Ilustrasi SMA (Unsplash/com/Rafael Atantya)
Aris heran mengapa sekolah swasta tidak memiliki batasan untuk penarikan biaya-biaya sumbangan maupun pungutan, sementara mereka juga menerima dana BOS dan BOSDA. AMPPY mencatat nominal tunggakan terbesar di SMA/SMK swasta senilai Rp22 juta.
"Kalau untuk sekolah favorit, okelah mereka porsinya untuk kalangan menengah atas, lha tapi kalau di pinggiran, pinggiran Gunungkidul tagihan sampai Rp11 juta, ngeri nggak?," tutur dia.
"Di sekolah swasta sudah menjadi budaya, jadi gak ada kontrol dari dinas, yang beralasan itu yayasan, ya berarti yayasan bisa sewenang-wenang sendiri, dong," sambungnya.
Program Jaminan Kelangsungan Pendidikan (JKP) yang bersumber dari Dana Keistimewaan (Danais) DIY memang bisa membantu menyelamatkan persoalan ijazah tertahan. Seperti bulan Mei 2024 kemarin, ada 400 ijazah yang berhasil dibebaskan.
Tapi, Aris dan AMPPY juga tidak sepakat dengan penggunaan JKP ini sama saja berarti melegalkan penahanan ijazah oleh sekolah.
Maka dari itu, AMPPY melalui surat terbuka meminta kepada Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X agar membebaskan seluruh ijazah lulusan yang saat ini masih ditahan oleh sekolah di seluruh DIY, baik sekolah negeri maupun swasta.
AMPPY juga meminta Pemda DIY merumuskan kebijakan agar tidak ada lagi penahanan ijazah oleh sekolah, juga menjatuhkan sanksi terhadap semua sekolah yang menahan ijazah siswa.
"Kami juga sudah ke Kemenkumham DIY, mendorong pemda menyelesaikan persoalan ini karena menahan ijazah itu melanggar HAM. Kami juga membuka posko aduan," pungkasnya.