Sepak Terjang Kartini Bumi Pelindung Lingkungan

Kamu bisa menjadi seperti mereka dari langkah-langkah kecil

Intinya Sih...

  • Bank Sampah Pa-Q-One di Yogyakarta mengedukasi masyarakat, terutama anak-anak, untuk belajar peduli sampah lewat cara yang unik, yaitu bermain dan membuat kerajinan dari barang bekas.
  • Aisyah Odist di Lombok menggerakkan petani nanas untuk mengolah limbah daun nanas menjadi serat nanas yang digunakan sebagai bahan tekstil dan produk turunannya.
  • Shalina Nur Hanna di Jogja membentuk komunitas Jogja Berbunga untuk menyelamatkan bunga segar dari acara pernikahan dan membagikan secara gratis kepada yang membutuhkan.

Yogyakarta, IDN Times - Bank Sampah Pa-Q-One (Pakiwon) di Jalan Gedongkiwo, Kalurahan Gedongkiwo, Kemantren Mantrijeron, Kota Yogyakarta, ukurannya memang tidak sebesar bank sampah lain di Kota Yogyakarta. Lokasinya menempati teras bangunan rumah. Saat IDN Times menyambangi tempat ini pada 17 April 2024, tidak banyak sampah hasil pilahan yang menumpuk di sini. Namun, di salah satu sudut, terdapat rak yang isinya penuh dengan hasil kerajinan dari barang bekas. Di sudut lain, ada rak penuh buku anak-anak. 

Pengelola Bank Sampah Pa-Q-One, Widhyarprincessiastuty, mengaku tempat ini memang tidak sekadar mengumpulkan sampah dari nasabah. Lebih dari itu, perempuan paruh baya ini juga aktif mengedukasi masyarakat, terutama anak-anak, untuk belajar peduli sampah lewat cara yang unik, yaitu bermain dan membuat kerajinan. 

Perempuan yang akrab disapa Essy ini merupakan salah satu Kartini modern yang berperan aktif dalam upaya pelestarian lingkungan. Seperti kita tahu, Hari Kartini yang diperingati setiap tanggal 21 April tidak hanya dirayakan sebagai penghormatan kepada RA Kartini yang memperjuangkan emansipasi perempuan di masa lalu, tetapi juga sebagai momen untuk mengapresiasi perjuangan perempuan-perempuan Indonesia masa kini di berbagai bidang, termasuk lingkungan hidup.

Ada Kartini-Kartini dari berbagai daerah di Indonesia yang memberikan kontribusi penting terhadap keberlangsungan lingkungan hidup dengan caranya masing-masing. Dari mengedukasi masyarakat untuk memilah sampah, mengelola limbah menjadi produk yang bernilai tambah, hingga upaya-upaya melestarikan ekosistem hutan. 

Bertepatan juga dengan peringatan Hari Bumi Sedunia (Earth Day) pada 22 April, kali ini ada cerita sepak terjang Kartini Bumi dari Kalimantan Selatan hingga Nusa Tenggara Barat, yang terus berjuang tanpa kenal lelah menjaga kelestarian lingkungan melalui kegiatan komunitas, inovasi, dan aktivisme. Cerita-cerita berikut ini diharapkan bisa menjadi apresiasi terhadap pelaku sekaligus inspirasi bagi perempuan dan masyarakat pada umumnya.

 

Dari limbah jadi produk yang bernilai tambah

Sepak Terjang Kartini Bumi Pelindung LingkunganPinalo, produk olahan dari limbah daun nanas di Lombok. (dok. Istimewa)

Aisyah Odist, seorang aktivis lingkungan, terus berupaya mencari solusi untuk mengurangi jumlah sampah organik dan non-organik di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Ia menggerakkan para petani nanas di Desa Jurit, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, untuk mengolah limbah daun nanas menjadi serat nanas. Serat daun nanas kemudian diolah menjadi kain tenun dan berbagai produk turunannya dengan merek dagang Pineapple of Lombok atau Pinalo. 

Melalui bank sampah yang dikelolanya, Aisyah memperhatikan bahwa daun nanas sering kali menjadi limbah organik yang dibuang begitu saja. Ia melakukan riset dan menemukan bahwa daun nanas dapat diolah menjadi serat nanas yang dapat digunakan sebagai bahan tekstil. Pada tahun 2018, ia mengajukan proposal program sebagai mitra Corporate Social Responsibility (CSR) di PLN untuk mendapatkan mesin ekstraksi daun nanas. 

"Mesinnya dapat 4, dibagikan ke petani sekalian kita ajarin mereka mengolah daun nanas menjadi serat nanas. Cuma setelah banyak hasilnya, bingung juga kita mau diapain. Saya bagi-bagi serat daun nanas itu ke teman-teman untuk dibuat apa saja. Walaupun di petani kita beli. Tapi saya kasih ke teman-teman, mereka jadikan produk," kata Aisyah dalam wawancara dengan IDN Times pada 19 Maret 2024.

Bertepatan dengan pandemi COVID-19, pihaknya pun fokus mengolah serat nanas menjadi kain tenun. Harga serat nanas yang dibeli dari petani awalnya sekitar Rp75 ribu per kilogram. Kini, nilainya meningkat menjadi Rp130 ribu per kilogram. Setelah jadi kain tenun akhirnya bisa diolah menjadi berbagai produk turunan yang lain, seperti tas, dompet, topi, sarung bantal, baju, dan lain-lain. Dari situ lahirlah Pinalo yang kini sudah menembus pasar Eropa.

"Sekarang ada 12 petani yang terlibat dalam pengolahan daun nanas menjadi serat nanas. Sedangkan penenun 14 orang dan penjahit 5 orang. Kita juga libatkan kelompok pewarna alam. Kita libatkan petani nanas di Desa Jurit Baru Kecamatan Masbagik Lombok Timur. Tapi kita rencana untuk pengembangan ke Desa Lendang Nangka, Sukatain, Gelora dan Kesik Lombok Timur," tutur Aisyah.

Menurut Aisyah, serat nanas bisa menjadi komoditas unggulan NTB. Namun, dukungan dari pemerintah setempat hingga saat ini masih minim. Aisyah berharap pemerintah dapat memberikan bantuan berupa mesin ekstraksi daun nanas untuk meningkatkan produksi serat nanas di Lombok Timur.

"Pemerintah siapkan mesin ekstraksi daun nanas saja untuk masyarakat. Harga mesinnya sekitar Rp17 juta. Karena potensinya besar sekali di Lombok Timur. Daripada panen nanas setahun sekali, ini bisa dibudidayakan karena daunnya bisa dimanfaatkan. Negara-negara seperti Filipina, Thailand dan Amerika Serikat butuh serat nanas jadi bahan baku produk-produk lain," kata dia.

Baca Juga: [WANSUS] Pinalo, Produk Limbah Daun Nanas Lombok Menembus Pasar Eropa

Bunga segar bekas event jadi punya napas baru

Sepak Terjang Kartini Bumi Pelindung LingkunganKomunitas Jogja Berbunga (instagram.com/jogja.berbunga)

Lain lagi dengan yang dilakukan Komunitas Jogja Berbunga yang digagas oleh Shalina Nur Hanna. Ia berusaha agar bunga segar yang selesai digunakan untuk dekorasi acara seperti pernikahan, ulang tahun, dan sebagainya, tidak berakhir di tempat sampah. Bermula dari acara pernikahan sang adik, perempuan yang akrab disapa Selly ini bisa menyelamatkan satu rangkaian bunga segar.

"Kebetulan saya tahu di Jakarta ada komunitas yang concern memperpanjang usia bunga segar. Lalu saya tanya di media sosial kira-kira kalau di Jogja di mana, ya. Harapannya ini (bunga yang ia dapat) dapat disalurkan," ucapnya pada IDN Times, Rabu (17/05/2024).

Dari situ, ia justru menemukan orang-orang yang tertarik membentuk komunitas serupa di Jogja. Dari 10 orang yang menjadi konseptor, kini Komunitas Jogja Berbunga telah memiliki 19 relawan yang semuanya perempuan. Mereka juga bekerja sama dengan wedding organizer (WO) sebagai penyalur bunga segar. Selain WO, acara perorangan pun mereka ladeni.

Selly menjelaskan, bunga-bunga yang didapat akan disalurkan secara gratis kepada yang membutuhkan. Dari situ, bunga-bunga segar tersebut kembali diolah para penerimanya. Ia membebaskan para adopter untuk menggunakan bunga-bunga tersebut, boleh untuk diri sendiri sekadar untuk dipajang atau diolah menjadi barang baru.

"Ada (adopter bunga) yang bisa mengelola jenis bunga melati, yang biasa dipakai untuk hiasan rambut manten, menjadi massage oil. Ada juga yang bisa mengolah jadi wall art. Dan yang paling mudah adalah dikeringkan," ujar perempuan asli Jogja tersebut.

Selly mengaku, bukan hal mudah untuk menjalankan komunitas yang seluruhnya adalah relawan, tanpa bayaran. Namun, dengan tekad berjejaring untuk kebaikan, pihaknya berupaya agar komunitas Jogja Berbunga ini kian semerbak namanya. 

Baca Juga: Komunitas Jogja Berbunga, Beri Hidup Baru pada Bunga Segar Bekas

Ecoprint untuk mendukung fashion ramah lingkungan

Sepak Terjang Kartini Bumi Pelindung LingkunganAnggraini Kumala Sari, founder ecoprint Kahut Segierbori Lampung (instagram/kahut_sigerbori)

Anggraini Kumala Sari, pengusaha fashion di Lampung, mempelajari banyak hal agar bisnis fashionnya tak sekadar menghasilkan uang tapi sekaligus menjaga lingkungan dan bermanfaat untuk perempuan lainnya. Salah satu cara yang ia adopsi untuk menghasilkan produk fashion ramah lingkungan adalah ecoprinting.

“Saya tadinya bordir, sulam semua pakai sintetis. Terus saya baca-baca dan lihat tentang fashion ramah lingkungan, itu saya tertarik untuk mempelajari ecoprinting. Karena saya kan sudah berkecimpung lama di dunia kerajinan terutama kain-kain, saya sadar kalau industri fashion maupun kriya ini banyak menimbulkan limbah, baik limbah kain atau limbah pewarna. Akhirnya saya mempelajari alternatif yang ramah lingkungan yaitu menggunakan pewarna alami,” kata Anggrani kepada IDN Times, Kamis (18/4/2024).

Kemampuannya dalam bidang kerajinan ecoprinting membawanya kembali memulai bisnis fashion di Kota Bandar Lampung dengan nama Kahut Sigerbori pada tahun 2018. Menggandeng perempuan di lingkungan sekitar untuk produksi, namanya semakin dikenal oleh warga Lampung. 

Tak sampai di situ, Anggraini juga rutin memberikan edukasi kerajinan ecoprinting di berbagai daerah Lampung maupun luar Lampung, seperti Sumatera Selatan dan Jawa Tengah. Pelatihan tersebut diberikan gratis untuk kelompok difabel dan perempuan prasejahtera.

“Kahut ini kadang-kadang diundang suatu instansi untuk memberikan pelatihan. Biayanya ditanggung oleh instansi tersebut. Jadi keuntungan dari situ, kita gunakan untuk memberikan pelatihan gratis dan menyediakan bahan baku juga untuk praktik peserta. Sampai sekarang sudah ada seribu lebih yang kita beri pelatihan, baik sebagai narasumber maupun pelatihan diselenggarakan Kahut sendiri,” ujarnya.

Selain ramah lingkungan, Anggraini mengatakan ecoprinting juga terbilang minim modal dalam pembuatannya. Sehingga sangat cocok dikembangkan pada ibu rumah tangga yang tidak memiliki skill atau berada di pedesaan yang aksesnya cukup jauh dari mana-mana.

“Jadi untuk menunjang perekonomian pedesaan sangat cocok karena istilahnya daun metik di halaman aja bisa jadi produk. Sangat minim modal, kita hanya perlu membeli kain yang sesuai dan tidak butuh keahlian khusus, hanya perlu keteladanan dan perlu sentuhan seni, akan menjadi sebuah produk indah dan bernilai ekonomi,” kata Anggraini.

Anggraini berharap, masyarakat semakin sadar menjadi keren tak sekadar tampilan luar tapi harus benar-benar mempelajari bagaimana proses pembuatan produk dari hulu ke hilir. Menurutnya, konsumen harus selektif dalam membeli sebuah produk, seperti mencari tahu apakah produk tersebut sudah mencakup aspek-aspek keberlanjutan ramah lingkungan.

“Contoh ramah lingkungan itu dibuat tanpa menimbulkan limbah fashion berlebihan. Kemudian dari aspek pekerjanya, apakah cukup terlindungi ketika memproduksi sebuah produk. Apakah zat-zat itu membahayakan, apakah karyawan yang membuat itu digaji dengan layak dan jam kerja layak,” paparnya.

Baca Juga: Cerita Kartini Modern Lampung Dibalik Bisnis Fashion Ramah Lingkungan

Berbagai upaya edukasi lewat bank sampah, dari tukar sembako hingga menggandeng anak-anak

Sepak Terjang Kartini Bumi Pelindung LingkunganIka Yudha Kurniasari bekerja di rumahnya yang menjadi Bank Sampah Resik Becik di Jalan Cokrokembang No 11, Kelurahan Krobokan, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Tak sedikit perempuan yang berperan sebagai penggerak bank sampah. Salah satunya adalah Fatmawati, yang akrab dipanggil Bu Wati. Ia menjadi perintis Bank Sampah pertama di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, sejak tahun 2009. Berkat perjuangan Bu Wati dan rekan-rekannya, usaha bank sampah di Banjarmasin, yang pada awalnya sedikit, kini telah berkembang menjadi 309 unit. 

Jumlah tersebut memberikan dampak positif yang signifikan bagi lingkungan. Bank sampah telah berhasil mengurangi jumlah sampah hingga 28 persen dari sebelumnya mencapai 400-500 ton per hari, menurut data yang disediakan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Banjarmasin.

Kesabaran menjadi penting karena tidak semua warga menerima dengan baik edukasi tentang pengelolaan sampah yang disampaikannya. Bahkan, ada yang mengejek dan meremehkan. Banyak warga yang masih belum menyadari bahwa sampah bisa diubah menjadi sumber penghasilan.

"Motivasi saya adalah untuk membangun kesadaran masyarakat dan berjuang untuk lingkungan. Sampah seharusnya tidak hanya dibuang begitu saja, melainkan dipilah untuk didaur ulang. Saya yakin semua jenis sampah bisa dimanfaatkan, kecuali popok," ujarnya.

Ika Yudha Kurniasari, perempuan asal Kota Semarang, Jawa Tengah, punya cara lain untuk mengajak orang mengumpulkan dan memilah sampah, yaitu sedekah sampah tukar sembako. Melalui Bank Sampah Resik Becik di rumahnya, Ika mengelola sampah dari warga yang tidak peduli dengan harga sampahnya untuk dijadikan sebagai donasi. Dari sampah donasi itu, ia membuat paket mini sembako yang disalurkan kepada warga yang tidak mampu secara ekonomi.

Untuk mendapatkan paket mini sembako itu, warga yang tidak mampu itu harus menebus dengan sampah. Program sedekah sampah tukar sembako ini sudah berjalan sejak tahun 2021 dan diselenggarakan tiap hari Jumat minggu terakhir setiap bulannya. 

‘’Kami bisa kelola yang kalangan menengah ke atas kami kejar donasinya dan kalangan menengah ke bawah kami jadikan sasaran penerima manfaat. Tapi kami ajarin nih, para penerima manfaat, karena urusannya sama bank sampah mereka tidak bisa dapat sembako cuma-cuma. Mereka harus membawa sampah untuk menukar dengan sembako,’’ ujar Ika, Jumat (19/4/2024).

Kendati, jika dikonversi paket sembako yang dibagikan tidak sebanding dengan sampah yang dibawa warga tidak mampu itu. Namun, Ika ingin mengajari masyarakat untuk peduli dengan lingkungan.

Sementara, pengelola Bank Sampah Pa-Q-One di Kota Yogyakarta, Widhyarprincessiastuty atau Essy, menggunakan pendekatan lain untuk memberi edukasi kepada masyarakat, yaitu dengan mengajak anak-anak membuat kerajinan dari sampah atau barang bekas. Menurut dia, karya daur ulang sampah berupa mainan lebih mudah membuat anak-anak tertarik. Hal ini sekaligus menjadi sarana untuk bermain dan menyalurkan kreativitas mereka. 

"Anak-anak kan pada suka anime, karakter-karakter kayak gitu. Makanya yang muncul [karya-karya] kayak gitu," imbuhnya.

Ada alasan kuat mengapa Essy menyasar anak-anak untuk belajar peduli sampah. Menurutnya, selain anak-anak merupakan agen perubahan untuk masa depan, mereka juga bisa menularkan ilmu yang mereka dapatkan ke orangtuanya.

"Pada saat kita memberikan workshop ke orangtua, belum tentu mereka mengajarkan pada anaknya. Nah, ini menjadi problem. Rata-rata workshop ngundang orangtua, orang dewasa gitu, sudah, selesai di mereka saja, artinya sebatas mereka tahu," ucap dia.

"Tapi kalau anak, enggak. Pada saat kita memberi pembelajaran ke anak, minimal milah sampahnya, mereka akan benar-benar melaksanakan. Nanti pada saat orangtua membuang sembarangan, mereka akan tegas mengedukasi, 'Ibu, Ibu kalau membuang sampah, yang ini di sini lho.' Itu pasti dan sudah terbukti. Jadi mereka itu laskar kita untuk mengedukasi masyarakat," kata Essy.

Baca Juga: Perjuangan Bu Wati, Membangun Bank Sampah selama 15 Tahun

Baca Juga: Inspirasi dari Ika Yudha, Penggagas Sedekah Sampah Tukar Sembako

Baca Juga: Cerita Essy Tularkan Peduli Sampah ke Anak-Anak lewat Mainan

Peran perempuan dalam kelestarian ekosistem hutan

Sepak Terjang Kartini Bumi Pelindung LingkunganPendampingan perhutanan sosial yang dilakukan Hutan Kita Institute di wilayah Sumatra Selatan (Dok: HAKI)

Martha Fitriyani lebih militan lagi dalam menjalankan perannya sebagai perempuan yang peduli dengan lingkungan. Ia berada pada garda terdepan dalam mewujudkan kelestarian ekosistem hutan di Sumatra Selatan. Martha bergabung dengan Non Government Organization (NGO) Hutan Kita Institute (HAKI) untuk membantu masyarakat memanfaatkan kawasan hutan, menjaga ekosistem, dan meningkatkan perekonomian masyarakat. Pihaknya juga turut membantu masyarakat menyelesaikan konflik agraria yang terjadi.

"Saya sempat mendampingi masyarakat menghadapi konflik agraria di Muba selama lima tahun. Ketika itu masyarakat harus menghadapi perusahaan perkebunan, lantaran tanahnya diklaim perusahaan," ujarnya, Sabtu (20/4/2024).

Setelah itu, Martha mendapat misi lain dalam mendampingi masyarakat di Pagar Alam dalam mengelola izin perhutanan sosial. Tujuannya, membantu masyarakat agar hutan-hutan yang mendapat izin kelola dapat bermanfaat. 

Tugas pendampingan perhutanan sosial tersebut menurut Martha bertujuan memberi masukan bagi para petani dalam mengelola hutan sosial secara berkelanjutan. Hal ini dilakukan untuk memberikan ilmu pertanian modern agar dapat dikelola oleh petani. "Jika selama ini mungkin mereka seenaknya buka lahan, dengan adanya perhutanan sosial ini salah satunya adalah mereka akhirnya bisa turut menjaga alam," ujar Martha.

Satu petani biasanya diberikan izin mengelola hutan sosial sebanyak satu hektare (Ha) per orang. Di tanah tersebutlah para petani dapat mengelola luasa lahan yang ada guna menjadi pertanian yang bernilai ekonomis. "Jadi para petani tidak bisa asal membuka hutan untuk menambah luasan lahan. Jadi hutan itu tetap lestari, sehingga hutan di wilayah konservasi memang betul-betul terjaga," imbuhnya.

Cerita-cerita Kartini Bumi di atas merupakan perjuangan nyata perempuan-perempuan di Indonesia, mengenai bagaimana dampak positif terhadap lingkungan bisa dimulai dari langkah-langkah kecil yang konsisten. Dengan berbagai kisah inspiratif ini, diharapkan semakin banyak perempuan dan masyarakat pada umumnya yang tergerak untuk berkontribusi dalam menjaga bumi sebagai rumah bersama.

Baca Juga: Kisah Perempuan Garda Terdepan Lestarikan Ekosistem Hutan Sumsel

Tulisan ini merupakan kolaborasi hyperlocal yang ditulis oleh Paulus Risang, Dyar Ayu, Muhammad Nasir, Silviana, Hamdani, Anggun Puspitoningrum, dan Rangga Erfizal.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya