Janji Politik Calon Pemimpin Sering Tak Realistis Warga harus Cerdas  

Hanya janji populis untuk menggaet masyarakat

Intinya Sih...

  • Para calon Pilkada sering membuat janji populis untuk menggaet suara masyarakat, tanpa realisasi yang jelas.
  • Janji lapangan kerja dan kesejahteraan seringkali tidak seimbang dengan kemampuan para politisi ketika memerintah.
  • Kondisi global seperti pandemi Covid-19 dan perang Ukraina-Rusia turut mempengaruhi realisasi janji politik calon kepala daerah.

Yogyakarta, IDN Times – Pengamat Politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Nyarwi Ahmad menilai sangat jarang para calon yang berkontestasi di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menyampaikan visi misi atau janji politiknya yang sifatnya realistis. Mereka lebih banyak membuat janji populis yang sulit diwujudkan, hanya untuk menggaet suara masyarakat.
 
“Alih-alih realistis, mayoritas janji atau visi misi yang disampaikan cenderung populis. Itu juga kita melihatnya di masa awal Jokowi (Pilpres), Nawacita, mandiri pangan, mandiri energi, dan seterusnya. Logikanya kan gak ada lagi Impor, nyatanya impor masih, jadi opsi di tengah berbagai perhitungan efisiensi, dan lain-lain,” ucap Nyarwi kepdada IDN Times, Sabtu (7/9/2024).

1. Calon hanya ingin menggaet suara sebanyak mungkin

Janji Politik Calon Pemimpin Sering Tak Realistis Warga harus Cerdas  Ilustrasi pilkada serentak. IDN Times/Mardya Shakti

Nyarwi menyebut hampir semua calon yang berkontestasi di Pemilu berusaha menggaet dukungan sebanyak-banyaknya suara masyarakat.
 
“Contoh penyediaan lapangan kerja, kemudiahan berusaha untuk masyarakat. Biasanya para calon menyampaikan akan menyediakan lapangan kerja sekian ribu, sekian juta. Itu kan populis, tapi bisa kita lihat seberapa mampu lapangan kerja baru dibuka. Jarang dilaporkan ketika pemerintah berkuasa di daerah maupun nasional,” ucap Nyarwi.
 
Dosen Ilmu Komunikasi UGM itu menyebut yang terjadi bahkan sebaliknya dari janji para poltisi itu. Alih-alih terbuka lapangan pekerjaan baru, justru yang terjadi adanya PHK. “Mempertahankan lapangan pekerjaan saja susah, apalagi menciptakan,” ujar Nyarwi.

2. Kampanye populis yang tidak realistis

Janji Politik Calon Pemimpin Sering Tak Realistis Warga harus Cerdas  ilustrasi pilkada (IDN Times/Esti Suryani)

Nyarwi mengungkapkan dalam Pemilu, yang muncul dari masyarakat adalah suatu ekspektasi, dan harapan yang kerap tidak terbatas. Selain itu, selama fase Pemilu terjadi dinamika kontestasi antar calon, yang masing-masing calon menyampaikan daya tarik, sebagus mungkin. “Ibarat orang menawarkan barang dengan harga terjangkau, kualitas bagus. Padahal kondisi biaya produksi untuk itu susah,” ungkap Nyarwi.
 
Ia melanjutkan harapan tersebut dijawab model pesan-pesan kampanye populis. Namun, janji tersebut sering tidak seimbang, tidak sebanding kemampuan para politisi ketika memerintah. Mereka tidak bisa memenuhi harapan tersebut.
 
Nyarwi mengungkapkan logika pemerintah atau politisi hanya terbatas pada logika deret hitung, bukan deret ukur. Harapan masyarakat masuk dalam logika deret ukur, sementara pemerintah hanya sejalan dengan logika deret hitung. “Deret hitung 2+3 hanya ketemu 5, sementara harapan deret ukur, 2x3 berarti 6. Artinya harapan lebih tinggi. Selamanya pemerintah sulit memenuhi 100 persen harapan masyarakat yang berkembang di Pemilu,” ungkapnya.
 
Selain itu, untuk mencapai ekspektasi masyarakat juga dipengaruhi kondisi nasional dan global. Ia mencontohkan untuk kondisi global ketika Covid-19, pemerintah harus mengalihkan anggaran untuk penanganan. Kemudian, perang Ukraina dan Rusia yang berdampak pada pasokan rantai makanan. “Pemerintah tidak bisa menebak dan mengontrol. Harus bisa beradaptasi,” ungkapnya.
 
Nyarwi menegaskan dalam faktanya, politisi kerap merumuskan visi misi kampanye yang besar, dan kerap tidak seimbang dengan kemampuan. Ia mencontohkan janji Prabowo Subianto untuk makan bergizi gratis, menjadi pertanyaan selanjutnya, bagaimana anggaran untuk mencukupi program tersebut. Kondisi serupa juga terjadi di daerah. “Padahal pemerintah terbatas ruang finansial. APBN maupun APBD kalau di daerah,” ungkapnya.
 
Nyarwi juga menyoroti keterikatan dengan kroni-kroni poltik, akan mempengaruhi realisasi dari janji politik calon kepala daerah. Kondisi itu pula menyangkut independensi partai, politisi tersebut.

Baca Juga: Jadwal Event Jogja September 2024, Banyak Konser Musik

3. Pemilih harus bisa berpikir dengan cerdas

Janji Politik Calon Pemimpin Sering Tak Realistis Warga harus Cerdas  Ilustrasi Pilkada (IDN Times/Mardya Shakti)

Nyarwi memberi saran, kepada masyarakat agar memilih calon yang komperhensif, punya kemampuan yang cukup, kapasitas, kemampuan, konsistensi dan integritas. Ia memberi gambaran, sulit untuk memenuhi permintaan masyarakat menghapus kemiskinan 100 persen di daerahnya.
 
“Apa mungkin? Kecuali dia mengatakan kemiskinan jadi fokus kita, akan kita upayakan, capain sudah seperti ini. Saya kira kecerdasan pemilih itu diperlukan, sayangnya gak semua cerdas seperti itu,” ungkap Nyarwi.
 
Lebih lagi, banyak warga yang menggunakan logika pendek. Tidak bisa mencerna informasi yang kompleks, dan komperhensif. “Sehingga persuasi yang berkesan tidak realistis, tapi menarik, cukup efektif untuk memobilisasi pemilih,” kata dia.

Baca Juga: Cerita Anak Montir Bengkel Kuliah Gratis di Kedokteran UGM

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya