannya pemerintahan. Pasal-pasal kontroversial tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum dan pemerintah bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena rentan pada tafsir yang beragam," kata Shinta.
Delik penghinaan tidak boleh digunakan sebagai alat menghambat kritik dan protes karena dapat membelenggu demokrasi. Kritik sebagai hak menyatakan pendapat (freedom of opinion and expression) merupakan hak konstitusional semua warga negara. Hak tersebut juga merupakan bagian dari hak sipil politik.
Secara yuridis, hak tersebut tercantum dalam Pasal 18-21 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yaitu salah satunya hak atas kebebasan mempunyai dan menyampaikan pendapat. Sejumlah lembaga yang bergabung dalam aksi ini sebelumnya memprotes rencana pemerintah dan DPR mengesahkan RKUHP melalui media sosial.
Mereka juga telah melakukan telaah dan kajian mendalam RKUHP bersama para akademisi untuk melihat pasal-pasal kontroversial. Kajian itu juga menjadi masukan bagi pemerintah dan DPR. "Tapi, celakanya masukan itu tidak mereka dengar. RKUHP yang mereka klaim mendekolonialisasi kitab hukum pidana warisan pemerintah Belanda justru kembali pada zaman kolonial," ujar Shinta.