PUKAT Sebut Anggapan Salah Pejabat tentang Bansos Jadi Awal Korupsi 

Pukat sebuh 3 tiitk rawan awal korupsi bansos dan hibah 

Yogyakarta, IDN Times - Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai dana hibah maupun bantuan sosial (bansos) rawan untuk dikorupsi. Pasalnya, terdapat kesan dana hibah merupakan kebaikan dari pejabat untuk rakyat.

1. Pemberian bansos dan hibah dianggap sebuah kebaikan

PUKAT Sebut Anggapan Salah Pejabat tentang Bansos Jadi Awal Korupsi Ilustrasi warga penerima Bansos (ANTARA FOTO/FB Anggoro)

Peneliti PUKAT UGM, Zaenur Rohman mengatakan korupsi bermulai dari adanya anggapan pemberian bantuan dan dana sebagai kebaikan dari pejabat negara kepada rakyat.   

"Dana hibah dan bansos memang rawan korupsi. Penyebabnya ada kesan pejabat negara menganggap itu kebaikan dari mereka kepada rakyat, baik perorangan, kelompok, maupun lembaga," kata Peneliti PUKAT UGM, Zaenur Rohman kepada IDN Times, Jumat (23/12/2022).

2. Pemberi meminta cash back

PUKAT Sebut Anggapan Salah Pejabat tentang Bansos Jadi Awal Korupsi Ilustrasi korupsi (IDN Times/Arief Rahmat)

Zaenur menyebut terdapat tiga titik rawan saat pemberian bansos, di antaranya adalah penyaluran kepada yang tidak berhak, pemotongan jumlah bantuan, dan pengadaan barang. Biasanya dalam proses ini, ada permintaan untuk cash back. "Modus pemotongan biasanya berupa permintaan cash back, jadi meski penerima menerima jumlah full diminta setor balik," ujar Zaenur.

Baca Juga: KPPU Selidiki Pembangunan PDIN, Haryadi Suyuti Diduga Terlibat       

3. Korupsi dana hibah nilainya lebih besar

PUKAT Sebut Anggapan Salah Pejabat tentang Bansos Jadi Awal Korupsi Ilustrasi Korupsi. (IDN Times/Aditya Pratama)

PUKAT menilai korupsi yang dilakukan untuk dana hibah nilainya lebih besar. Paling umum terjadi adalah pejabat yang mengapling meminta persenan kepada calon penerima. 

"Pejabat ini bisa eksekutif maupun legislatif, jika calon penerima menolak memberi suap sesuai persentase yang diminta maka pejabat mengancam tidak akan memberikan dana hibah dan akan mengalihkan kepada calon penerima lainnya. Proses jahat ini sudah berlangsung sejak tahap pengusulan," kata Zenur.

Salah satu contohnya adalah kasus Wakil Ketua DPRD Jawa Timur, Sahat Tua P Simandjuntak yang ditetapkan KPK sebagai tersangka terkait kasus dana hibah.

Sahat diduga menawarkan diri untuk memuluskan pencairan hibah bagi kelompok masyarakat (Pokmas). Ia meminta jatah 20 persen dari setiap dana hibah yang dicairkan, sementara tersangka Abdul Hamid yang merupakan Koordinator Pokmas akan mendapatkan jatah 10 persen.

Dari kesepakatan itu, dana hibah untuk Pokmas pada tahun anggaran 2021 dan 2022 sudah cair Rp40 miliar. Sahat dan Abdul Hamid bersepakat melakukan hal yang sama untuk tahun anggaran 2023 dan 2024 dengan ijon Rp2 miliar. Namun, mereka sudah ditangkap ketika uang baru diserahkan Rp1 miliar ke Sahat.

Baca Juga: PUKAT: Praktik Jual Beli Seragam Sekolah Bisa Dijerat Pasal Korupsi   

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya