IDN Times/Pito Agustin Rudiana
Sejumlah pasal dalam UU KPK hasil revisi dinilai kontroversial karena menabrak aturan-aturan sebelumnya. Akibatnya, sejumlah pasal tersebut justru melemahkan fungsi KPK sebagai lembaga penegak hukum untuk pemberantasan korupsi.
Pertama, soal independensi KPK. Dalam UU KPK hasil revisi yang termuat dalam Pasal Pasal 1 angka 3, Pasal 1 angka 7, Pasal 24 ayat (2) dan (3) disebutkan KPK adalah lembaga pemerintah pusat yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketentuan tersebut bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomer 012-016- 019/PUU-IV/2006 yang menyatakan KPK adalah lembaga negara yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman. Juga bertentangan dengan Pasal 38 UU Nomer 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
“Jadi ya gak tepat menggolongkan KPK sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, tetapi masuk sebagai lembaga eksekutif,” kata Alphatio.
Kedua, kewenangan penyadapan merupakan kekuatan yang diberikan hukum kepada KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi. Namun lewat UU KPK hasil revisi dalam Pasal 12A, 12 B, 12C, 12D, 12E, 37A, 37B, 37C, 37D, 37E, 37F, 37G dan 69A, justru KPK harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas terlebih dulu untuk melakukan penyadapan. Sedangkan Dewan Pengawas diangkat oleh Presiden.
“Tentu akan menimbulkan conflict of interest dalam pelaksanaan penyadapan oleh KPK. Efektifitas pemberantasan korupsi akan terganggu,” kata Alphatio.
AJAK pun mengajak segenap elemen masyarakat untuk turut mengawal pemberantasan korupsi di Indonesia.