CfDS UGM: Pemilu 2024 Masih Terancam Praktik Buzzer Politik

Peran serta berbagai pihak lawan buzzer

Yogyakarta, IDN Times - Jelang masuk tahun politik 2024 mendatang, kemunculan buzzer dinilai masih sangat mungkin terjadi. Berbagai upaya perlu dilakukan lintas stakeholder untuk mencegah dampak negatif yang bisa dilakukan buzzer.

1. Semakin kentara sejak 2012

CfDS UGM: Pemilu 2024 Masih Terancam Praktik Buzzer PolitikDigital Future Discussion by Center for Digital Society, 'Politik Digital: Fenomena Buzzer dalam Media Sosial', Selasa (28/2/2023). (IDN Times/Herlambang Jati Kusumo)

Research Assistant Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada (UGM), M Irfan Dwi Putra, mengatakan di Indonesia, track record buzzer sudah terlihat lebih dari 10 tahun lalu. Mulanya pada 2012 dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Kemudian pada 2014 dengan menggiring isu Jokowi anggota PKI. Selanjutnya, pada 2017 Pilkada DKI Jakarta, ada narasi anti Tionghoa. Puncaknya kerja buzzer terlihat jelas dalam Pemilu 2019.

Irfan mengatakan buzzer memiliki tiga tugas atau yang disebut three layer of campaign narative making. Pertama kampanye positif, mereka menyoroti sisi baik kandidat yang didukung.

"Menjadi bermasalah ketika melakukan yang kedua, kampanye negatif. Para buzzer menyoroti sisi buruk dari para lawan politik dari kandidat yang didukung. Paling bermasalah yang ketiga, kampanye hitam. Mereka tidak hanya menyerang menyoroti sisi buruk lawan politik, tapi menggunakan tuduhan tidak benar atau hoaks," ujar Irfan, saat acara Digital Future Discussion by Center for Digital Society, 'Politik Digital: Fenomena Buzzer dalam Media Sosial', Selasa (28/2/2023).

2. Buzzer dimungkinkan banyak muncul jelang Pemilu

CfDS UGM: Pemilu 2024 Masih Terancam Praktik Buzzer PolitikIlustrasi Pemilu (IDN Times/Arief Rahmat)

Jelang Pemilu 2024, kemungkinan munculnya buzzer juga sangat kuat. Terlebih pada masa pandemi Covid-19 beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan pengguna internet. Penetrasi internet meningkat hampir 13 persen. Pada tahun 2022 Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), menyebut penetrasi internet mencapai 77 persen. Diartikan 8 dari 10 penduduk menggunakan internet.

"Potensi besar buzzer kembali. Semakin banyak orang menggunakan medsos semakin banyak kegiatan politik digital digaungkan," ujar Irfan.

Terlebih saat ini masuk masa post-truth, disinformasi semakin berkembang. Hoaks sudah bertebaran, semakin susah membedakan mana yang benar dan tidak.

"Potensi besar para buzzer politik kembali untuk banyak hal, mendukung kandidat yang membayar, melakukan negative campaign, black campaign," kata dia.

Baca Juga: Sosiolog UGM: Gaya Hidup Mewah Pejabat Pajak Bak Gunung Es

3. Berbagai tantangan melawan buzzer

CfDS UGM: Pemilu 2024 Masih Terancam Praktik Buzzer PolitikIlustrasi Media Sosial. (IDN Times/Aditya Pratama)

Irfan menyebut sebenarnya sudah ada hukum yang mengatur. Salah satunya pasal 280 Undang-Undang Pemilu, yang memuat ketentuan selama masa kampanye. Salah satu poinnya tidak boleh menghina sesorang, ras, suku, golongan dan yang lainnya.

Namun, untuk menegakkan itu juga bukan menjadi perkara yang mudah. Penegakan tersbeut masih menjadi pekerjaan rumah besar. Tantangan yang dihadapi pertama secara garis besar para buzzer menggunakan akun anonim, menggunakan identitas anonim selama menjalankan misi mereka.

"Mereka melakukan kampanye hitam, menyebarkan disinformasi dengan akun yang tidak dipertanggungjawabkan. Menyulitkan penegak hukum mencari mereka siapa ada di mana, jumlah mereka terlampau besar," ujar Irfan.

Tantangan lainnya para buzzer bersembunyi di balik kebebasan berpendapat. Hal yang sebenarnya harus dipertanyakan, kebebasan berpendapat untuk diri sendiri, atau orang yang membayar mereka.

"Kebebasan berpendapat ini sebenarnya kan juga ada batasannya, gak bisa semena-mena," kata Irfan.

4. Peran serta berbagai pihak diperlukan

CfDS UGM: Pemilu 2024 Masih Terancam Praktik Buzzer Politikilustrasi media sosial (IDN Times/Aditya Pratama)

Menurut Irfan untuk mengatasi masalah buzzer ini perlu dikerjakan berbagai pihak. Mulai dari pemerintah salah satunya bisa mendorong peningkatan literasi digital masyarakat. Sehingga masyarakat lebih paham lagi, mana informasi yang benar dan tidak benar.

Selain itu peran NGO juga penting. NGO bisa membantu untuk menyebarkan kontra narasi dari disinformasi yang disebar buzzer, atau meluruskan kabar yang beredar. Selanjutnya platform media sosial bisa menyediakan fitur yang lebih canggih, untuk menyeleksi informasi Pemilu dalam hal ini, yang valid informasinya.

"Netizen memegang peranan sangat signifikan mencegah disinformasi. Bijaklah menggunakan media sosial, menerima informasi berita verifikasi dulu, tentukanlah apa berita tersebut benar atau tidak. Divalidasi terlebih dahulu, kalau info tidak benar ya laporkan ke yang berwenang. Jangan malah di-share," ungkap Irfan.

Baca Juga: Indeks Persepsi Korupsi Turun, Pukat UGM: Korupsi Politik Naik

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya