Catatan Pusham UII Soal Penanganan Kasus HAM di Era Jokowi

Mengapa masalah HAM berat masa lalu sulit diselesaikan?

Yogyakarta, IDN Times - Penanganan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masih menjadi tantangan. Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) menilai dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum bisa menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau.

Direktur Pusham UII, Eko Riyadi mengungkapkan pelanggaran kasus HAM berat masa lampau belum bisa ditangani dengan baik, dan justru muncul sejumlah pelanggaran HAM baru.

1. Mengapa masalah HAM berat masa lalu sulit diselesaikan?

Catatan Pusham UII Soal Penanganan Kasus HAM di Era Jokowi

Eko menyebut pelanggaran HAM berat masa lalu dalam konteks dorongan untuk mekanisme yudisial pemerintah dinilai gagal, karena praktis tidak ada upaya untuk memperbaiki perangkat hukum dan strukturnya yang memungkinkan kasus masa lalu bisa diselesaikan. Meski begitu pemerintah melakukan tindakan nonyudisial untuk memberikan penghormatan terhadap hak-hak korban. Ia mencontohkan sejumlah upaya pemulihan hak korban sudah mulai berjalan, mulai dari peristiwa Mei 98 di Jakarta, Trisakti, dan sejumlah tragedi lainnya.

Eko menyebut meski mekanisme nonyudisial berbasis pada pemulihan korban, seharusnya tidak menjadi alasan untuk membiarkan para pelaku tidak bertanggung jawab. "Karena kalau pelaku tidak dimintai pertanggungjawaban pidana atas apa yang mereka lakukan masa lalu, sebenarnya tidak ada pembelajaran bagi pemerintah ke depan untuk memastikan kasus serupa tidak terjadi. Seakan-akan ya korbannya diakui, tapi perbuatannya tidak diakui. Itu kan agak aneh ya," kata Eko kepada IDN Times, Rabu (13/12/2023). 

Dosen Fakultas Hukum (FH) UII itu mengatakan, yang menjadi kendala penanganan HAM berat masa lalu, pertama, menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian pada Komnas HAM dinilai tidak bisa dilakukan. Penyebabnya, karena kewenangan Komnas HAM sangat terbatas, hanya melakukan penyelidikan saja, tetapi yang melakukan penyidikan Jaksa Agung. Sementara itu, Jaksa Agung berada di bawah Presiden. "Jadi kalau Jaksa Agung dalam tanda petik tidak diperintahkan secara politis oleh Presiden melakukan itu ya Jaksa Agung hasilnya mencari aman juga, dengan tidak melakukan penyidikan," ujar Eko.

Kedua, penyelesaian kasus HAM berat masa lalu juga terdapat kewenangan dari DPR, untuk memberikan rekomendasi pendirian Pengadilan HAM Ad Hoc. Eko menilai hal ini juga sulit dilakukan, parpol yang keanggotaan di parlemen cukup besar, belum ada yang menunjukkan spiritnya untuk mendukung penuntasan kasus di masa lalu.

"Saya setuju dengan mas Faisal Riza, akhirnya kasus-kasus masa lalu itu jadi hantu 5 tahunan aja. Dan itu menyakitkan korban dan keluarga korban," kata Eko. 

2. Mundurnya demokrasi dan munculnya kasus pelanggaran HAM

Catatan Pusham UII Soal Penanganan Kasus HAM di Era JokowiIlustrasi HAM (IDN Times/Aditya Pratama)

Sementara itu munculnya kasus pelanggaran HAM di era Jokowi, Eko melihat hal tersebut tidak lepas adanya kemunduran demokrasi. "Ada yang menggunakan istilah backsliding democracy, regresive democracy. Kemudian ada yang menggunakan istilah otoritarianisme hampir datang kembali, karena memang represi atas suara publik yang memberikan catatan kebijakan pemerintah itu kasusnya tinggi banget," kata Eko.

Eko mencontohkan banyak orang yang dilaporkan ke polisi dan diproses hukum, karena mengkritik kebijakan pemerintan, menghadapi proses peradilan pidana karena melawan program tambang, misalnya kasus Wadas, Banyuwangi, dan lain-lain, termasuk Rempang. Hal itu menjadi problem serius, karena kebijakan pembangunan dikawal dengan penggunan kekerasan secara berlebihan, dan berujung pada pemberangusan hak sipil dan politik.

"Khususnya kebebasan berekspresi, kebebasan menyampaikan pendapat, itu memang yang menjadi sangat sulit. Jadi fenomena demokrasi mundur dan diberangusnya HAM, itu linier," kata Eko. 

Baca Juga: Wiji Thukul Masih Hilang, Pegiat HAM Jogja Laporkan Jokowi ke Gibran  

3. Masalah hak pada akses pendidikan dan kesehatan perlu jadi perhatian

Catatan Pusham UII Soal Penanganan Kasus HAM di Era JokowiIlustrasi Pendidikan (IDN Times/Arief Rahmat)

Lalu apa harus dilakukan oleh presiden yang baru? Eko menyebut hampir semua pemikir HAM, termasuk para peneliti HAM mengerti bahwa dalam beberapa hal instrumen HAM karakternya abstrak, tapi negara punya kewajiban mengongkritkannya. Maka politik kekuasaan itu harus memastikan HAM yang abstrak, bisa dijalankan menjadi sesuatu yang konkret. 

Eko melihat kebijakan yang dijalankan pemerintah saat ini menjadikan indikator pembangunan fisik yang utama. "Padahal ada indikator lain yang jauh lebih substanstif dan itu sesuai standar HAM," terang Eko.

Dicontohkan Eko, soal pendidikan. Menurutnya mengukur kualitas pendidikan di Indonesia saat ini cukup mudah. "Misal kalau tidak salah, partisipasi pendidikan generasi muda di pendidikan tinggi kalau gak salah itu hanya sekitar 39 persen. Artinya ada 61 persen anak muda yang tidak bisa mengenyam pendidikan tinggi, kata Eko.

"Pembangunan seharusnya tidak hanya fisik, tetapi juga dimaknai dengan pembangunan manusia. Itulah yang menjadi kewajiban konstitusional, karena itu diperintahkan oleh konstitusi untuk memenuhi hak pendidikan. Selain itu masalah kesehatan juga menjadi perhatian," ujarnya. 

Banyak orang yang masih kesulitan mengakses fasilitas kesehatan. BPJS Kesehatan dinilai amburadul, masih ada diskriminasi. Padahal untuk membangun bangsa yang maju syaratnya ada dua, pendidikan dan kesehatan harus diperbaiki.

"Itu perintah HAM, perintah kosntitusi. Jadi sayangnya hak-hak yang konstitusional, yang lebih fundamental tidak mendapatkan perhatian yang cukup baik, kalah dengan pembangunan fisik, tol, bandara, pelabuhan, dan seterusnya, karena nampaknya yang dikejar pembangunan ekonomi," ujar Eko.

4. UU tentang Pengadilan HAM hingga UU ITE harus diubah

Catatan Pusham UII Soal Penanganan Kasus HAM di Era Jokowiilustrasi undang-undang (IDN Times/Aditya Pratama)

Untuk menjamin masalah HAM, Eko mengungkapkan Undang-Undang 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia harus diperbarui. Seperti halnya penyelidikan saat ini dilakukan Komnas HAM, penyidikan kemudian dapat dilakukan Jaksa Agung. "Mungkin kita bisa dorong dapat itu menjadi harus, sehingga setelah ada hasil penyelidikan Komnas HAM maka Jaksa Agung wajib melakukan penyidikan. Misalnya itu," kata Eko.

Eko juga mengatakan KUHAP untuk menuntaskan kasus HAM masa lalu itu tidak bisa dilakukan, sebab KUHAP didesain menyelesaikan kasus biasa. KUHAP digunakan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dinilai tidak cukup, karena banyak situasi yang membutuhkan hukum acara yang ekstra.

"Kemudian UU ITE sebaiknya memang harus diubah, diganti, karena sejauh ini menjadi alat yang ampuh merepresi kebebeasan sipil warga negara," ungkap Eko.

5. Capres berada di lingkaran elite oligarki

Catatan Pusham UII Soal Penanganan Kasus HAM di Era JokowiIlustrasi Pemilu (IDN Times/Arief Rahmat)

Tinggal beberapa bulan lagi warga Indonesia bakal memilih Presiden baru. Eko mengatakan memang cukup sulit untuk memilih presiden yang punya komitmen menyelesaikan masalah HAM. Kondisi tersebut tidak lepas karena sistem politik di Indonesia untuk bisa menjadi capres butuh dukungan elite yang merupakan bagian oligarki ekonomi.

"Jadi mengharapkan perubahan agak serius terhadap capres yang didukung oligarki ekonomi agak sulit. Oligarki ekonomi tidak pernah menaruh telur di satu keranjang, kalau keranjangnya 3, ya telurnya ditaruh di 3 keanjang, apelnya juga ditaruh di 3 keranjang. keranjang mana yang dipilih ya itu yang dipakai untuk kendaraan," jelas Eko. 

Kondisi tersebut menjelaskan kedaulatan rakyat Indonesia masih lemah. Rakyat tidak bisa menentukan pilihan mereka sendiri sebenarnya. "Yang memilih mereka kan 20 persen itu (presidential threshold). Rakyat tidak punya daulat menentukan pemimpin mereka sendiri," ungkap Eko.

Baca Juga: Hari HAM, Jokowi: Kami Tak Henti Tuntaskan Kasus Masa Lalu

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya