Pakar UGM: Pemilu Esensial untuk Menjaga Keberlangsungan NKRI

Ada 10 aktor utama yang mempengaruhi penundaan pemilu 2024

Yogyakarta, IDN Times - Pakar Komunikasi Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Nyarwi Ahmad, mengatakan di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, rakyat adalah subjek dan kedaulatan ada di tangan rakyat. Untuk itu, pemilu yang rutin digelar sangat diperlukan.

"Pemilu itu bagian dari menjaga kontinuitas dari entitas yang kita sebut Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di sana ada proses ritual penyerahan kedaulatan yang ada di tangan rakyat kepada para elite yang mewakilinya, baik melalui lembaga eksekutif maupun legislatif," ujarnya dalam diskusi 687 Hari Menjelang Pemilu 2024: Menelaah Hal-hal Krusial di Pemilu yang digelar IDN Times, Selasa (29/3/2022).

Baca Juga: Honor KPPS hingga PPK Diajukan Naik 3 Kali Lipat di Pemilu 2024

1. Sepuluh aktor utama yang mempengaruhi terwujudnya penundaan pemilu

Pakar UGM: Pemilu Esensial untuk Menjaga Keberlangsungan NKRIPakar Komunikasi Politik UGM, Nyarwi Ahmad. (Tangkapan layar YouTube.com/IDN Times)

Menurut Nyarwi, ada 10 jenis aktor utama yang bisa mempengaruhi terjadinya penundaan Pemilu 2024.

Yang pertama adalah Presiden yang dalam kapasitasnya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan serta sebagai aktor politik yang memimpin parpol-parpol koalisi pendukung pemerintah. Kedua, adalah aktor yang berpengaruh di sekitar Istana.

"Termasuk menteri-menteri, ada yang sangat berpengaruh sampai kurang berpengaruh. Tapi tetap saja bisa memberikan rekomendasi pendapat atau masukan kepada Presiden untuk mendorong atau menyuarakan (penundaan pemilu)," jelasnya.

Yang ketiga, yaitu parpol-parpol papan atas dan menengah yang menguasai kursi di DPR. Apalagi, jumlah parpol yang duduk di DPR mayoritas mendukung pemerintahan Joko Widodo. 

"Walaupun kita tahu parpol ini terbelah dalam sikapnya mengenai penundaan pemilu, tapi dinamika politik itu selalu cair. Kita tidak tahu kan Setahun dua tahun lagi menjelang mepet (pemilu) dinamika juga terjadi."

Berikutnya, organisasi-organisasi sosial keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah. Menurutnya, pemimpinnya punya pengaruh sosial, kultural, maupun moral ke kelompok masyarakat luas.

Kelima, pimpinan organisasi masyarakat atau aktivis masyarakat sipil. Keenam, adalah penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu yang kinerjanya akan menjadi sorotan. 

Selanjutnya, Nyarwi juga menyebutkan pihak-pihak seperti akademisi dan aktivis kampus, aktivis pro-demokrasi, media massa mainstream, serta pegiat media sosial, termasuk para relawan yang mendukung maupun yang menolak penundaan pemilu 2024, baik yang bersifat natural-organik maupun rekayasa.

"Kita harus cermati semua aktor ini geraknya, opininya seperti apa. Selain itu media kan juga selalu mengecek statement aktor-aktor ini. Bulan kemarin (ngomong) apa, periode tahun lalu apa, perubahannya seperti apa," paparnya. 

2. Elite perlu punya komitmen berdemokrasi yang sehat

Pakar UGM: Pemilu Esensial untuk Menjaga Keberlangsungan NKRIKetua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)

Nyarwi setuju bahwa anggaran merupakan hal yang paling mendasar dalam penyelenggaraan pemilu. Karena kalau tidak ada dukungan anggaran yang maksimal Dalam penyelenggaraan maupun pengawasan pemilu, menurutnya itu akan sangat menyulitkan.

"Tetapi jika kita membicarakan pemilu, jangan hanya sebatas penyelenggaraan saja, tapi juga ada aspek edukasi dan komitmen dalam berdemokrasi. Komitmen demokrasi ini gak cuman masyarakat saja tetapi juga elite," ungkapnya.

Hal yang ideal menurut Nyarwi, adalah ketika elite dapat memberi contoh kepada masyarakat melalui komitmen tinggi terhadap demokrasi, termasuk ketika menjadi kontestan pemilu. Dengan begitu, masyarakat akan memiliki role model

"Yang panas itu kan kalau muncul hoaks, disinformasi dan lain-lain yang meruntuhkan tatanan negara bangsa, polarisasi dan lain-lain, itu saya lihat arenanya di Pilpres. Tentu kita berharap apa yang pernah terjadi di 2019 jangan sampai terjadi lagi," kata Dosen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM ini.

3. Perlu memperhatikan proses komunikasi politik di media sosial

Pakar UGM: Pemilu Esensial untuk Menjaga Keberlangsungan NKRILogo Twitter (IDN Times/Hana Adi Perdana)

Proses komunikasi politik di media sosial, kata Nyarwi, juga sangat krusial untuk diperhatikan. Menurut dia, instrumen-instrumen peraturan terkait hal tersebut masih out-of-date.

"Ia (peraturan) hanya melihat dari aspek permukaan saja, tetapi tidak melihat konteks, sanksi, dan proses kampanye maupun komunikasi politik yang ada di sana. Kan banyak sekali aktor-aktor yang terlibat. Bukan hanya kandidat dan partai, tetapi juga ada tim kampanye, relawan dan partisipasi masyarakat juga," terangnya.

Ia pun menyarankan adanya cek fakta atau klarifikasi jika ada informasi-informasi yang berpotensi memecah belah. Hal ini bukan hanya bertujuan menjaga pemilu tetap damai, tetapi juga mengantisipasi isu-isu yang dapat merusak pondasi negara bangsa. Apalagi, mengingat viralitas media sosial yang luar biasa.

" Kita jangan mengandalkan informasi dari media sosial saja. Media mainstream itu kan dijaga oleh orang-orang profesional yang bisa berpikir jernih. Mau menimbang berbagai informasi, membaca secara komprehensif. Kalau media sosial jatuhnya di algoritma, Itu malah berbahaya, kita tidak bisa mengontrol," kata dia. 

4. E-voting masih terganjal isu kepercayaan

Pakar UGM: Pemilu Esensial untuk Menjaga Keberlangsungan NKRIIlustrasi pemilihan secara elektronik atau e-voting. ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho

Terkait wacana e-voting atau pemungutan suara elektronik, Nyarwi mengatakan tidak ada masalah pada teknologinya dan sangat memungkinkan. Namun, ia menyoroti masalah kepercayaan dan keamanan serta peluang agar data tidak direkayasa. Ini membuat e-voting terasa jauh dari kenyataan.

"Bahkan di negara-negara yang maju sekalipun, proses pemilu itu masih berlangsung secara tradisional, meskipun proses rekap sudah di-backup dengan teknologi yang bagus serta keamanan yang baik," ungkapnya.

Ia mencontohkan saat dirinya kuliah di Inggris, pencoblosan masih dilakukan secara tradisional di tempat pemungutan suara (TPS), dengan dibantu teknologi untuk proses rekapitulasinya.

"Artinya walaupun dengan teknologi sudah maju sekalipun, proses yang manual di beberapa negara masih dijalankan. Banyak negara masih pakai surat suara," katanya.

Baca Juga: Honor KPPS hingga PPK Diajukan Naik 3 Kali Lipat di Pemilu 2024

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya