AJAK:  KPK Dilemahkan Lewat Teror hingga Undang-undang

Masyarakat harus mengawal pemberantasan korupsi

Yogyakarta, IDN Times – Elemen-elemen masyarakat sipil yang terdiri dari akademisi, mahasiswa, aktivis, juga lembaga swadaya masyarakat kembali akan turun ke jalan di perempatan Tugu Yogyakarta, Rabu (16/10).

Mereka tergabung dalam Aliansi Jogja Anti Korupsi (AJAK) untuk menolak segala bentuk pelemahan terhadap pimpinan maupun institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mengingat sehari lagi, UU KPK hasil revisi yang telah disahkan pada 17 September 2019 lalu oleh DPR Periode 2014-2019 akan diberlakukan pada 17 Oktober 2019.

“Meskipun UU KPK hasil revisi tanpa ditandatangani Presiden, tetap berlaku,” kata narahubung AJAK, Dian Ravi Alphatio menjelang aksi.

Apa saja bentuk-bentuk pelemahan terhadap KPK?

1. Pimpinan dan pegawai KPK mengalami teror

AJAK:  KPK Dilemahkan Lewat Teror hingga Undang-undang(Penyidik senior KPK Novel Baswedan) ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Masih ingat penyiraman air keras yang merusak mata penyidik KPK, Novel Baswedan selepas Subuh? Tiga tahun sudah, tepatnya 11 April 2017, kasus yang menimpa Novel berlalu begitu saja. Bahkan polisi belum berhasil menangkap pelaku penyiraman air keras. Padahal, lanjut Alphatio, polri telah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta melalui Surat Keputusan Sgas/3/I/Huk.6.6./2019 tertanggal 8 Januari 2019 dan telah diperpanjang masa kerjanya.

“Hingga kini penegakan hukumnya tak juga tuntas,” kata Alphatio.

Setidaknya ada dua tuntutan AJAK terkait kasus Novel. Pertama, menuntut Kapolri mengungkap hasil penyelidikan Tim Gabungan Pencari Fakta terhadap kasus Novel Baswedan yang dibentuk Polri secara transparan dan tuntas. Kedua, mendesak Presiden untuk membentuk tim pencari fakta yang independen unutk menyelesaikan kasus Novel jika tim gabungan pencari fakta bentukan polri gagal mengusut kasus tersebut.

Tak hanya Novel. Sebelumnya, sejumlah penyidik dan jaksa KPK juga pernah menerima ancaman fisik hingga pesan intimidasi. Seperti yang dialami Arief Yulian Miftach yang menjadi Ketua Satuan Tugas KPK untuk mengusut kasus rekening gendut perwira polisi pada 2015.    

Dan awal tahun ini, tepatnya 9 Januari 2019, teror bom terjadi di rumah Ketua KPK Agus Rahardjo dan Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif.

Baca Juga: Mahasiswa Yogyakarta akan Turun ke Jalan Jelang UU KPK Diberlakukan

2. Proses revisi UU KPK sarat persoalan

AJAK:  KPK Dilemahkan Lewat Teror hingga Undang-undangIDN Times/Surya Aditya

Pelemahan KPK juga dilakukan secara struktur dan sistematis melalui program legislasi di DPR. Terhitung sejak 17 September 2019, DPR secara buru-buru mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atas persetujuan bersama pemerintah.

“Ada pelanggaran formil dalam pengesahan revisi UU KPK ini,” kata Alphatio.

Mengingat Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan disebutkan pembahasan RUU harus berdasarkan program legislasi nasional (prolegnas). Sementara RUU KPK tidak masuk dalam Prolegnas 2019.

“Revisi UU KPK oleh DPR menuai kritik masyarakat,” kata Alphatio.

Lantaran aturan yang termuat dalam RUU KPK dinilai tidak mewakili semangat penguatan KPK sebagai lembaga penegak hukum untuk pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Bahkan dinilai merupakan salah satu upaya pelemahan terhadap pemberantasan korupsi.

“Presiden harus mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK untuk mencabut UU KPK yang baru,” kata Alphatio.

3. Pasal-pasal UU KPK hasil revisi bertentangan dan melemahkan

AJAK:  KPK Dilemahkan Lewat Teror hingga Undang-undangIDN Times/Pito Agustin Rudiana

Sejumlah pasal dalam UU KPK hasil revisi dinilai kontroversial karena menabrak aturan-aturan sebelumnya. Akibatnya, sejumlah pasal tersebut justru melemahkan fungsi KPK sebagai lembaga penegak hukum untuk pemberantasan korupsi.

Pertama, soal independensi KPK. Dalam UU KPK hasil revisi yang termuat dalam Pasal Pasal 1 angka 3, Pasal 1 angka 7, Pasal 24 ayat (2) dan (3) disebutkan KPK adalah lembaga pemerintah pusat yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketentuan tersebut bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomer 012-016- 019/PUU-IV/2006 yang menyatakan KPK adalah lembaga negara yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman. Juga bertentangan dengan Pasal 38 UU Nomer 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

“Jadi ya gak tepat menggolongkan KPK sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, tetapi masuk sebagai lembaga eksekutif,” kata Alphatio.

Kedua, kewenangan penyadapan merupakan kekuatan yang diberikan hukum kepada KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi. Namun lewat UU KPK hasil revisi dalam Pasal 12A, 12 B, 12C, 12D, 12E, 37A, 37B, 37C, 37D, 37E, 37F, 37G dan 69A, justru KPK harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas terlebih dulu untuk melakukan penyadapan. Sedangkan Dewan Pengawas diangkat oleh Presiden.

“Tentu akan menimbulkan conflict of interest dalam pelaksanaan penyadapan oleh KPK. Efektifitas pemberantasan korupsi akan terganggu,” kata Alphatio.

AJAK pun mengajak segenap elemen masyarakat untuk turut mengawal pemberantasan korupsi di Indonesia.

Baca Juga: Jaringan Anti Korupsi: Perppu adalah Hak Konstitusional Presiden

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya