4 Mahasiswa UIN Jadikan Putusan MK 90 Gugat Presidential Threshold. (IDNTimes/Tunggul Damarjai)
Terlepas dari pesimisme itu, Enika dkk masih sangat yakin kedudukan hukum atau legal standing mereka sebagai pemohon uji materi UU Pemilu tak akan dipersoalkan.
Enika mengatakan, dari 32 gugatan soal syarat ambang batas pencalonan presiden yang pernah diputus MK, ada banyak yang gugur lantaran pemohon dinilai tak punya kedudukan hukum atau legal standing.
Pada perkara-perkara sebelumnya, MK konsisten menyikapi uji materi Pasal 222 UU 7/2017. Para hakim kukuh menyatakan jika parpol atau gabungan parpol adalah pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas. Sementara pemohon perseorangan atau warga negara yang mempunyai hak memilih tidak bisa melakukannya.
Sampai kemudian, kata Enika, muncul gugatan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 soal batas usia capres-cawapres yang diajukan Almas Tsaqibbirru, seorang mahasiswa dari Solo.
Seperti diketahui, dalam perkara tersebut MK yang pada saat itu diketuai Anwar Usman mengabulkan sebagian permohonan Almas dalam uji UU Pemilu menjadi capres/cawapres minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Putusan tersebut jadi lampu hijau buat Gibran Rakabuming Raka yang saat itu baru berumur 36 tahun dan masih menjabat sebagai Wali Kota Solo, untuk berkontestasi di Pilpres 2024.
Enika dan rekan-rekan melihat sikap MK pada kedudukan hukum pemohon dalam uji materi perkara yang diajukan oleh Almas, jadi pembuka jalan untuk menggugat presidential threshold.
"(Perkara sebelumnya) ketika pemilih seperti kita ingin mengajukan judicial review Undang-Undang Pemilu itu tidak bisa. Kita tidak punya legal standing ke MK. Tapi, kemudian muncul Putusan 90, putusan Almas yang menyatakan bahwa pemilih itu juga bisa punya legal standing," papar Enika.
Setelahnya, permohonan uji materi disusun. Dalam argumennya, Enika dkk menyatakan masyarakat atau pemilih selama ini dianggap sebagai objek, bukan subjek pelaksanaan demokrasi.
"Maka dari itu kami mencoba mengajukan dan kami berargumentasi di legal standing kami bahwa kami ini subjek demokrasi, bukan objek demokrasi. Maka legal standing kami seharusnya diterima," tegas dia.
"32 putusan (perkara sebelumnya) itu bukan angka yang kecil. Sekali lagi untuk legal standingnya kami tekankan bahwa pemilih itu bukanlah objek demokrasi, melainkan subjek demokrasi. Sehingga, ketika kita melakukan judicial review di MK, legal standing kita seharusnya tidak dipertanyakan," ujarnya.