100 Lebih Guru Besar UGM Desak Pemerintah Dengar Suara Rakyat

Soroti demokrasi yang merosot

Intinya Sih...

  • Lebih dari 100 Guru Besar UGM menyerukan agar pemimpin negara mendengarkan suara rakyat dan menolak segala bentuk KKN.
  • Kritik terhadap pemerintah disampaikan melalui imbauan, seruan, demonstrasi, dan unjuk rasa oleh berbagai elemen masyarakat untuk mencegah manipulasi politik.
  • Ketegangan antara elite politik menunjukkan kepentingan jangka pendek lebih diutamakan daripada kepentingan rakyat, serta instrumen perundangan dijadikan alat politik sempit.

Yogyakarta, IDN Times - Sebanyak 100 lebih Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) menyerukan kepada semua pemimpin lembaga negara agar selalu mendengar suara rakyat. Mereka menyoroti merosotnya demokrasi di Indonesia belakangan ini.

Berbagai kritik terhadap pemerintah tersebut telah disampaikan melalui imbauan, seruan, demonstrasi, dan unjuk rasa, oleh berbagai elemen masyarakat. Apa yang dilakukan masyarakat tersebut sebagai upaya mencegah terjadinya manipulasi dan kekerasan politik yang disinyalir bertujuan untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan.

1. Terjadi kemerosotan demokrasi di Indonesia

100 Lebih Guru Besar UGM Desak Pemerintah Dengar Suara RakyatMassa aksi Jogja Memanggil juga sempat menggelar teatrikal di depan Gedung Agung Yogyakarta. Mereka melempar foto Jokowi dan keluarga dengan telur. (IDN Times/Herlambang Jati)

Ketua Dewan Guru Besar (DGB) UGM Prof. Baiquni mengatakan saat ini tengah terjadi kemerosotan demokrasi di tanah air. Kondisi tersebut ditandai dengan pelemahan lembaga-lembaga penegak hukum, seperti KPK dalam penindakan korupsi yang menggurita, dominasi elit partai politik dan pelemahan kontrol publik pada penyelenggaraan pemerintahan, serta pengabaian nalar dan nurani di berbagai praktik pembangunan.

“Kita meminta pemimpin lembaga negara untuk mendengar suara rakyat yang menolak segala bentuk Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, karena tidak sesuai dengan demokrasi dan juga semangat reformasi," kata Baiquni, Senin (26/8/2024).

2. Pemimpin negara seharusnya berpikir jangka panjang

100 Lebih Guru Besar UGM Desak Pemerintah Dengar Suara RakyatSalah satu peserta aksi Jogja Memanggil membakar dan merobek foto Jokowi. (IDN Times/Herlambang Jat)

Sekretaris DGB UGM Prof. Wahyudi Kumorotomo menambahkan bahwa ketegangan yang terjadi antara para elite politik di antara lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif memperlihatkan bahwa semangat para pemimpin politik lebih mengedepankan kepentingan jangka pendek dan diri sendiri ketimbang kepentingan rakyat dan warga Indonesia. “Pemimpin negara seharusnya memikirkan kepentingan negara dalam jangka panjang, mengingat rakyat kita masih menghadapi kesulitan ekonomi dan ketidakpastian global,” jelasnya. 

Wahyudi menuturkan bahwa terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang kemudian ditanggapi secara reaktif oleh Badan Legislatif DPR yang hendak mengubah Undang-undang tentang Pilkada, menunjukkan betapa instrumen perundangan sudah dijadikan sebagai alat untuk mengejar kepanjangan politik sempit dan jangka-pendek. “Seraya mengabaikan keinginan rakyat bagi terciptanya demokrasi yang bermartabat di tanah air,” ungkapnya.

Baca Juga: 1.000 Akademisi UGM Nyatakan Darurat Demokrasi Indonesia, Apa Isinya?

3. Tolak pemilu yang tidak sesuai prinsip demokrasi

100 Lebih Guru Besar UGM Desak Pemerintah Dengar Suara RakyatIlustrasi Pilkada 2024.

Dalam situasi darurat ini, para Guru Besar UGM menyatakan sikap, menolak berbagai bentuk praktik pemilihan pemimpin di tingkat nasional dan daerah yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat. Menolak penggunaan instrumen politik yang menggunakan intimidasi, pengerahan aparat negara, penyebaran uang dan material, dan cara-cara tak terpuji lainnya yang mencederai berjalannya proses demokrasi yang beradab.

“Kita ingin mendorong dan menuntut penyelenggaraan Pilkada yang bermartabat dan berkeadilan sesuai kaidah hukum yang benar dan adil,” katanya.

Selain itu, para Guru Besar juga menyerukan agar para elite politik tidak menggunakan legitimasi palsu melalui proses pembuatan peraturan perundangan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang bermartabat dan kedaulatan rakyat. Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus tetap menjaga marwah dan prinsip sebagai penyelenggara Pilkada dengan berpegang teguh pada kesepakatan konstitusional. Termasuk di antaranya Keputusan Mahkamah Konstitusi.

Terakhir, para Guru Besar UGM mengajak semua lapisan masyarakat sebagai subjek demokrasi untuk berkonsolidasi dan berpartisipasi aktif untuk menyelamatkan demokrasi Indonesia, dengan menyampaikan seruan-seruan yang tetap memelihara keadaban serta mencegah tindakan kekerasan yang justru mencederai proses demokratisasi yang telah berjalan.

Dari daftar lebih dari 100 Guru Besar UGM yang sudah mendukung penyampaian pernyataan sikap ini, terdapat nama Guru Besar Fakultas Pertanian Prof. Masyhuri, Guru Besar Fakultas Filsafat Prof. Lasiyo. Kemudian, Guru Besar Fakultas Psikologi Prof. Koentjoro, Guru Besar Fakultas Biologi Prof. Endang Semiarti, Guru Besar Fakultas Peternakan Prof. Ambar Pertiwiningrum.

Selanjutnya, terdapat pula Guru Besar Fakultas Teknik Prof. Wiendu Nuryanti, Guru Besar FIB Prof. Faruk, Guru Besar FK-KMK Prof. Yodi Mahendradhata. Lalu, Guru Besar FEB Prof. Ainun Naim, Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Prof. Teguh Budi Pitoyo, Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Prof. Eni Harmayani, Guru Besar Fakultas Teknik Prof. Selo, dan Guru Besar Fisipol UGM Prof. Sofian Effendi.

Baca Juga: 100 Dosen UII Turun ke Jalan Gabung Aksi Jogja Memanggil

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya