PSHK FH UII Kritisi Putusan MA Soal Batas Usia Calon Kepala Daerah

Dinilai ada sejumlah masalah

Intinya Sih...

  • PSHK FH UII mengkritisi putusan MA terkait batas syarat usia calon kepala daerah.
  • Retno menilai ada kepentingan politik terkait putusan MA dan memberikan rekomendasi kepada MA dan KPU.
  • Rekomendasi kedua, ditujukan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk segera melakukan konsultasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), untuk memberikan sikap atas putusan tersebut.

Sleman, IDN Times - Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) mengkritisi putusan Mahkamah Agung (MA) terkait batas syarat usia calon kepala daerah. Dinilai ada sejumlah masalah terkait putusan MA tersebut.

Peneliti PSHK FH UII, Retno Widiastuti, menilai ada kepentingan politik terkait putusan MA tersebut. Ia pun meminta agar lembaga negara tidak melakukan hal itu. "Kepada seluruh lembaga negara agar tidak menggunakan hukum sebagai tameng kepentingan politik dan oligarki semata (autocratic legalism)," ungkap Retno, beberapa waktu lalu.

Retno juga mengatakan bahwa lembaga negara seharusnya bisa menjaga komitmen dalam penyelenggaraan pesta demokrasi. Penyelenggaraan Pemilu yang mengusung nilai luberjurdil harus dijaga.

1. Rekomendasi untuk MA

PSHK FH UII Kritisi Putusan MA Soal Batas Usia Calon Kepala DaerahGedung Mahkamah Agung (MA). (IDN Times/Hana Adi Perdana)

PSHK FH UII pun memberikan sejumlah rekomendasi berkait putusan tersebut. Pertama ditujukan kepada Mahkamah Agung (MA). MA harus tetap memiliki landasa pertimbangan hukum yang kuat dalam memutus pengujian materiil itu. "Terlebih dengan aturan tentang kewenangan MA dalam melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang," ucap Retno.

Aturan itu tertuang dalam amanat Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 dan atribusi dari Undang-Undang MA serta Undang-Undang tentang Pembentukan Perundang-undangan. Dalam memutus pengujian materiil tersebut, MA harus tetap berlandaskan pada pertimbangan hukum yang kuat sebagai bentuk akuntabilitas, transparansi, independensi, dan imparsialitas. "Sehingga tidak menimbulkan prasangka buruk dari publik," ujar Retno.

2. Rekomendasi untuk KPU

PSHK FH UII Kritisi Putusan MA Soal Batas Usia Calon Kepala DaerahGedung KPU RI di Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat. (Google Street View)

Rekomendasi kedua, ditujukan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU diminta untuk segera melakukan konsultasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), untuk memberikan sikap atas putusan tersebut. Sehingga tetap dapat berpedemonan pada aturan sebelumnya yang sudah ada.

"Kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk segara melakukan konsultasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan memberikan sikap yang tegas untuk mengambil upaya hukum atas Putusan MA Nomor 23/P/HUM/2024. Sehingga tetap dapat berpedoman pada Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada dan Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU 9/2020 yang asli," ujar Retno.

Melihat norma undang yang umum-abstrak seharusnya memang diperlukan aturan teknis terkait peraturan undang-undang. "Namun keputusan itu justru mengabaikan hal itu dan aturan teknis yang sudah dibuat oleh KPU tidak dianggap," kata dia.

PSHK FH UII menilai pertimbangan hukum yang dikonstruksikan di dalam Putusan Nomor 23/P/HUM/2024 itu dibangun dengan pertimbangan hukum yang sangat lemah. Tidak terkecuali secara kuantitas yang hanya terbatas pada empat halaman analisis saja.

"Pada akhirnya MA melakukan penafsiran hukum dengan cara menambahkan rumusan norma bahwa syarat usia calon kepala daerah dihitung ketika pelantikan, yang secara teoritis dan normatif bukanlah kewenangan MA melainkan sebagai kewenangan Pembentuk Undang-Undang (open legal policy). Sehingga, sejatinya MA telah melampaui kewenangannya," ujarnya.

Baca Juga: MA Putuskan Ubah Batas Usia Calon Kepala Daerah dalam 3 Hari

3. Tidak ada kepastian hukum atas titik penghitungan usia

PSHK FH UII Kritisi Putusan MA Soal Batas Usia Calon Kepala DaerahIlustrasi keputusan (IDN Times/Arief Rahmat)

Peneliti PSHK FH UII lainnya, M Erfa Redhani, menilai alasan yang digunakan untuk mengabulkan Putusan Nomor 23/P/HUM/2024 hanya didasarkan pada rasionalisasi tidak adanya kepastian hukum atas titik penghitungan usia. Kelaziman bahwa makna sejati dari usia minimum jabatan adalah ketika pelantikan, dan untuk memberikan keadilan bagi warga negara atau partai politik yang tidak dapat mencalonkan diri.

"Bahwa dalil pertimbangan hukum yang ala kadarnya tersebut, dapat secara mudah dimentahkan dengan beberapa argumentasi hukum. Sehingga PKPU 9/2020 sudah tepat, upaya MA menyamakan syarat pencalonan dari bakal calon menjadi calon Kepala Daerah dengan calon terpilih menjadi Kepala Daerah Terpilih adalah kegagalan logika hukum yang sangat fatal (logical fallacy)," kata Erfa.

Baca Juga: Putusan MA Dianggap Politis: Muluskan Kaesang di Pilgub 2024

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya