Yogyakarta, IDN Times - Dua puluh lima tahun yang lalu, tepatnya pada 21 Mei 1998, sejarah mencatat tumbangnya rezim Orde Baru yang bertahan selama 32 tahun di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Hal ini tak dapat dilepaskan dari peran mahasiswa yang mengobarkan aksi masif bersama masyarakat di berbagai daerah, memadukan suara untuk menuntut lengsernya Soeharto.
Dalam aksi tersebut, mahasiswa tak hanya menyumbangkan semangat, peluh, dan suara, tetapi juga darah yang tertumpah. Pada aksi damai 12 Mei 1998 di Jakarta, empat mahasiswa Universitas Trisakti gugur setelah diterjang peluru aparat keamanan dalam peristiwa yang dikenal sebagai Tragedi Trisaksi. Mereka adalah Elang Mulia Lesmana, Hendriawan Sie, Hafidhin Royan, dan Hery Hartanto.
Di Yogyakarta, mahasiswa Universitas Sanata Dharma, Mozes Gatotkaca, turut menjadi korban. Ia ditemukan meninggal di tepi jalan di Jalan Mrican, Sleman, dengan luka pukulan benda tumpul. Tragedi tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia.
Kini, seperempat abad sudah reformasi bergulir. Semangat juang mahasiswa masih tampak menyala. Kendati, pola gerakan mereka semakin berwarna, seiring dengan perubahan zaman, perkembangan teknologi, maupun isu-isu yang dihadapi.
Lantas, bagaimana perbedaan gerakan mahasiswa dulu dan sekarang? Seperti apa pola gerakan dan cara berserikat mahasiswa di masa sekarang, khususnya di daerah? Bagaimana tantangan yang mereka hadapi dalam menyuarakan isu-isu yang dianggap penting bagi masyarakat? Liputan kolaborasi hyperlocal IDN Times kali ini berusaha merangkum jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.