Di Balik Gairah Kafe, Sampah Plastik Membeludak di Yogyakarta

Habis pahit, plastik dibuang

Intinya Sih...

  • Dalam setahun, satu kafe diperkirakan menghasilkan sampah plastik dua kali tinggi Gunung Merapi
  • Tumpukan ini berasal dari sisa gelas sekali pakai yang tidak terkelola dengan baik
  • Jumlah kafe di Yogyakarta meningkat dari 350 pada 2014 menjadi 2.091 pada Agustus 2022

Yogyakarta, IDN Times - Hujan baru saja selesai mengguyur kawasan utara kabupaten Sleman, Yogyakarta, namun matahari langsung memancarkan lagi sinar teriknya di sisa sore itu. Sejak siang, Aulia Tari, mahasiswi berusia 20 tahun, sudah duduk di Dongeng Kopi ditemani laptop dan memesan es kopi susu sebanyak dua kali. Kedua-duanya disajikan dengan gelas kaca dan sedotan stainless steel.

"Yang saya suka dari kafe ini penyajiannya gak pakai plastik. Dan nanti kalau take away kita dikasih cup reusable," kata Aulia. Mengurangi sampah plastik memang menjadi salah satu pertimbangan mahasiswi universitas swasta itu dalam memilih kafe, selain faktor harga, rasa, dan kelancaran Wi-Fi.

Meski tidak bisa 100 persen menerapkan gaya hidup zero waste, Aulia merasa cukup puas mengetahui dirinya punya andil dalam mengurangi timbulan sampah di Yogyakarta yang kian menjadi momok setelah proses penutupan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan September 2023 lalu.

Kepedulian anak muda akan pentingnya menjaga planet dari kehancuran lingkungan tercermin dari survei IDN Times melalui Indonesia Gen Z Report 2023, di mana sebanyak 79 persen menyatakan perubahan iklim merupakan isu serius. Selanjutnya, 70 persen anak muda merasa bertanggung jawab terhadap iklim. Dan mereka bersedia membayar lebih untuk produk yang ramah lingkungan.

Akan tetapi, kepedulian dan kemauan untuk membayar lebih untuk produk ramah lingkungan, belum tecermin dalam aksi nyata. Dari survei lanjutan yang kami lakukan, sebanyak 71 persen mengaku membuang gelas sekali pakai, sedotan, atau sampah plastik kafe lainnya langsung ke tempat sampah. Hanya sekitar 15 persen yang menggunakan ulang plastiknya.

Di Balik Gairah Kafe, Sampah Plastik Membeludak di YogyakartaInfografis kultur ngafe di kalangan anak muda Indonesia (IDN Times/Aditya)

Kebanyakan dari mereka mengaku tidak memilah antara sampah organik dan nonorganik saat membuang kemasan kopinya karena tidak mengetahui mengenai prosedur membuang sampah yang baik dan benar.

Temuan-temuan ini membawa kami untuk menelisik situasi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), sebuah provinsi yang tak pernah kekurangan akan dua hal: kafe dan anak muda.

Perkembangan kafe di Yogyakarta

Di Balik Gairah Kafe, Sampah Plastik Membeludak di YogyakartaSampah gelas plastik dan Styrofoam serta sedotan kertas (IDN Times/Yogie Fadila)

Di provinsi ini, jumlah kafe berkembang pesat. Pada tahun 2014, jumlah kafe di Yogyakarta yang terdaftar adalah 350 kedai, bertambah menjadi 600 kedai di tahun berikutnya, dan terus meningkat hingga mencapai angka 1.100 pada tahun 2016.

Komunitas Kopi Nusantara (KKN) mencatat, pada 2018 jumlah kafe di DIY sebanyak 2.249. Lalu meningkat menjadi 2.387 di 2019. Penghitungan terakhir per Agustus 2022, jumlahnya menyusut pasca-covid menjadi 2.091.

Dari cara teknik menyeduh, kafe bisa dibagi ke dalam beberapa kategori. Sebanyak 48 persen kafe di Jogja menggabungkan teknik seduh manual dan mesin, serta berada satu atap dengan restoran. Sementara, 26 persen merupakan kedai independen dengan alat seduh manual. Sebanyak 14 persen dikategorikan sebagai modern cafe dengan espresso bar. Dan sisanya, atau 12 persen adalah kedai kopi dengan alat seduh tradisional.

Meski berkembang cukup pesat, kultur ngafe adalah hal yang relatif baru di Jogja. “Karena kita orang Jogja ini sebenarnya lebih banyak ngeteh,” ungkap Wisnu Birowo, dari Komunitas Kopi Nusantara dan pemilik Sellie Coffee di kawasan Prawirotaman, Kota Yogyakarta. Menurut penuturan Wisnu, walaupun aktivitas minum kopi sudah ada sejak lama, keberadaan kafe baru meledak di Yogyakarta medio 2010-an ketika wilayah ini dibombardir dengan dagangan alat-alat pengolah kopi, ditambah popularitas film Filosofi Kopi (2015) karya Angga Dwimas Sasongko.

Kondisi tersebut makin didorong dengan kebiasaan mahasiswa yang membawa kopi andalan dari daerah asalnya, misal Gayo Aceh, Mandailing Sumatera Utara hingga kopi dari Wamena Papua.

Relasi mesra antara mahasiswa dan kopi inilah yang membuat persebaran kafe di wilayah perkotaan Jogja terkonsentrasi di sekitar area kampus. Pemetaan yang dilakukan oleh Salman Albir Rijal (2023) menggunakan data ulasan di Google Maps mengungkap konsentrasi kafe ada di area Caturtunggal dan Condongcatur, di area Kotabaru yang cukup dekat dengan UGM dan UNY, serta di kawasan perbelanjaan dan pariwisata seperti Malioboro dan Prawirotaman.

Menariknya, kafe-kafe dengan rerata ulasan tertinggi berada di kawasan utara yang memiliki pemandangan sawah atau kebun tetapi tetap mudah diakses via jalan utama seperti Jalan Kaliurang dan Jalan Palagan Tentara Pelajar.

“Kampus dan daerah utara. 70 persen warung kopi banyak di sana,” Wisnu menimpali. “Makanya kita bilang di sana itu Dapil Neraka. Tumbuh, mati, tumbuh, gitu… Persaingannya ketat.”

Maraknya kafe di Yogyakarta sudah tidak bisa lagi disamakan dengan cendawan di musim hujan, sebab kedai baru terus bermunculan sepanjang tahun. Ambil contoh kalurahan Kotabaru, Kemantren Gondomanan, Kota Yogyakarta. Dengan menginput kata kunci “coffee shop di Kotabaru” di Google Maps, IDN Times mendapat sekitar 120 hasil pencarian. Lalu kami menelusuri langsung kawasan setingkat kelurahan tersebut untuk memverifikasi kafe yang masih beroperasi dan mengeliminasi kafe yang sudah tutup. Hasilnya, di area seluas kurang lebih 71 hektare (0,7 km persegi) ini setidaknya berdiri 110 kafe.

Siapa sangka daerah yang dulu didesain Belanda sebagai pemukiman elite orang Eropa, kini menjadi kawasan dengan kafe terpadat di Yogyakarta.

Penelusuran yang sama IDN Times terapkan untuk area "SCBD” versi Yogyakarta alias singkatan dari Seturan, Condongcatur, Babarsari, Depok. Di kawasan seluas kurang lebih 18,5 km persegi tersebut kami menemukan kurang lebih 271 kafe dengan kepadatan 14,7 kafe per kilometer persegi.

Baca Juga: Kopi dalam Tantangan Hulu ke Hilir dan Ancaman Perubahan Iklim

Timbulan sampah kafe di Yogyakarta

Di Balik Gairah Kafe, Sampah Plastik Membeludak di YogyakartaSampah berserakan di halaman depan sebuah kafe di daerah Palagan, Sleman, Yogyakarta (09/02/24) (IDN Times/Yogie Fadila)

Di atas kertas, membeludaknya kafe di Kota Pelajar, tentu membawa angin segar bagi perekonomian setempat. Namun di lain sisi, potensi timbulan sampah yang dihasilkan kafe-kafe ini turut membeludak.

Produk yang akhirnya dibuang setelah hanya beberapa menit digunakan merupakan krisis besar. Gelas kopi adalah salah satu elemen dari budaya sekali pakai ini. Menurut laporan pembersihan pantai internasional tahun 2023 oleh Ocean Concervancy, tutup plastik, gelas, dan piring termasuk dalam sepuluh item yang paling sering ditemukan di pantai-pantai dunia.

Peneliti Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada, Iqmal Tahir, menyebut potensi timbulan sampah kafe tidak melulu soal gelas sekali pakai, namun juga kemasan makanan dan sisa makanan yang tidak dikelola dengan baik.

"Pengolahan kopi menghasilkan ampas kopi sebagai sampah. Selain itu, penggunaan peralatan seperti filter juga menghasilkan sampah. Minuman juga melibatkan penggunaan krimer, gula, dan susu yang dikemas dalam kemasan plastik atau kertas.

Beberapa kafe juga menyajikan minuman dalam kemasan plastik untuk langsung minum atau dibawa pulang, kembali menambah jumlah sampah plastik. Tren saat ini menunjukkan bahwa banyak kafe menghasilkan sampah plastik dan turunannya," kata Iqmal.

Di Balik Gairah Kafe, Sampah Plastik Membeludak di YogyakartaPeneliti Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada, Iqmal Tahir (IDN Times/Yogie Fadila)

Daerah Istimewa Yogyakarta memproduksi sampah sebanyak 1.231,55 ton per hari di 2023. Hanya 756 ton per hari yang terkelola (data Bappeda Yogyakarta). Artinya, ada 475,55 ton sampah per hari yang tidak dikelola dengan tepat, misalnya tidak dikumpulkan, dibuang di tempat pembuangan terbuka, bocor dari tempat pembuangan sampah atau lebih parah, masuk ke aliran sungai dan berakhir di lautan.

Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SISPN) menunjukkan Komposisi Sampah DIY pada 2020—data terakhir yang tersedia—didominasi oleh sisa makanan sebanyak 57,8 persen, lalu diikuti plastik (8,5 persen) di urutan kedua.

Berdasarkan sumbernya, Perniagaan (termasuk kafe, restoran, hotel, dan lain-lain) bertanggung jawab atas 22,9 persen sampah. Angka tersebut lebih tinggi dari sampah yang berasal dari pasar (7,4 persen). Sementara penyumbang sampah terbesar tetap dari rumah tangga (55,7 persen).

Sekarang, hampir semua kafe menyajikan minuman dalam kemasan sekali pakai, baik berbahan styrofoam, plastik, atau kertas. Tidak hanya untuk pelanggan yang bawa pergi (to-go/take away), gelas sekali pakai sering disajikan ke penikmat kopi yang ingin menikmati suasana atau belajar dan bekerja di kafe.

Dari observasi IDN Times di sejumlah kafe waralaba ternama, sebuah gelas plastik sekali pakai dengan volume 480 ml terbuat dari polyethylene terephthalate (sering disingkat PET), diameter 9,8 cm dan tinggi 11 cm dengan tutup di atasnya. Beratnya 12 gram.

Berdasarkan penuturan sejumlah barista, kafe rata-rata menjual 150 minuman dengan gelas sekali pakai per hari. Gelas-gelas itu, jika disusun satu per satu ke atas, maka tingginya akan mencapai 16,5 meter. Dalam setahun tumpukan itu menjadi setinggi 6 kilometer. Sebagai perbandingan, ketinggian Gunung Merapi “hanya” 2.968 meter di atas permukaan laut (mdpl) atau 2,9 kilometer. Itu baru dari satu kafe saja dalam setahun.

Apabila 2 ribuan kafe di Yogyakarta dan semua pelanggannya tidak mengelola sampah dengan benar, akan ada jejeran gelas sepanjang 12 ribu km. Atau sama dengan jarak antara Yogyakarta ke London, Inggris.

Di Balik Gairah Kafe, Sampah Plastik Membeludak di YogyakartaIlustrasi 6 kilometer tumpukan sampah gelas kopi (IDN Times/Yogie Fadila

Jenis-jenis gelas sekali pakai dan efeknya

Gelas plastik, meski jarang digunakan untuk menyajikan minuman panas, tetap menjadi pilihan masif kafe seiring populernya minuman dingin seperti es kopi susu, frappuccino hingga teh boba. "Plastik itu murah, gampang dicetak, bisa dimodifikasi dengan macam-macam turunannya. Tapi sekarang jadinya penggunaan plastik semakin merajalela," kata Iqmal yang juga merupakan Dosen Ilmu Kimia di Fakultas MIPA UGM.

Gelas plastik umumnya terbuat dari dua jenis plastik, yakni polipropilena (PP) atau polietilena tereftalat (PET). Bahan ini terurai dengan sangat lambat, menghasilkan mikroplastik dan nano plastik yang mencemari lingkungan dan tubuh manusia. Karena waktu penguraian yang sangat lama, sebagian besar dari 8,3 miliar ton plastik yang pernah diciptakan masih ada hingga saat ini.

Celakanya, sifat merugikan plastik tidak terbatas pada bahannya saja, melainkan seluruh siklus hidupnya, mulai ekstraksi bahan bakar fosil, transportasi, manufaktur, dan konsumsi produk hingga proses akhir dari siklus hidupnya.

Sebelum gelas plastik populer, industri makanan Amerika sudah memperkenalkan polistiren alias gelas styrofoam ke kafe dan restoran sejak tahun 1960-an, karena material membuat minuman tetap panas lebih lama. Namun, sebagai limbah, styrofoam membutuhkan sekitar 500 tahun untuk terurai.

Busa polistirena dapat terpecah menjadi potongan-potongan kecil, menyebabkan sampah dan mengancam satwa liar yang mungkin mengkonsumsinya. Saat terurai, busa polistirena juga dapat mengeluarkan zat kimia ke lingkungan sekitarnya.

Lalu ada gelas kertas, yang menawarkan solusi “semu”. Sekilas, gelas yang kerap dipakai kafe untuk menyajikan minuman panas ini terlihat sebagai opsi yang lebih ramah lingkungan daripada gelas plastik dan styrofoam. Akan tetapi, produksi gelas kertas dalam skala besar menyebabkan deforestasi dan hilangnya habitat yang menyertainya, hilangnya keanekaragaman hayati, penurunan penyerapan karbon, dan pelepasan karbon yang sudah tersimpan ke atmosfer, yang pada akhirnya memperburuk krisis iklim.

Sebuah studi dari University of Gothenburg, Swedia, menemukan bahwa gelas kertas bisa jadi sama beracunnya dengan plastik setelah dibuang. Penyebabnya, gelas kertas seringkali dilapisi dengan plastik tipis untuk mencegah cairan merusak kertas hingga bocor. Gelas kertas untuk minuman panas dilapisi plastik di sisi dalam, sedangkan gelas kertas untuk minuman dingin dilapisi plastik baik di dalam maupun di luarnya. Lapisan ini yang dapat menyulitkan proses daur ulang karena harus dipisahkan dulu dalam proses yang kompleks dan mahal.

Di negara maju seperti Inggris dan Amerika Serikat saja, tingkat daur ulang gelas kertas hanya 0,25 hingga 1 persen. Sementara di Jepang, gelas jenis ini kebanyakan tidak didaur ulang (Greenpeace, 2022). Meski demikian, Jepang termasuk negara unggulan dalam hal pengelolaan plastik dengan tingkat pemilahan sebesar 93 persen dan tingkat daur ulang di atas 80 persen, jauh di atas Eropa (40 persen) dan Amerika Serikat (kurang dari 20 persen).

Pelapis plastik tersebut dapat memakan waktu puluhan tahun untuk terurai, sambil melepaskan mikroplastik. "Mikroplastik ini ringan. Di air mengapung, kalau dia terbuang ke air lama-lama masuk selokan, masuk sungai, masuk laut," jelas Iqmal.

Dia melanjutkan, “Di laut mikroplastik menempel pada ganggang. Ganggang ini menjadi sumber makanan bagi ikan vertebrata dan spesies lainnya. Ikan kecil yang mengkonsumsi ganggang tersebut kemudian menjadi santapan bagi ikan yang lebih besar. Proses ini membawa mikroplastik ke dalam rantai makanan laut. Akibatnya, manusia yang mengkonsumsi ikan tersebut turut terpapar mikroplastik.”

Proses pembuatan gelas kertas juga tidak ramah lingkungan karena sekitar 6,5 juta pohon ditebang setiap tahun untuk memproduksi 16 miliar gelas kertas yang kita gunakan setiap tahun. 

Kriteria ramah lingkungan: dari dapur hingga desain

Di Balik Gairah Kafe, Sampah Plastik Membeludak di YogyakartaLokasi kafe di pedesaan makin lumrah di Yogyakarta agar memberi kesan asri, tapi strategi ini belum tentu ramah lingkungan (IDN Times/Yogie Fadila)

Di tengah maraknya kafe dengan tawaran suasana asri nan kehijauan di Jogja, tidak semua dapat dianggap benar-benar ramah lingkungan. Istilah seperti eco-friendly, eco-conscious, dan berkelanjutan seringkali hanya menjadi hiasan kata tanpa implementasi yang nyata. Sebuah penelitian oleh Jeong dan Jang dalam jurnal "The impact of eco-friendly practices on green image and customer attitudes: An investigation in a café setting" (2014) menjabarkan praktik-praktik hijau yang seharusnya menjadi ciri khas kafe yang benar-benar peduli lingkungan.

Menurut Jeong dan Jang, praktik ramah lingkungan di kafe dapat dimulai dengan mendaur ulang dan mengompos limbah. Pemakaian kemasan daur ulang untuk take away, pencahayaan efisien di area duduk, dan peralatan hemat air menjadi langkah awal yang dapat diambil. Pengelola kafe bahkan bisa menerapkan program kompos limbah makanan untuk meningkatkan kualitas tanah sekaligus mengurangi sampah.

Penerapan kebijakan hemat energi dan air juga menjadi aspek penting dalam menjadikan kafe ramah lingkungan. Pembatasan penggunaan air, penggantian lampu pijar dengan lampu CFL atau LED, hingga penggunaan sistem monitoring suhu yang efisien pada Heating Ventilation and Air-Conditioning (HVAC) menjadi langkah-langkah konkret yang dapat diambil oleh kafe.

Tidak hanya itu, penggunaan pembersih ramah lingkungan juga menjadi fokus utama. Pembersih non-toksik yang aman bagi lingkungan dan manusia harus menjadi pilihan utama, dari pembersih untuk mencuci piring hingga pembersih meja dan lantai.

Dalam konteks peralatan penyajian dan kemasan, kafe bisa memilih untuk menggunakan alat makan dan saji hasil daur ulang atau kemasan yang dapat digunakan ulang (reusable cup, misalnya). Konsep ini terwujud dalam penggunaan wadah take away yang dapat terurai atau bahan daur ulang lain daripada menggunakan Styrofoam, plastik maupun kertas. Promosi membawa tumbler pribadi dengan memberikan harga atau diskon khusus kepada konsumen juga menjadi langkah positif.

Menu berkelanjutan juga menjadi fokus utama. Makanan organik ditanam dengan pestisida dan pupuk non-toksik serta tanpa rekayasa genetika dapat menjadi pilihan yang tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga menyehatkan.

Green Restaurant Association (2013) menawarkan konsep sederhana dalam mengadopsi konsep hijau, melibatkan penggunaan makanan berkelanjutan, bahan ramah lingkungan, program penggunaan kembali dan daur ulang sumber daya, efisiensi energi dan air, serta desain bangunan dan ruang hijau.

Namun, penting untuk tidak mengesampingkan peran desain bangunan dan interior kafe dalam mencapai konsep ramah lingkungan. Desain minimalis yang disertai dengan penanaman tanaman memberikan kesan sejuk dan asri, tetapi konsep eko arsitektur dan eko interior jauh lebih kompleks.

Kebanyakan kafe "estetik kekinian" hanya mendesain bangunan mereka seminimalis mungkin lalu memberikan warna teduh atau sengaja membuka bisnis di tengah-tengah pedesaan dan persawahan agar terkesan "hijau" tanpa benar-benar mengadopsi prinsip-prinsip lingkungan secara menyeluruh.

Bagi pemerhati lingkungan, Himawan Kurniadi, langkah ini hanya trik pemasaran. “Ya, gimmick! Di Kulon Progo, Bukit Menoreh. Apalagi di Jalan Kaliurang banyak [kafe di tengah sawah]. Berarti mempercepat alih fungsi lahan juga kan? Dari yang tadinya pertanian menjadi komersil,” kata Kurniadi.

Padahal, konsep eko arsitektur dan eko interior tidak sesederhana membiarkan Monstera adansonii alias janda bolong menjalar di dalam ruang ngopi. Frick (2006) menjelaskan bahwa eko-arsitektur dan eko-interior tidak hanya melibatkan elemen visual semata, tetapi juga memperhatikan aspek energi, kesehatan, dan keanekaragaman hayati.

Prinsip dasar eko-arsitektur dan eko-interior, seperti penggunaan bahan alami yang bisa diperbaharui, energi bersih dan terbarukan, pengurangan sampah, dan peningkatan fungsi ekosistem, menjadi panduan utama bagi kafe yang ingin menyajikan pengalaman ramah lingkungan dari dapur hingga desain interior.

Baca Juga: Kopi dalam Tantangan Hulu ke Hilir dan Ancaman Perubahan Iklim

Kafe-kafe di Jogja dan praktik hijau yang mereka lakukan

Berkaca dari kriteria kafe ramah lingkungan yang ditawarkan Jeong dan Jang serta Frick, banyak pihak yang skeptis praktik-praktik hijau bisa dilakukan dengan sempurna. Sebab, menurut Kurniadi, tidak ada opsi ramah lingkungan yang tersedia bagi pengusaha kafe. Untuk beroperasi saja, kafe membutuhkan sambungan listrik PLN yang 82 persen pembangkit listriknya berasal dari energi fosil.

“Mereka gak bisa bilang, ‘Eh… PLN, suplai listrik kami yang dari tenaga matahari atau mikrohidro aja.’ Gak bisa. Kecuali mereka pasang sendiri,” sambung Kurniadi.

Senada, Komunitas Kopi Nusantara (KKN) memperkirakan baru secuil dari ribuan kafe di Yogyakarta yang menerapkan konsep ramah lingkungan, itu pun tidak secara konsisten dan sempurna.

Pengurus KKN, Andri berpendapat untuk benar-benar ramah lingkungan, perlu memperhatikan detail-detail dalam tata kelola kafe, seperti menggunakan mesin espresso yang masih memiliki dampak besar pada konsumsi listrik. “Satu mesin espresso dayanya 3 ribu watt, minimal. Gak jadi green kan?”.

Kendala lain yang sering menghambat pengusaha kafe menerapkan praktik ramah lingkungan adalah mahalnya biaya kemasan “hijau” jika dibanding kemasan sekali pakai berbahan plastik, styrofoam atau kertas.

Seorang pemilik kafe di Yogyakarta pernah berniat menggunakan produk kemasan berbahan pelepah pinang. Namun karena penyuplai memasok harga tinggi, dia pun mengurungkan niatnya. “Kalau misalnya produk itu ekonomis, kita pasti mau. Walaupun misalnya nanti ada labelnya Greenpeace, label Walhi, atau apalah. Terserah, bebas. Kita gak masalah,” ungkap pengusaha kafe independen tersebut ke IDN Times.

Akan tetapi, di tengah keterbatasan situasi, biaya dan juga teknologi, beberapa kafe di Yogyakarta tetap mengusahakan agar produk dan tempat usaha mereka meninggalkan jejak sampah seminimal mungkin, meski belum bisa sepenuhnya zero-waste.

Sellie Coffee

Di Balik Gairah Kafe, Sampah Plastik Membeludak di YogyakartaSuasana sederhana Sellie Coffee (IDN Times/Yogie Fadila)

Sellie Coffee merupakan kafe sederhana di tengah-tengah “Kampung Internasional” Prawirotaman, Yogyakarta. Popularitasnya menanjak sejak dijadikan lokasi syuting film Ada Apa dengan Cinta 2 (2016).

Meskipun tampak mungil dari luar, penempatan jendela kaca bening membuat ruangan terasa lebih luas dan sejuk karena mengandalkan udara dari luar dan pencahayaan alami. Sajian utama mereka kopi tubruk dengan biji kopi yang didapat langsung dari petaninya. Mulai dari Gayo, Toraja, Papua, Flores, hingga kopi lokal dari lereng Merapi dan Menoreh.

“Yang penting syarat-syaratnya kopinya bagus, sehat, ya udah bisa buka. Dengan teknik yang paling sederhana, tubruk, udah bisa jualan,” ujar pemilik kafe, Wisnu Birowo.

Karena disajikan dengan teknik tubruk dan tradisional, jadi jangan harap ada gelas plastik. Minuman disajikan dengan cangkir keramik atau bahkan lebih sederhana lagi gelas besar dari logam.

Kafe ini menjadi tempat berkumpul berbagai komunitas, tidak hanya pencinta kopi namun juga seniman yang memamerkan karyanya dan musisi yang meluncurkan album baru. Pameran lukisan seniman dapat dinikmati di setiap sisi dinding kafe, dengan koleksi yang berganti hampir setiap bulannya.

Klinik Kopi

Di Balik Gairah Kafe, Sampah Plastik Membeludak di YogyakartaPepeng, barista dan pemilik Klinik Kopi, sedang melayani seorang "pasien" (IDN Times/Yogie Fadila)

Klinik Kopi mungkin kafe slow bar paling kenamaan di Yogyakarta, proses menyeduh kopi dilakukan dengan santai, tidak terburu-buru, sembari sang barista, Pepeng, menjelaskan biji kopi spesialnya minggu itu.

Pepeng menjalankan konsep slow bar dengan penuh dedikasi. Di Klinik Kopi, layanan satu per satu menjadi norma. Pelanggan duduk di depan barista, seperti sedang berkonsultasi dengan dokter kesehatan. Pepeng dengan sabar menjelaskan jenis kopi yang tersedia, sumber biji, dan cara penyeduhan yang dirinya sarankan sesuai dengan selera pelanggan.

Setiap sajian kopi disajikan di tempat, menekankan pengalaman menyatu dengan aroma kopi yang kental. “Karena jika dibungkus pasti beda [rasanya]. Bungkus kue pun pasti pakai kertas gak pakai plastik,” Pepeng menjelaskan kenapa kedai miliknya tidak melayani take away dengan gelas sekali pakai. Jika langkah tersebut mengurangi sampah, maka itu adalah dampak positif yang dia syukuri.

Setelah dilayani Pepeng, pengunjung boleh menghabiskan kopi dan sajian lainnya di area duduk terbuka. Jika selesai, tersedia tempat untuk meletakkan gelas dan piring kotor karena kafe ini tidak mempekerjakan banyak staf.

Pepeng juga mengusung semangat lokalisme dengan menyajikan biji kopi lokal dari 13 petani binaannya yang tersebar di Sumatra, Jawa, hingga Flores. Praktik ini tidak hanya memberikan sentuhan rasa unik dari berbagai daerah di Indonesia tetapi juga membantu mengurangi jejak karbon karena transportasi yang lebih pendek dibanding mengimpor biji kopi dari luar negeri.

Jagongan Coffee

Di Balik Gairah Kafe, Sampah Plastik Membeludak di YogyakartaIlustrasi suasana di kafe berkonsep slow bar (IDN Times/Febriana Sintasari)

Ketika berkunjung ke Jagongan Coffee di Sewon, Bantul, yang mencuri perhatian bukanlah tempatnya yang asri dan sejuk. Bukan pula area outdoor yang seakan berbaur dengan alam. Hal yang membuat takjub adalah bersihnya tempat ini dari sisa-sisa kemasan sekali pakai.

“Memang di warung kami tidak menyediakan take away,” kata Tatang pemilik Jagongan Coffee, “Semua sajian hanya bisa dinikmati di warung." Jika pelanggan ingin membawa kopi pulang, mereka diharapkan membawa tumbler sendiri sebagai langkah kecil untuk mengurangi sampah plastik.

Sama seperti slow bar pada umumnya, Jagongan juga mengandalkan petani lokal untuk memasok biji kopinya.

Jagongan Coffee tidak hanya membatasi diri pada kebijakan tanpa take away. Pemilik kafe juga mengambil langkah nyata dalam pengelolaan sampah organik. Daun-daun yang gugur di sekitar kafe dikumpulkan dan diolah menjadi pupuk organik.

Saorsa Kopi

Di Balik Gairah Kafe, Sampah Plastik Membeludak di YogyakartaNgopi di ruang terbuka Saorsa (IDN Times/Yogie Fadila)

Mengambil tempat di halaman sebuah rumah di Ngaglik, Sleman sebuah kafe nyentrik bernama Saorsa Kopi berdampingan dengan kebun yang hijau sebagai area duduk. Tapi suasana hijau ini bukan cuma gimmick.

Co-owner Saorsan, Halason, mengatakan "Cup take away kita yang bisa dipakai ulang, reusable." Selain itu, kemasan untuk menu rice bowl dikemas dengan kertas yang bisa terurai secara alami atau biodegradable. Meskipun pernah mencoba plastik dari pati singkong, mereka mengalami kendala ketika pesanan diantar jasa online delivery, sehingga kini beralih menggunakan plastik ramah lingkungan dari pemasok yang terpercaya.

"Kendalanya, penyedia kemasan ramah lingkungan di Jogja masih sangat jarang, susah ditemukan," tambahnya.

Meskipun menggunakan kemasan ramah lingkungan, Saorsa Kopi tetap bersaing dalam hal harga. Dengan harga Rp25 ribu, pelanggan tidak hanya bisa menikmati minuman kopi, tetapi juga mendapatkan reusable cup untuk dibawa pulang. "Kalau menurut saya, kafe lain bisa mengambil langkah yang sama," kata Halason. "Namanya take away, berarti pelanggan tidak memakai cost sewa tempat, listrik, wifi. Jadi cost kemasan diambil dari situ."

Halason mengamati bahwa pelanggan Saorsa Kopi memiliki tingkat kesadaran yang tinggi terhadap lingkungan. Beberapa bahkan membawa tumbler, gelas guna ulang atau wadah lain untuk mendapatkan diskon 20 persen saat pembelian kopi.

Saorsa Kopi juga telah membangun kerjasama dengan Rapel untuk menangani sampah minyak goreng atau jelantah. Rapel adalah layanan pengelola sampah berbasis aplikasi dimana pengguna seperti Halason bisa menukar jelantah dan sampah anorganik seperti kertas, plastik, logam, botol kaca, maupun barang elektronik dengan uang.

Saorsa Kopi merencanakan langkah selanjutnya dengan memasang kotak pengolah sampah organik. "Kami berencana mau pasang box pengolah sampah organik, yang ada maggotnya. Sudah ada barangnya tinggal dipasang," ungkap Halason.

Dongeng Kopi

Di Balik Gairah Kafe, Sampah Plastik Membeludak di YogyakartaDongeng Kopi memberikan gelas guna ulang atau reusable cup yang diberikan ke pelanggan take away (IDN Times/Yogie Fadila)

Berdiri sejak 2012, Dongeng Kopi bukan nama asing bagi pecinta kopi di Yogyakarta berkat kelas-kelas menyeduh dan edukasi lain yang sudah lama mereka gencarkan. Pernah menimba ilmu dan bekerja di Dongeng Kopi merupakan isian CV yang mentereng bagi seorang barista di Yogyakarta.

Kini membuka cabang di dua lokasi, Ngemplak dan Kalasan (dua-duanya di kabupaten Sleman, DI Yogyakarta), Dongeng Kopi sengaja menggunakan bangunan mirip Joglo yang semi-terbuka agar sirkulasi udara lancar. Tidak ada AC.

Pemiliknya, Renggo Darsono, tidak pernah mengklaim bahwa usahanya sepenuhnya ramah lingkungan. “Kami berusaha untuk mengarah ke sana, hanya memang hambatannya banyak. Saya harus akui itu,” kata Renggo Darsono. Hambatan yang ia maksud, salah satunya, mahalnya harga kemasan ramah lingkungan.

Meski demikian, Renggo dan tim tidak serta merta menyajikan minuman di gelas sekali pakai. Bagi pelanggan yang minum di tempat, kopi mereka disajikan di cangkir atau gelas kaca. Jika mau take away, Dongeng Kopi menyediakan reusable cup atau gelas guna ulang.

Kafe ini juga memberi diskon 10 persen bagi pelanggan yang membawa botol tumbler atau gelas minum sendiri. Kertas-kertas filter kopi yang sudah dikumpulkan, mereka bersihkan lalu dijemur untuk kemudian dijahit menjadi buku catatan.

Tak sampai di situ, kafe ini juga mengelola sampahnya dengan cukup bijak. Sampah sisa makanan mereka salurkan ke peternakan maggot. Sementara sampah yang masih bisa dimanfaatkan mereka tukar dengan pemasukan di Pasar Wiguna, yakni komunitas mingguan yang menjual produk sehat dan ramah lingkungan.

Baca Juga: Ribuan Coffee Shop di DIY Belum Diimbangi Produksi Kopi

Di luar lima contoh di atas, tentu masih ada lagi kafe sadar lingkungan yang tersebar di seantero Yogyakarta, walau menjadi 100 persen ramah lingkungan akan sulit dicapai. Setidaknya, kamu sebagai penikmat kopi bisa memperhatikan hal berikut ini:

Artikel ini adalah bagian dari fellowship program For the People

Topik:

  • Yogie Fadila
  • Paulus Risang
  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya