Selain mendampingi kasus kekerasan perempuan dan anak difabel, Sentra Advokasi Perempuan dan Anak (SAPDA) juga melakukan pendampingan terkait pencegahannya. Rini menjelaskan ada lima bentuk disabilitas, yaitu disabilitas intelektual, fisik, mental, sensorik yang meliputi netra dan wicara, serta disabilitas ganda atau multi karena mempunyai lebih dari satu disabilitas.
Dari 140 kasus yang ditangani SAPDA, sebanyak 59 persen adalah kekerasan seksual. Dari jumlah tersebut, 40 persen dialami difabel mental intelektual, 32 persen difabel rungu dan wicara, sisanya difabel fisik dan netra.
Mengapa difabel rentan menjadi korban kekerasan seksual? Lantaran ada anggapan dari pelaku, difabel wicara tak bakal bisa bersaksi di muka pengadilan karena tak bisa bicara. Kemudian difabel mental yang mengalami kekerasan seksual bisa dianggap suka sama suka.
“Padahal mereka (difabel) tak paham tentang kekerasan seksual, tentang otonomi atas tubuhnya. Tak paham apa yang dilakukan pelaku termasuk intimidasi terhadap tubuhnya,” kata Rini.
Mnenurut Rini, saat kasusnya masuk ke ranah hukum, APH menganggap peristiwa itu terjadi karena suka sama suka, juga dianggap tidak cukup bukti. Lantaran saksi yang ada biasanya korban dan pelaku sendiri. APH menganggap saksi haruslah orang yang melihat, mendengar, atau merasakan. Sementara korban kesulitan memberikan kesaksian karena hambatan disabilitasnya sesuai jenis disabilitasnya.
“Bagaimana APH cari bukti kalau korban tidak bisa melihat?” tanya Rini.
Meskipun tak bisa melihat, difabel netra bisa memberikan kesaksian dengan mengaktifkan indera penciuman. Semisal difabel netra mengetahui siapa yang ada di hadapannya dengan mengenali bau parfum, bau badan, juga suara.
Kemudian difabel intelektual melakukan kesaksian dengan menjawab pertanyaan. Meskipun jawabannya sepatah dua patah kata, tetapi konsisten dari A-Z dengan pertanyaan yang berbeda, menurut Rini, kesaksiannya bisa digunakan untuk mengungkap kronologinya.
Ada pula kasus difabel rungu wicara yang berkenalan dengan pelaku melalui media sosial. Korban mengiyakan ketika pelaku mengajak bertemu untuk berhubungan seksual. Namun kasus itu tak bisa diproses hukum karena tak bisa dibuktikan sebagai kekerasan seksual.
“Kalau APH punya perspektif terhadap korban, mestinya bisa membuktikan kalau ada bujuk rayu, iming-iming dari pelaku,” kata Rini.
Di pengadilan, hambatan komunikasi difabel rungu wicara ketika memberikan kesaksian semestinya bisa difasilitasi pihak pengadilan. Semisal, apabila difabel rungu wicara bisa baca tulis, fasilitas yang diberikan bisa berupa layar yang akan menampilkan tulisan yang otomatis terketik ketika jaksa, hakim, atau pun kuasa hukum pelaku bicara. Atau yang paling sederhana adalah hakim atau jaksa menghadirkan juru bahasa isyarat.
“Persoalannya, hakim mensyaratkan juru isyarat yang bersertifikat. Padahal sulit mencari itu,” kata Rini.