Larangan Merekam di Pengadilan Menambah Deretan Aturan Represif

Menghalangi tugas jurnalistik dan hak informasi publik

Yogyakarta, IDN Times – Sebuah dokumen berupa surat edaran yang ditandatangani Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung tertanggal 7 Februari 2020 beredar pekan lalu di kalangan jurnalis dan aktivis di Jakarta.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati yang juga menerimanya menyebutkan surat edaran bernomor 2 Tahun 2020 itu berisi tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan. Salah satu bunyinya menyebutkan, pengambilan foto, rekaman suara, rekaman televisi harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

“Aturan itu akan memperparah mafia peradilan yang selama ini ditemukan dalam banyak laporan,” demikian Asfinawati menegaskan dalam siaran pers yang diterima IDN Times, Jumat (28/2).

Tak hanya aktivis lembaga bantuan hukum yang hampir saban hari bertugas melakukan pendampingan hukum di pengadilan, jurnalis dan aktivis yang melakukan pemantauan peradilan pun menilai aturan dalam surat edaran itu bermasalah. Mengingat aturan tersebut juga diberlakukan dalam persidangan yang dinyatakan hakim terbuka untuk umum. Mereka bersepakat mengecam surat edaran itu dan mendesak MA untuk mencabutnya.

Baca Juga: Sidang Korupsi Proyek Drainase, Haryadi Suyuti Bantah Terima Uang

1. Merekam persidangan itu untuk bukti jalannya persidangan

Larangan Merekam di Pengadilan Menambah Deretan Aturan RepresifIDN Times/Irfan Fathurochman

Asfinawati menjelaskan, upaya merekam dan memotret perlu dilakukan karena tradisi mencatat jalannya persidangan atas bukti-bukti keterangan yang disampaikan di sana belum berjalan dengan baik. Acap kali LBH menemukan keterangan saksi dikutip secara berbeda dan tidak utuh dalam tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) maupun putusan majelis hakim, sehingga menimbulkan makna yang berbeda.

Foto dan rekaman juga menjadi bukti atas sikap majelis hakim di peradilan. Mengingat ada sejumlah pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengikat hakim. Seperti Pasal 158 KUHAP yang melarang hakim menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan dalam persidangan tentang keyakinan salah tidaknya terdakwa. Kemudian Pasal 166 KUHAP yang mengatur pernyataan yang bersifat menjerat yang tidak boleh diajukan kepada terdakwa maupun saksi.

Selain itu, bukti foto dan rekaman akan membuat hakim dan para pihak merasa diawasi. Mereka akan berpikir dua kali jika akan bertindak tidak patut atau melanggar hukum acara.

2. LBH Yogyakarta: Surat edaran bersifat represif

Larangan Merekam di Pengadilan Menambah Deretan Aturan RepresifDirektur LBH Yogyakarta Yogi Zul Fadli (ketiga dari kiri). IDN Times/Pito Agustin Rudiana

YLBHI bersama 16 LBH di daerah menilai persoalan-persoalan peradilan belum banyak berubah. Meskipun telah diterbitkan beberapa peraturan di tingkat MA yang membawa pembaruan, namun praktik-praktik minta uang serta layanan yang belum teratur masih ditemui di berbagai proses peradilan. Pengadilan juga lambat merespons permintaan para pihak yang berpekara.

“Surat edaran itu menambah deretan aturan yang merepresi segala lini,” kata Direktur LBH Yogyakarta Yogi Zul Fadli ketika dihubungi IDN Times, Jumat (28/2).

Surat edaran tersebut berlaku sejak tanggal diundangkan. Meski pun dalam sejumlah persidangan, aturan tersebut belum sepenuhnya diterapkan.

"Mungkin belum ada sosialisasi di pengadilan di daerah," kata Yogi.

3. AJI Yogyakarta: surat edaran menghalangi kemerdekaan pers

Larangan Merekam di Pengadilan Menambah Deretan Aturan RepresifKetua AJI Yogyakarta Shinta Maharani. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Organisasi pers Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers yogyakarta menilai surat edaran MA itu merupakan bagian dari upaya memberangus kebebasan pers karena menghalangi tugas jurnalis yang dilindungi UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan terikat pada kode etik jurnalistik. Apalagi Bagian II angka 9 Tata Tertib Persidangan dalam surat edaran itu disebutkan, pelanggaran tata tertib atas keharusan izin memotret dan merekam itu merupakan tindakan yang bersifaat pidana. Pelaku pelanggaran bisa dituntut.

“Ancaman pidana itu berpotensi mengkriminalisasi setiap jurnalis yang meliput di lingkungan pengadilan tanpa izin ketua pengadilan,” kata Ketua AJI Yogyakarta Shinta Maharani.

Bahkan aturan surat edaran MA itu bertentangan dengan Pasal 4 ayat 3 UU Pers yang berisi untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

“Justru siapa pun yang menghalangi tugas jurnalis ada ancaman pidananya,” kata Shinta.

Ancaman pidana bagi pihak-pihak yang menghalangi tugas jurnalistik adalah pidana penjara paling lama dua tahun atau denda maksimal Rp 500 juta. Ancaman pidana itu diatur dalam Pasal 18 ayat 1 UU Pers.

“Dan kemerdekaan pers adalah hak asasi warga negara,” imbuh Shinta mengingatkan. Artinya, menghalangi tugas jurnalis sama saja menghalangi publik mendapatkan informasi.

4. ICM: surat edaran terbit usai Sekretaris MA jadi buronan KPK

Larangan Merekam di Pengadilan Menambah Deretan Aturan RepresifAktivis ICM menunjukkan empat surat laporan tentang Menkumham Yasonna Laoly, Yogyakarta, 20 Januari 2020. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pemantauan peradilan, Indonesia Court Monitoring (ICM) menilai surat edaran MA itu melanggar konstitusi, UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) Nomer 14 Tahun 2008 yang salah satu poinnya menyebutkan keterbukaan informasi adalah hak asasi manusia. Bahkan surat edaran itu juga bertentangan dengan Surat Keputusan MA Nomor 144 Tahun 2007 tentang Keterbukaan Informasi Pengadilan.

“Semakin menguatkan publik, MA itu lembaga yang anti pengawasan,” kata Direktur ICM Tri Wahyu kepada IDN Times.

Keharusan meminta izin untuk memotret dan merekam dinilai kian memperpanjang rantai birokrasi. Sekaligus tak sejalan dengan cetak biru reformasi di tubuh MA yang mestinya mempercepat dan mempermudah layanan publik.

“Ironisnya, surat edaran ini terbit ketika mantan Sekretaris MA Nurhadi jadi buronan KPK karena kasus korupsi,” kata Tri Wahyu.

Baca Juga: Alasan Tiga Tersangka Susur Sungai Tolak Upaya Penangguhan Penahanan

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya