Pemberitaan Musibah Sriwijaya Air: Sarat Sensasi, Minim Empati

Pemberitaan mengulik gaji pilot, firasat, hingga ramalan

Yogyakarta, IDN Times - Kabar kecelakaan pesawat Sriwijaya Air bernomor penerbangan SJ-182 rute Jakarta-Pontianak pada 9 Januari 2021 mengisi wajah laman-laman media massa. Semula, banyak media yang memberitakan soal kemungkinan lokasi jatuhnya pesawat yang membawa 50 penumpang dan 12 kru pesawat. Sumbernya adalah kesaksian nelayan yang mengaku melihat pesawat jatuh di perairan Kepulauan Seribu.

Tak berapa lama, ketika kondisi penumpang dan awak pesawat belum diketahui, bahkan badan pesawat belum ditemukan, sejumlah media mulai mengulik kecelakaan dari angle lain yang terkesan sesnsasional. Mulai dari menyoroti gaji pilot, kalimat-kalimat terakhir yang diucapkan para korban, hingga firasat dan ramalan sebelum kecelakaan terjadi.

“Dalam tahapan proses peliputan dan pemberitaan yang dilaporkan ada yang dinilai tidak sesuai Kode Etik Jurnalistik (KEJ),” kata Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Abdul Manan dalam siaran pers berjudul Jurnalis dan Media Perlu Perhatikan Aspek Etik dalam Liputan dan Pemberitaan Kecelakaan Sriwijaya Air tertanggal 11 Januari 2021.

Contoh-contoh pemberitaan yang dinilai tak sesuai KEJ itu membuat gusar sejumlah netizen yang melek media. Mereka mengunggah contoh-contoh pemberitaan media online yang dinilai tidak berempati dengan keluarga korban yang tengah berduka dan mengkritisinya.

WTF PLEASE STOP DOING THIS,” tulis pemilik akun Twitter @mazzini_gsp sembari mengunggah screenshoot judul salah satu media online yang mengulas gaji pilot pesawat nahas itu.

Akun @potretlawas juga mengunggah cuitan. “…duka ini sudah cukup pekat. Tak perlu menambah luka dan kacau dengan menguliti media sosial korban, menyebar berita firasat, dan juga kabar-kabar sensasional lain.”

Kritikan tajam juga disampaikan Ketua Jurnalis Bencana dan Krisis Ahmad Arif. Mengingat saban ada peristiwa kecelakaan pesawat, pemberitaan yang tidak mengedepankan empati bagi korban dan keluarga selalu ada.  

“Terus saja berulang. Jurnalisme bencana, bencana jurnalisme,” cuit pemilik akun @aik_arif itu.

AJI pun menyampaikan poin-poin apa yang semestinya dilakukan jurnalis dan media dalam meliput dan memberitakan peristiwa-peristiwa musibah, seperti kecelakaan.

Baca Juga: Sriwijaya Tambah Daftar Panjang Jatuhnya Pesawat di Indonesia 

1. Stop mengajukan pertanyaan yang mengulik trauma

Pemberitaan Musibah Sriwijaya Air: Sarat Sensasi, Minim EmpatiKerabat korban pesawat Sriwijaya Air PK-CLC yang jatuh di perairan Pulau Seribu menunggu di Dermaga JICT, Jakarta, Senin (11/1/2021). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Salah satu cara jurnalis dan media menghormati pengalaman traumatis keluarga korban Sriwijaya Air adalah dengan tidak mengajukan pertanyaan yang membuatnya lebih trauma. Seperti menanyakan soal bagaimana perasaan anda, dan semacamnya.

Meski tugas jurnalis adalah mencari informasi, jika keluarga korban tidak bersedia diwawancara atau menunjukkan sikap enggan digali informasinya, maka jurnalis harus menghormati dengan tidak memaksanya. Media juga hendaknya tidak mengeskploitasi informasi, foto, atau video yang bisa menimbulkan trauma lebih lanjut bagi keluarga dan publik.

“Menghormati pengalaman traumatis narasumber merupakan implementasi dari prinsip minimizing harm atau meminimalkan kerusakan akibat kerja jurnalistik,” kata Sekretaris Jenderal AJI, Revolusi Riza.

Prinsip ini menjadi dasar penyamaran identitas anak pelaku kejahatan dan korban kejahatan susila dalam Pasal 5 KEJ. Beberapa prinsip penting lain dalam KEJ adalah:  fungsi jurnalisme mencari kebenaran, bekerja untuk kepentingan publik, berusaha menjaga independensi.

2. Jurnalis dan media hendaknya tetap memegang prinsip profesionalisme

Pemberitaan Musibah Sriwijaya Air: Sarat Sensasi, Minim EmpatiIlustrasi Jurnalis (IDN TImes/Arief Rahmat)

Prinsip ini telah diatur dalam Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik. Salah satu prinsip bekerja secara profesional adalah dengan menggunakan sumber informasi yang kredibel dan kompeten.

Pemilihan narasumber tetap harus mempertimbangkan kredibilitas dan kompetensinya. Menggunakan sumber dari seorang peramal sebagai bahan berita kecelakaan adalah tindakan yang kurang patut.

3. Media berfokus menjalankan fungsi informatif dan kontrol sosial ketimbang memberitakan yang tidak relevan

Pemberitaan Musibah Sriwijaya Air: Sarat Sensasi, Minim EmpatiPrajurit Satuan Komando Pasukan Katak (Satkopaska) Armada 1 berusaha mengangkat puing pesawat Sriwijaya Air SJ 182 dari dasar perairan Kepulauan Seribu, Jakarta, Senin (11/1/2021). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

Pemberitaan yang mengangkat soal gaji pilot atau awak penerbangan dan semacamnya mungkin bersifat informatif, tapi kurang tepat diberitakan saat musibah terjadi. Bahkan cenderung mengabaikan kondisi traumatis keluarga korban.

Kecuali ada indikasi kuat dalam proses penyelidikan, bahwa gaji awak pesawat menjadi faktor signifikan dalam kecelakaan. Lebih bermanfaat apabila jurnalis dan media berfokus memberitakan informasi terbaru tentang peristiwa sehingga bisa membantu publik, termasuk keluarga dalam bertindak.

Jurnalis dan media juga perlu lebih mengungkap soal aspek tanggung jawab dari perusahaan dan otoritas penerbangan soal keamanan dan kelaikan pesawat, agar bencana serupa tak berulang lagi.

4. Jurnalis harus tetap mengikuti protokol kesehatan dalam liputan kecelakaan saat pandemi

Pemberitaan Musibah Sriwijaya Air: Sarat Sensasi, Minim EmpatiIlustrasi Jurnalis (IDN TImes/Arief Rahmat)

Kondisi pandemi COVID-19 menuntut jurnalis tetap memakai masker dan menjaga jarak fisik yang aman untuk menghindari penularan saat bertugas. Tak terkecuali keselamatan jurnalis dalam liputan juga harus diperhatikan.

Seperti keikutsertaan jurnalis dalam meliput upaya pencarian korban dan puing pesawat di Kepulauan Seribu hendaknya dilengkapi alat keselamatan, seperti baju pelampung.

Baca Juga: Sejarah Sriwijaya Air, Ingin Satukan Nusantara Bak Kerajaan Sriwijaya

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya