Kegigihan Sineas Lokal Bergerilya Bikin Karya Saat Pagebluk

Meski aktivitas sempat terhenti, mereka segera bangkit lagi

Yogyakarta, IDN Times - Pandemik COVID-19 membuat industri perfilman Indonesia nyaris lumpuh. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di berbagai wilayah Indonesia turut membuat proses produksi film terhenti. 

Hal ini salah satunya tampak dari jumlah film yang diproduksi. Berdasarkan data dari katalog film situs Film Indonesia (FI), terdapat 136 film nasional yang diproduksi sepanjang tahun 2019. Sedangkan pada 2020, hanya 61 film yang diproduksi. 

Kondisi tersebut juga diperparah dengan ditutupnya bioskop-bioskop di Tanah Air pada Maret 2020, seiring dengan meningkatnya jumlah kasus COVID-19. Akses penonton ke film yang sudah siap edar pun terhambat. Dalam laporan FI berjudul "Pemandangan Umum Industri Film Indonesia 2020", jumlah film dengan penonton di atas 1 juta pada 2019 mencapai 15 judul. Sementara pada 2020, hanya 3 film yang mampu mencapai jumlah itu. 

Pandemik sudah berlangsung dua tahun, Meski diterpa pagebluk dan segala keterbatasannya, nyatanya para sineas lokal justru tak patah arang. Dengan berbagai cara, mereka tetap berusaha produktif menghasilkan karya.

Dalam rangka memperingati Hari Film Indonesia pada 30 Maret, IDN Times mencoba mengangkat perjuangan filmmaker di daerah untuk tetap bertahan di tengah lesunya industri perfilman selama pandemik. ini dia beberapa penggalan cerita mereka.

Baca Juga: Cerita Sineas Medan Bangkit saat Pandemik, Berkarya lewat Dokumenter

Baca Juga: Sineas Jawa Timur, Berkarya dalam Sepi

Ketika hidup para sineas lokal berubah drastis: Jantung serasa berhenti

Kegigihan Sineas Lokal Bergerilya Bikin Karya Saat PageblukIlustrasi bioskop (ANTARA FOTO/Adeng Bustomi)

Jantungnya terasa seperti berhenti tiba-tiba. Itulah yang dirasakan Andy Siahaan, seorang sineas dari Medan, Sumatra Utara, saat pandemik COVID-19 mengganas pada pertengahan 2020. Kondisi itu membuat hidupnya serba tidak pasti.

"Semuanya menghabiskan uang tabungan, sedih ya, kami semua begitu. Semua udah harap-harap cemas aja, kerja gak ada," ungkapnya kepada IDN Times, 25 Maret 2022.

Ia mengungkapkan ada sejumlah tantangan yang dialami, antara lain tidak bisa bergerak bebas untuk berkarya. Meskipun demikian, Andy bersama para sineas lainnya tetap berusaha beradaptasi dan melanjutkan karya-karyanya.

Aktor asal Sidoarjo, Jawa Timur, yang kerap kebagian peran di film nasional, Afrian Aris Andy, menuturkan bahwa pandemik sangat mempengaruhi hidupnya. Beberapa film yang ia perankan juga harus tertunda syutingnya maupun penayangannya.

Menurutnya, setidaknya ada lebih dari 50 film nasional di Indonesia yang penayangannya harus ditunda, tiga di antaranya adalah film yang ia perankan.

"Banyak banget yang ditunda, kemarin saya syuting film Jelangkung 3 belum tayang,” ujarnya, 25 Maret 2022.

Bukan hanya penundaan penayangan film, syuting film pun harus mengalami penundaan. 4 film yang ia perankan seperti Pengabdi Setan 2, Ghost Writer 2, Sri Asih, dan Pertaruhan 2 terpaksa harus ditunda waktu syutingnya.

"(Produksi film) sekarang juga agak ribet, talent dan kru harus sering-sering tes COVID-19," ungkapnya.

Kondisi seperti ini, sangat mempengaruhi para pegiat film lokal lainnya. Jika sebelum pandemi, sineas lokal dilibatkan dalam pembuatan film, kini produksi film pun akhirnya hanya terpusat di Jakarta.

"Ya ini karena COVID-19, produser film pasti akan mencari talent dari Jakarta, karena dari budget, penginapan, makan, dan lain-lain juga jadi pertimbangan,” kata Afrian.

Sementara, sineas asal Klungkung, Bali, I Gusti Made Aryadi, menceritakan bahwa situasi pandemik COVID-19 cukup sulit untuk dijalani. Terutama pada awal-awal. Saat itu ada aturan yang melarang untuk berkerumun dan masyarakat disarankan untuk tetap berada di rumah. Menyiasati kondisi itu, ia harus mencari cara untuk bertahan hidup selain hanya dari mengandalkan industri kreatif perfilman.

"Akhirnya banyak yang banting setir dan mendadak berjualan," ujarnya, 

Baca Juga: Untung dan Buntung Markezol Film di Tengah Pandemik COVID-19

Baca Juga: Asa Sineas Makassar untuk Bangkit di Tengah Pandemik COVID-19

Beradaptasi dengan situasi pandemik

Kegigihan Sineas Lokal Bergerilya Bikin Karya Saat PageblukWN. Naufal film maker lokal (dok.istimewa)

Ary Priyanto atau yang akrab dipanggil Ari Barbar, sineas dari Palembang, Sumatra Selatan, mengatakan era sebelum pandemik merupakan puncak geliat sineas di kotanya. Berbagai festival film lokal marak diselenggarakan, hal ini memicu proses kreatif anak muda di sana membuat film.

Namun sejak awal 2020, proses kreatif tersebut akhirnya menurun. Ary tak menampik pandemik menjadi biang keroknya. Dalam ranah komersial, proses produksi film mulai terganggu dengan pembatasan yang dilakukan hingga perlunya setiap kru yang terlibat mendapatkan vaksinasi.

"Di ranah idealis, kita menghadapi berbagai macam persoalan mulai dari razia hingga ditegur. Dengan kondisi ini kawan-kawan termasuk saya merasa tidak nyaman juga ada pembatasan dalam proses kreatif. Semua proses jadi ribet, padahal setiap sineas punya timeline sendiri untuk produksi," jelas dia.

Seiring berjalannya waktu, Ary pun mulai terbiasa dengan suasana pandemik. Keinginan memproduksi film kembali menggebu. Caranya dengan menyesuaikan setiap proses produksi film dengan kebijakan pemerintah. Dirinya menemukan celah proses kreatif dari kondisi pandemik ini.

"Muncul tantangan, pada akhirnya proses kreatif ini menjadi begitu fleksibel. Jika sebelumnya produksi film memerlukan kru yang banyak kemudian berangsur diminimalkan. Hanya talent utama yang ke lokasi syuting. Semua kerjaan pun semakin ringkas," jelas dia.

WN Naufal, sineas asal Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, merasakan sendiri bagaimana perbedaan membuat film sebelum dan sesudah pandemik. Terlebih, saat itu dia baru saja menggarap film panjang pertamanya.

“Waktu 2020 aku pertama kali bikin film yang serius, dengan alat yang sudah proper, jumlah kru ada 40 orang dan jumlah pemain yang hampir sama. Kami berat di perizinan,” terangnya, 23 Maret 2022.

Naufal menceritakan beratnya harus menjalani rapid test setiap tiga hari sekali. Apalagi, waktu itu tarifnya masih tinggi. Namun, terlepas dari kesulitan dan biaya produksi yang membengkak, Naufal mengatakan film sejatinya tak kenal pandemik.

“Selama syuting, ya kami para kru pakai masker, protokol kesehatan juga ketat. Wong kami juga mau tetap sehat. Tapi ‘kan jalan ceritanya gak pandemik, jadi film itu gak kenal pandemik,” tambahnya.

 

Baca Juga: Semangat Sineas Kulon Progo Makin Menyala saat Pandemik COVID-19

Baca Juga: Bertahan dari Pagebluk, Sineas Kendal Berulang Kali Digropyok Aparat

Memotret pandemik lewat film dokumenter

Kegigihan Sineas Lokal Bergerilya Bikin Karya Saat PageblukRizky saat mengambil gambar untuk pembuatan film pendek (istimewa)

Andi Siahaan mengatakan salah satu karya yang digarapnya selama pagebluk adalah film dokumenter Rekam Pandemik. Dalam proyek itu, ada 10 sineas yang dilibatkan untuk merekam cerita perubahan perilaku masyarakat akibat COVID-19.

"Di Asosiasi Dokumenteris Nusantara (ADN) Medan, kita dapat program Rekam Pandemik dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ada 10 orang termasuk aku," ujar Andy.

Selain itu, ia juga melanjutkan karya yang telah digarap sejak dua tahun sebelumnya. Selaku Director of Photography, ia terlibat produksi film dokumenter panjang berjudul PARHEREK yang disutradarai Onny Kresnawan dan diproduseri dr Ria Telaumbanua. Pada 2021, film tersebut berhasil masuk nominasi Film Festival Indonesia (FFI) 2021. 

Film itu menceritakan kepedulian Abdulrahman Manik (Detim) terhadap habitat satwa kera dan siamang di kawasan Sibaganding, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara.

"Kami melihat keunikan di Detim, dia bisa panggil kera dengan terompet yang diteruskan dari ayahnya Umar Manik. Dia juga mengedukasi warga sekitar dan pendatang untuk tidak memberi makan di pinggir jalan," ujarnya.

Keunikan lain yang coba disampaikan dalam film tersebut, kata Andy, dedikasi Detim terhadap satwa yang terancam punah tersebut. Berbekal pendapatan bulanan dan donasi dari sosial media, Detim mencoba untuk memberikan pakan untuk keberlangsungan hidup siamang.

"Kami lihat dedikasinya untuk kera-kera itu, kita angkat ceritanya. Dia juga live facebook untuk memberitahukan keberadaan kera-kera itu di mata orang lebih luas. Dari sana ada yang donasi tapi tetap kurang untuk pemenuhan kehidupan sehari-hari dan kera-kera itu. Kemudian kita edukasi dia menggunakan YouTube, dan berhasil monetisasi," tambahnya.

Hal serupa dialami Abdul Rachman Rizky, Ketua Ketua Sineas Muda Balikpapan, Kalimantan Timur. Ia dan kawan-kawan sukses membuat sebuah film dokumenter perjalanan Pandemik COVID-19 di Balikpapan pada tahun 2020. 

Awalnya, Rizky merasakan kekhawatiran jika saling bertatap muka saat pandemik. Namun, hal itu berusaha mereka atasi dengan mengurangi jumlah orang yang terlibat. 

"Selebihnya tak ada (kendala), kami tetap bisa produktif. Justru sebenarnya bisa dibilang ada sedikit keuntungan kami dapat, yaitu membuat film di tengah kondisi yang baru," tuturnya.

Amrul Hakim, sutradara asal Kendal, Jawa Tengah, turut memotret pelaku kesenian di Sanggar Kejeling Kendal saat pandemik. 

"Banyak sekali pelaku seni dan budaya yang terdampak pandemik. Dari para pemain wayangan, barongan, jamasan dan gamelan kena imbasnya semua. Efeknya mereka ada yang jualan dan sebagainya untuk mencukupi kebutuhan hidup. Makanya tiga tahun terakhir ini saya putuskan bikin film dokumenter tentang mereka. Ada empat film yang berhasil saya produksi sampai tahun ini," ungkapnya, 26 Maret 2022.

Dokumenter pertamanya yang diputar saat pandemik berjudul Kejeling Eling. Durasinya 30 menit. Sejumlah Seniman di Sanggar Kejeling dijadikan pemain film serta terlibat sebagai kru pendukung. Kisahnya mengangkat suka duka para seniman yang banting setir dengan berjualan angkringan sembari tetap giat berlatih di sanggar.

Baca Juga: Sineas Balikpapan Tetap Jeli Melihat Peluang Perfilman Meski Pandemik

Mendongkrak peluang dan membangun jaringan lewat komunitas

Kegigihan Sineas Lokal Bergerilya Bikin Karya Saat PageblukWN. Naufal sebagai film maker lokal (dok.istimewa)

WN Naufal dan beberapa teman memutuskan untuk mendirikan sebuah komunitas film di Kulon Progo, DIY. Cine Club namanya. Komunitas tersebut kini memiliki 30-an anggota aktif yang markasnya berlokasi di Sentolo, Kulon Progo. Di Cine Club ini, anggotanya bisa memilih untuk belajar kamera, akting, dan bidang lain dalam perfilman yang tentu sesuai dengan minat masing-masing.

“Setiap hari kita kumpul, ada kegiatan sosialnya juga. Misal ada teman-teman dari komunitas lain atau karang taruna yang mau belajar film sama kami, nanti kami datang dan berikan workshop,” katanya.

Menariknya, anggota dari Cine Club tersebut berasal dari berbagai kalangan dan justru tak ada anggotanya yang berlatar pendidikan jurusan film. Dari komunitas ini, banyak anggota yang malah dapat pekerjaan. Seperti tawaran pembuatan iklan dari dinas atau butuh kru untuk produksi suatu karya tertentu.

Beberapa kali juga anggota Cine Club membantu proses pembuatan film dari Dapur Film milik sutradara kenamaan Hanung Bramantyo. Nah, sebagian pendapatan dari pekerjaan ini kemudian disisihkan sebagai tabungan bagi Cine Club untuk biaya operasional dan produksi.

Sementara, Afrian Aris Andy juga menghimpun para sineas lokal melalui Asosiasi Sineas Film Sidoarjo (ASFIS). Dalam asosiasi tersebut, Afrian dan kawan-kawannya tak pernah kehabisan akal untuk selalu berkarya melalui film lokal.

Menurutnya, film lokal membuat daerah tempatnya tinggal dapat dikenal oleh banyak orang. Mulai dari pariwisata, kuliner, kebudayaan dan lain sebagainya. "Dari situ akhirnya daerah saya terangkat," ungkapnya.

Sepanjang tahun 2021, ASFIS telah memproduksi 25 film. Film tersebut ditayangkan saat pemutaran film akhir tahun, beberapa di antaranya diikutkan dalam festival Film Jogja atau Festival film Bandung.

"Walaupun dari pemerintah gak ada apresiasi, kita wadahi saja mereka sudah senang," tuturnya.

Baca Juga: Offline Dibatasi, Sineas NTB Tetap Produktif di Masa Pandemik 

Peran pemerintah, yang mendukung penuh sampai yang tak acuh

Kegigihan Sineas Lokal Bergerilya Bikin Karya Saat PageblukPenonton film pembuka di JAFF 16 di Empire XXI Yogyakarta, Sabtu (27/11/2021). (IDN Times/Paulus Risang)

Peran pemerintah daerah setempat juga tak lepas dari bangkitnya sineas lokal di kala pandemik. Andy Siahaan adalah salah satu yang merasakannya. Film PARHEREK garapannya dapat dukungan dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. 

"Memang awalnya film itu kolektif, tapi pada tahap pasca-produksi kita dapat dukungan dari pihak pemerintah dan TPL," ujarnya.

Ia juga mengakui bantuan pemerintah lewat dana hibah untuk pembuatan film dokumenter di daerah cukup memadai. Akan tetapi anggaran tersebut tidak didapatkan dengan mudah.

"Dana hibah itu diberikan untuk saling kolaborasi, pemerintah membuka ke publik. Lalu sebisanya dikerjakan," ujarnya.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan kesempatan kepada para sineas di Medan untuk terlibat produksi film dokumenter pendek lewat program Rekam Pandemik. Tak sampai di situ, pada 2021, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga memberi dukungan lewat Fasilitasi Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk Industri Film Indonesia.

"Kami sedikit bernapas karena peraturan udah mulai longgar, dorongan pemerintah pusat lewat PEN untuk bidang film juga ada," tambahnya.

Pemerintah Provinsi Bali juga telah memberikan perhatian kepada para sineas lokal, termasuk dengan memberikan ruang dan pendanaan untuk berkompetisi. Selain itu Pemda juga mendukung para sineas lokal untuk mengatur regulasi tentang perfilman di Bali.

"Aspirasi kami direspons dengan baik dan bulan April, ada semacam festival digital. Salah satunya akan ada festival film yang di dalamnya untuk memberikan eksistensi pelaku perfilman lokal di Bali untuk terlihat dan berkembang," ungkap Made Aryadi.

Di DIY, Pemda juga aktif mendukung pulihnya industri perfilman lokal. Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY, Dian Lakshmi Pratiwi, mengatakan Pemda DIY telah memberi dukungan anggaran dalam berbagai kegiatan seperti festival JAFF, Festival Film Pelajar, dan Festival Film Dokumenter. Pihaknya juga mengadakan workshop perfilman yg berkaitan dengan praproduksi, produksi dan pascaproduksi, distribusi, izin syuting, hingga sosialisasi HAKI. Selain itu, ada pula pendanaan untuk pembuatan film pendek.

"Untuk tahun 2022 dikompetisikan pendanaan pembuatan 6 film: 2 film dokumenter, 4 film fiksi, masing-masing Rp198 juta. Total jumlah film yang sudah diproduksi Disbud DIY melalui kompetisi pendanaan sejumlah 104 film," ungkapnya, 27 Maret 2022.

Selain itu, ada pula Bioskop Jumat, program nonton film untuk komunitas/masyarakat di bioskop mini Disbud DIY, yang materinya adalah penayangan film dan diskusi bedah film karya yg diputar. Kemudian, pemutaran film dengan fasilitasi mobil pemutar film di DIY dan luar DIY sebagai salah satu bentuk publikasi film produksi Disbud.

"Antusiasme sudah bagus, bisa dilihat dari naskah yang masuk untuk program pendanaan film dan support untuk pembuatan film film pendek untuk fasilitasi masyarakat, serta tingginya peminat program Bioskop Jumat dan permintaan pemutaran film keliling di wilayah kabupaten dan kota," terangnya.

Namun, ada pula yang pemdanya cenderung tak acuh dengan giat para sineas lokal ini. Afrian Aris Andy mengaku sineas Jatim tidak terlalu dipandang oleh pemerintah. Dirinya dan teman-temanya tak terlalu mendapat dukungan dari pemerintah. Padahal, selama ini film adalah media promosi pariwisata paling mudah dan cepat.

"Supportnya dari pemerintah susah, kita coba merayu, tapi agak susah, support kan gak cuma dana, mungkin bisa lokasi atau perizinan yang mudah. Tapi selama ini kita belum mendapat itu," tutur Afrian.

Ia yakin, pemerintah memiliki budget untuk film di daerahnya. Sayangnya ia tak pernah tahu dana tersebut ada atau tidak. Selama ini dalam membuat karya bersama sineas Sidoarjo lainnya, dirinya hanya mengandalkan dana pribadi dan sponsor-sponsor lokal.

"Harusnya pemerintah ada dana (untuk film lokal) sih, karena kan kalau kita lihat Banyuwangi bisa besar karena apa? Ya salah satunya karena film, Makassar besar karena apa ya karena film," jelas Afrian.

Sehingga, ia berharap Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dan Pemprov Jawa Timur bisa mendukung sineas-sineas lokal. Sineas lokal adalah bagian dari pahlawan Pariwisata. 

Baca Juga: Cerita Sineas Palembang; Dari Jurnalis Tekuni Proses Kreatif Film

Festival Film dan platform digital jadi penyambung napas filmmaker lokal

Kegigihan Sineas Lokal Bergerilya Bikin Karya Saat PageblukPembukaan JAFF 2021 di Empire XXI Yogyakarta, Sabtu (27/11/2021). (Dok. JAFF)

Untuk menyambung napas sekaligus menunjukkan hasil karyanya, para filmmaker lokal berupaya mengikuti berbagai festival film yang bisa mereka akses, baik lokal, nasional, hingga internasional.

Haris Yuliyanto, sineas asal Semarang, Jawa Tengah, melahirkan film tentang mendiang orangtuanya yang berjudul Berlabuh saat pandemik COVID-19. Ia mendaftarkan film tersebut melalui festival-festival film yang sifatnya gratis. 

‘’Cara itu saya lakukan agar film ‘Berlabuh’ semakin dikenal. Ini juga bagian dari usaha mandiri kami agar industri perfilman di Semarang semakin dilirik. Sebab, kesadaran masyarakat memang perlu waktu untuk dibentuk, maka saya mencari eksposur dulu ke festival luar negeri baru di Indonesia,’’ jelasnya saat dihubungi IDN Times, 26 Maret 2022.

Selain ‘Berlabuh’, Haris juga memproduksi film ‘The Secret Club of Sinners’. Film pendek itu mendapat pendanaan dari KPK dan berhasil unjuk gigi dalam Gandhara Independent Film Festival di Pakistan pada 2021 dan masuk dalam Nominasi Film Pendek Terbaik Festival Film Indonesia pada 2021.

‘’Secara eksposur, bisa turut dalam festival film nasional dan internasional ini adalah sebuah keistimewaan. Bahkan, saat film ‘Berlabuh’ masuk di festival film tertua di dunia yaitu International Short Film Festival Oberhausen (ISFFO) di Jerman. Tentu ini sesuatu yang berharga bagi kami karena terakhir film Indonesia masuk ke sana itu sudah 15 tahun lalu,’’ jelasnya.

Sementara, sineas Kendal juga memotori berlangsungnya Festival Film Kendal. Amrul Hakim berkata pemutaran film di Festival Film Kendal akan menjadi pembuktian bahwa kegiatan seni dan budaya tak pernah pudar walau dihantam pagebluk. 

"Kebetulan ini festival film yang baru pertama kali diadakan di Kendal. Kita buktikan kalau ono negoro ora ono negoro, seni budaya tetep lestari. Jadi, ada pandemik atau tidak ada pandemik, kita tetap latihan seni dan budaya. Dan ternyata berlatih kesenian mampu mengasah sikap keluhuran, mengasah positive thinking dan menumbuhkan rasa optimisme," ungkapnya.

Berkat optimisme itulah, Festival Film Kendal bisa digelar tanpa bantuan pemerintah. Amrul bercerita semua biaya festival ditanggung dari jualan angkringan. Bahkan, hanya dalam waktu semalam, panitia festival bisa mendapatkan modal Rp300 ribu. 

"Kita bukannya menolak bantuan tapi ini sangat penting sebagai kesadaran bersama. Kita sudah atur jadwal memutar enam film milik enam sineas. Untuk semua biaya sewa proyektor sampai bayar listrik, ditanggung dari jualan angkringan. Mulai jual gorengan, jahe sampai teh," kata pengurus Lembaga Koperasi Film Kabelan Kendal ini.

Tak sedikit pula sineas yang memanfaatkan platform digital. Pemilik rumah produksi Lombok Stream Production, Rizal Cheper mengungkapkan hasil karya sineas lokal justru semakin banyak di masa pandemik. Misalnya, hasil karya berupa video klip lagu-lagu daerah.

Rizal menyebutkan selama pandemik COVID-19, sekitar 200 video klip lagu-lagu daerah yang dihasilkan untuk satu kanal Youtube. Sedangkan produksi film, kata Rizal, agak kurang. Karena butuh waktu yang cukup lama untuk memproduksi suatu film.

"Karya-karya lagu daerah yang banyak diproduksi, kemudian film. Semakin banyak karya di masa pandemik. Sekarang banyak yang membuat kanal-kanal YouTube," kata Rizal.

Afrian pun membuat channel YouTube untuk bisa menyalurkan karya-karyanya. Hal ini sembari mengisi waktu luang selama belum ada syuting film. Karya melalui channel YouTube itu, adalah sebagi wadah sineas lokal bisa menyalurkan karyanya, meski tanpa ada dukungan dari pihak lain seperti pemerintah.

"YouTube channelku tiap minggu ada syuting, ya tentang komedi. Kita sih pokoknya terus berkarya, kalau kita diam saja ya akhirnya mati," pungkas Afrian.

Kegigihan Sineas Lokal Bergerilya Bikin Karya Saat PageblukInfografis perfilman nasional sebelum dan sesudah pandemik. (IDN Times/Aditya Pratama)

Baca Juga: Saya Mencari Jawaban atas Kekosongan Hidup dari Film

Liputan ini adalah laporan kolaborasi IDN Times dari Masdalena Napitupulu (Sumut), Muhammad Iqbal (Banten), Wayan Antara (Bali), Ayu Afria Ulita Ermalia (Bali), Rangga Erfizal (Sumsel), Dyar Ayu (Yogyakarta), Tunggul Damarjati (Yogyakarta), Anggun Puspitoningrum (Jateng), Fariz Fardianto (Jateng), Muhammad Nasir (NTB), dan Riani Rahayu (Kaltim).

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya