Seabrek Masalah Produksi Padi, dari Pupuk hingga El Nino

Petani padi hadapi bermacam masalah yang tak tuntas

Intinya Sih...

  • Produksi padi Indonesia menurun dalam satu dekade terakhir, dari 69,05 juta ton GKG pada 2012 menjadi 54,41 juta ton GKG pada 2023.
  • Kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti perubahan iklim, kurangnya benih bersertifikasi, irigasi yang tidak memadai, dan ketersediaan pupuk bersubsidi yang terlambat.
  • Pupuk subsidi kosong sehingga petani terpaksa beli pupuk non-subsidi dengan harga lebih tinggi. Persoalan ini juga dialami di daerah lain seperti NTB dan Lampung.

Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan produksi padi Indonesia cenderung menurun dalam satu dekade terakhir. Tahun 2012, volume produksi padi nasional mampu mencapai 69,05 juta ton gabah kering giling (GKG). Jumlahnya sempat meningkat hingga mencapai 81,07 juta ton GKG pada 2017.

Namun sejak 2018, produksi padi anjlok menjadi 59,02 juta ton GKG, dan turun kembali pada 2019 menjadi 54,6 juta ton GKG. Pada 2020, produksi beras naik tipis ke angka 54,64 juta GKG, tapi setahun kemudian turun lagi menjadi 54,41 juta ton GKG. Pada 2022 naik tipis ke angka 54,74 juta ton GKG. Meski naik tipis dibanding tahun 2021, angkanya jauh lebih rendah dibandingkan 10 tahun lalu.

1. Lumbung padi nasional tak menjanjinkan lagi

Seabrek Masalah Produksi Padi, dari Pupuk hingga El NinoIlustrasi tanaman padi di Kota Mataram. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Jawa Barat, daerah yang menduduki peringkat kedua sebagai pemasok beras nasional juga mengalami penurunan produksi beras. Kondisi ini disebabkan berbagai faktor, mulai dari kurangnya benih bersertifikasi, irigasi hingga faktor iklim yang tidak menentu sepanjang tahun kemarin.

Ketua DPD HKTI Jawa Barat, Entang Sastraatmadja mengatakan, berdasarkan data BPS hasil pertanian di Jabar selama satu tahun kemarin rata-rata dalam satu hektare menghasilkan 5,4 ton beras. Angka itu, katanya, mengalami penurunan. "Kemarin agak turun karena El Nino sekarang diupayakan ditingkatkan supaya dinaikkan jadi enam ton per hektare," ujar Entang, Kamis (25/1/2024).

Entang mengungkapkan, alasan melemahnya hasil panen pertanian di Jawa Barat disebabkan berbagai faktor. Beberapa di antaranya akibat perubahan iklim dari El Nino ke La Nina, kemudian ketersediaan benih bersertifikasi yang masih kurang. "Ketersediaan benih yang tersertifikat harus jelas, kemudian pupuk bersubsidi jangan sampai terlambat. Harus diperhatikan soal pengairan, soal irigasi juga, soal penyuluhan kalau itu bisa dikembangkan maka pertanian ke depan akan lebih bagus," katanya.

Kepala Bulog Cabang Bandung, Erwin Budiana membenarkan, kondisi iklim terutama El Nino membuat serapan padi dari masyarakat menurun. Namun, dia memastikan serapan padi dalam negeri akan terus dilakukan."Penyerapan memungkinkan menurun karena kondisi cuaca El Nino memang sedikit banyak memengaruhi," ujar Erwin.

Selain El Nino, Erwin mengungkapkan, pada tahun kemarin panen yang dihasilkan oleh petani juga belum banyak. Hal itu membuat harga pembelian belum sesuai dengan Bulog. "Di mana harga beli Bulog sesuai Peraturan Badan Pangan Nasional sebesar Rp9.950, sedangkan harga beras saat ini masih lumayan tinggi di Rp13.000 sampai Rp13.500 per kilogram," kata dia.

Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura (DTPH) Jawa Barat, Dadan Hidayat mengatakan, produksi padi di Jawa Barat Tahun 2018-2023 berada di kisaran angka 9 juta ton gabah kering giling (GKG). Adapun pada 2023 ini produksi padi di Jawa Barat sebesar 9.116.810 to  GKG dari data sementara KSA BPS. Angka ini lebih rendah dari capaian produksi padi Tahun 2021 dan 2022. Penurunan produksi disebabkan beberapa hal yaitu, alih fungsi lahan sawah, utamanya karena mulai beroperasinya beberapa Proyek Strategis Nasional (PSN) seperti Pelabuhan Patimban.

"Selain itu ada juga Bandara Kertajati, Jalan Tol Gedebage-Tasikmalaya-Cilacap (Getaci), Percepatan Pengembangan Wilayah di Kawasan Rebana dan Jabar Selatan, serta beberapa bendungan baru (Jatigede, Sadawarna, Cipanas, Leuwikeris)," tutur Dadan.

2. El Nino diklaim penyebab merosotnya produksi padi

Seabrek Masalah Produksi Padi, dari Pupuk hingga El NinoPetani saat melakukan pemupukan tanaman padi (IDN Times/ Ruhaili)

Setali tiga uang, tetangga Jawa Barat, yakni Provinsi Banten juga mengalami penurunan produksi padi. Dinas Pertanian Provinsi Banten mencatat produktivitas padi atau beras di wilayahnya terus menurun. Pada tahun 2023 tercatat produksi padi di tanah para Jawara menurun hingga sebanyak 109 ribu ton. "Produksi padi Banten 2023 kalau dalam angka turun 6,14 persen dibandingkan produksi di tahun 2022," kata Kepala Dinas Pertanian Banten Agus Tauchid saat dikonfirmasi, Rabu (24/1/2024).

Agus menyampaikan jumlah total produksi padi gabah kering di Banten pada tahun 2023 hanya mencapai 1.678.766 ton. Lebih sedikit jika dibandingkan dengan produksi tahun sebelumnya sebesar 1.788.583 ton. Kendati menurun, kata Agus, Banten tetap berada di posisi ke delapan sebagai daerah lumbung beras nasional. "Penurunan juga sama dialami di tingkat nasional yang mengalami penurunan 6 persen sampai dengan 7 persen," katanya.

Agus menjelaskan, penurunan jumlah produksi padi di Banten disebabkan oleh dampak perubahan iklim El Nino yang mengakibatkan terjadinya kekeringan berkepanjangan dan krisis air sehingga berdampak gagal panen."Lebih ke dampak El Nino, bukan karena adanya penyusutan lahan (pertanian)," katanya.

Baca Juga: Masalah Air dan Pupuk Menambah Beban Petani di Sleman

3. Pupuk subsidi cuma janji?

Seabrek Masalah Produksi Padi, dari Pupuk hingga El NinoPetani sedang membajak sawah. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Pupuk menjadi masalah yang dihadapi petani di Jawa Timur. Padahal wilayah ini merupakan pemasok beras terbesar di Indonesia.

Menurut Ketua Kelompok Tani Kelurahan Munggut, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Yudiono, sejak dua pekan terakhir, para petani terpaksa merogoh kocek, hanya untuk membeli pupuk non subsidi dengan harga lebih dari Rp 300 ribu per sak.

"Kami terpaksa membeli non subsidi karena pupuk subsidi kosong sedang padi saatnya mupuk mas. Jadwal kedatangan pupuk bersubsidi tidak jelas, kami hingga hari ini belum dapat jatah alokasi pupuk bersubsidi dari pemerintah," ujar Yudiono.

Dalam hal ini negara gagal menyediakan pupuk bersubsidi bagi petani tepat waktu.  Padahal usia tanaman padi milik petani rata-rata sudah 25 hari lebih, yang seharusnya dilakukan pemupukan. Bila terlambat maka hasilnya tidak bagus. Pupuk subsidi yang dijanjikan pemerintah belum juga muncul.

"Terpaksa daripada gagal kami membeli pupuk non subsidi yang harganya 3 kali lipat lebih tinggi. Bila telat memupuk ya ngak panen kami. Pupuk bersubsidi seharusnya sudah didistribusikan sejak awal tahun 2024 ini dan dapat langsung pemupukan tepat waktu," terangnya.

"Jangan sampai kondisi ini  terus berkepanjangan selama beberapa waktu. Jika dibiarkan, maka dapat berimbas terhadap produksi padi petani," imbuh Yudho.

Kabid Prasarana dan Sarana Pertanian Disperta Kabupaten Madiun berdalih telatnya penyaluran pupuk akibat Pupuk Indonesia lantaran masih melakukan uji coba penggunaan sistem aplikasi digital. "Penyaluran pupuk belum dapat didistribusikan karena terkendala peralihan aplikasi, dari T Pubers ke I Pubers," ujar Parna.

Menurutnya, peralihan aplikasi untuk mempermudah proses penebusan pupuk bersubsidi oleh petani, sehingga menjadi lebih tepat sasaran. "Upaya kami adalah terus berkoordinasi dengan Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur hingga ke Kementerian, supaya penyaluran pupuk bersubsidi segera dirasakan manfaatnya oleh petani,” katanya.

Ditambahkan Parna, jika tahun ini alokasi pupuk subsidi untuk Kabupaten Madiun mendapatkan pupuk jenis urea sebanyak 25.134 ton, pupuk NPK, 11.259 ton.

4. Irigasi tak banyak membantu

Seabrek Masalah Produksi Padi, dari Pupuk hingga El Ninoilustrasi saluran irigasi (pexels.com/Stan Versluis)

Persoalan pupuk tak hanya dialami petani di Pulau Jawa. Sejumlah petani di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) juga menghadapi hal yang sama. Padahal NTB menjadi salah satu daerah yang dinobatkan sebagai lumbung padi nasional. Meski begitu, petani mengeluhkan mahalnya harga pupuk dan sulitnya air irigasi pertanian.

Ketua Kelompok Tani di wilayah Kecamatan Janapria Lombok Tengah, Afifuddin mengatakan petani masih dihadapkan dengan persoalan kelangkaan pupuk dan air irigasi. Ketika musim tanam, pupuk subsidi terlambat datang, sehingga petani terpaksa membeli pupuk nonsubsidi.

Petani membeli pupuk subsidi dengan harga Rp250 ribu sampai Rp320 ribu per kuintal. Karena pupuk subsidi terlambat datang, petani terpaksa membeli pupuk nonsubsidi dengan harga mencapai Rp1 juta per kuintal. "Ada pengaruhnya karena pupuk terlambat datang. Sehingga terpaksa beli pupuk nonsubsidi. Harga satu kuintal sampai Rp1 jutaan. Kalau pupuk subsidi harganya sampai Rp320 ribu per kuintal," kata Afifuddin saat berbincang dengan IDN Times, Sabtu (27/1/2024).

Ia berharap pemerintah daerah memperhatikan persoalan pupuk dan saluran irigasi pertanian. Sehingga petani tidak hanya mengandalkan air tadah hujan.

Bupati Lombok Tengah Pathul Bahri mengatakan Menteri Pertanian Amran Sulaiman saat berkunjung ke Lombok Tengah beberapa hari lalu menyampaikan ada tambahan anggaran. Untuk pengadaan pupuk subsidi ini tambahan anggarannya sebesar Rp14 triliun atau sekitar 2,5 juta ton.

"Artinya, petani semakin hari semakin diperhatikan pemerintah. Persoalan air irigasi pertanian memang kondisi di lapangan. Debit air dari daerah hulu semakin hari semakin kecil selain untuk kebutuhan air bersih. Maka reboisasi penting menjadi perhatian semua. Agar penyimpanan air dalam tanah bisa memenuhi di masa depan," ujarnya.

Baca Juga: Melacak Jejak Gelap Peredaran Rokok Ilegal di Masyarakat

5. Lumbung padi diguyur beras Impor

Seabrek Masalah Produksi Padi, dari Pupuk hingga El NinoPetani di Kota Mataram panen padi beberapa waktu lalu. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Di tengah kesulitan yang dialami petani itu, Pemerintah Pusat justru membuat kebijakan mengimpor beras. Bahkan, daerah yang selama ini menjadi lumbung beras juga menjadi sasaran beras impor.

Kepala Dinas Tanaman Hortikultura dan Perkebunan (TPHbun) Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), Imran Jausi, mengatakan kebutuhan beras masyarakat di provinsi ini memang sangat besar. Maka mau tidak mau, keran impor pun menjadi pilihan. Di sisi lain, Sulsel turut jadi penyuplai beras untuk provinsi lain di Indonesia."Kalau kita melihat dari segi kebutuhan kita besar sekali. Buktinya seperti padi, terpaksa kita harus buka keran impor," kata Imran.

Pada Oktober 2023 lalu, Sulsel menerima beras impor sebanyak 70 ribu ton yang diterima secara bertahap. Baru-baru ini, Sulsel kembali kebagian bantuan 42 ribu ton beras yang dikirim bertahap sebanyak 7 ribu ton setiap bulan mulai Januari hingga Juni 2024. Bantuan beras ini merupakan upaya untuk mencukupi cadangan beras. Imran tidak menampik adanya penurunan produksi padi dan beras. Hal tersebut dipicu oleh kondisi banjir awal tahun 2023 dan kekeringan pada pertengahan 2023 lalu yang mengganggu produksi padi dan beras."Kita bandingkan dengan tahun 2022 dan 2023 ada penurunan produksi padi kita 7,78 persen. Artinya, kalau untuk kebutuhan kita tidak masalah," kata Imran.

Untuk menjaga produktivitas padi agar hasilnya bisa meningkat, Pemprov Sulsel akan memperbaiki produksi mulai dari hulu. Bukan tidak mungkin swasembada pangan dapat terealisasi. Hal pertama yang harus dibenahi, kata Imran, yakni mulai dari penggunaan benih da air yang baik. Namun persoalannya, sebanyak 56 persen sawah d Sulsel merupakan sawah irigasi sedangkan 44 persen lainnya adalah sawah tadah hujan.

6. Regenerasi petani menjadi pekerjaan rumah

Seabrek Masalah Produksi Padi, dari Pupuk hingga El NinoPetani sedang membajak sawah untuk persiapan tanam padi.(IDN Times/Daruwaskita)

Berbeda dengan daerah lain, produksi padi di Provinsi Lampung selama dua tahun terakhir mengalami kenaikan. Meski kenaikannya cukup tipis yakni sebesar 1,51 persen atau 40,62 ribu ton saja. Produksi pada 2022 sekitar 2,69 juta ton GKG dan produksi di 2023 mencapai 2,73 juta ton GKG. Tak hanya itu, luas panen padi pun mengalami kenaikan sebesar 2,8 persen atau 14,52 ribu hektar dari 518,26 ribu hektare di 2022 menjadi 532,77 ribu hektare di 2023.

Sayangnya kenaikan jumlah produksi padi di Lampung ini tak dibarengi dengan regenerasi petaninya. Pun alih fungsi lahan sawah tak dipungkiri kian berkurang seiring berkembangnya zaman.

Seperti penuturan salah satu pengurus kelompok tani di Desa Rejo Asri Lampung Tengah, Zainal Arifin. Petani berusia 28 tahun ini mengatakan cukup miris melihat regenerasi petani khususnya di desa dengan mayoritas penduduk bermata pencaharian petani padi sawah.

“Boleh dibilang petani regenerasinya itu nyaris gak ada. Belum tentu satu tahun itu tumbuh satu petani. Di Rejo Asri itu kurang lebih ada 1.400 KK dan 90 persennya petani. Tapi yang usianya 30 tahun ke bawah itu gak lebih dari 15 persen saja,” katanya.

Ia mengatakan generasi milenial dan Z di daerahnya lebih cenderung memilih ke gaya hidup urban sehingga mencari kerja ke kota karena dinilai lebih menjanjikan.
Zainal mengatakan, rata-rata luas lahan padi milik masyarakat Rejo Asri tidak besar. Per kepala keluarga hanya memiliki lahan sawah sekitar 0,5 hektare saja. Hal ini tentu berdampak pada jumlah produksi dan pendapatan petani tiap musim panen.

“Kepemilikan lahan kalau dirata-rata 1 KK itu gak lebih dari 0,5 hektare. Lahan saya sendiri itu hanya seperempat hektare. Kalau perhitungan kami yang petani itu lahan segitu kira-kira panen 1 ton gabah kering, per kilonya Rp5 ribu berarti hanya dapat Rp5 juta. Potong modal sekitar Rp2 juta. Profit Rp3 juta. Sedangkan itu hasil untuk 4 bulan artinya satu bulan gak sampai 1 juta. Angka UMR saja gak sampai,” paparnya.

Selain kendala El Nino, Zainal mengatakan, hama wereng dan tikus masih menjadi salah satu kendala petani padi. Apalagi wereng bisa mengganggu padi mulai dari masa tanam hingga musim panen. Padahal saat ini, di desanya sedang musim tanam padi usia 1-1,5 bulan.

Ia pun cukup mengapresiasi program subsidi benih dan pupuk dari pemerintah selama ini. Meski begitu, ia berharap hal itu bisa ditingkatkan dengan mengembangkan pertanian ramah lingkungan karena ia sadar betul penggunaan pupuk kimia dampaknya cukup serius bagi lingkungan.

“Kami juga berharap keadilan harga bagi petani khususnya padi. Dalam artian petani itu kadang dihancurkan ketika panen raya sedangkan biaya produksi sudah tinggi. Saya rasa pemerintah juga bisa memberikan pendampingan intensif dan penyesuaian harga yang adil untuk petani.”

7. Varietas baru yang dicetak di kampus

Seabrek Masalah Produksi Padi, dari Pupuk hingga El NinoLahan padi varietas Gamagora 7 atau Gadjah Mada Gogo Rancah 7, di Guyung, Gerih, Ngawi, Jawa Timur. (IDN Times/Herlambang jati Kusumo

Sementara itu, Pusat Inovasi Agro Teknologi Universitas Gadjah Mada (PIAT UGM) mengenalkan padi varietas Gamagora 7 atau Gadjah Mada Gogo Rancah 7, di Guyung, Gerih, Ngawi, Jawa Timur. Gamagora 7 diklaim bisa menjadi pilihan padi yang ditanam saat kemarau panjang.

"Pengalaman juga kelebihan Gamagora 7 ini seandainya terjadi kekeringan dan segera dapat diairi, recovery cepat, tumbuh kembali cepat. Ada beberapa nomor, recovery lambat, agak kuntet kekuningan," ujar Taryono, Plt Kepala PIAT UGM itu.

Keunggulan Gamagora 7 lainnya yaitu, panen bisa lebih cepat, yaitu maksimal 110 hari, di musim kemarau bisa dipanen kurang dari 100 hari. Selain itu, anakannya banyak dan serempak. "Kalau kita lihat pertumbuhannya serempak, artinya nanti pada saat mulainya semua keluar, ini berbunganya juga akan serempak, sehingga harapan kita mutu berasnya juga baik," ujar Taryono.

Produktivitas Gamagora sendiri, dalam luasan 1 hektare bisa menghasilkan 10 ton gabah kering. Jumlah tersebut lebih besar dibanding padi pada umumnya, pada kisaran 8 ton per hektare. Secara kualitas diklaim tidak jauh berbeda dengan beras Rojo Lele. "Maka saya mengatakan sekarang saya berani promosi, mimpi UGM untuk mendukung kedaulatan pangan melalui Gamagora 7 InsyaAllah. Ini harus kita dukung benar-benar," ujarnya.

Selain masalah faktor cuaca yang menyebabkan kurangnya pengairan di lahan pertanian, Taryono juga menyebut hasil panen dipengaruhi luasan lahan. Pembangunan infrastruktur yang massif bisa mengurangi luas tanam padi."Karena pembangunan infrastruktur itu kan korbannya mesti lahan pertanian. Jadi contoh misal pembangunan tol, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Kalau gak hati-hati lahan pertanian korbannya," ujar Taryono.

Baca Juga: El Nino Bikin Produksi Padi Tak Optimal, Petani Beralih Komoditas

Topik:

  • Febriana Sintasari
  • Umi Kalsum
  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya