Gus Yahya: 2 Pemilu Terakhir Agama Dipakai Buat Serang Orang Lain
Bahaya jika dibiarkan
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Sleman, IDN Times - Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf, mengatakan pemakaian politik identitas dalam dua gelaran pemilu terakhir telah menghadirkan pengalaman buruk.
Gus Yahya mengatakan, publik mulai menyoroti ancaman politik identitas jelang datangnya tahun politik. Mereka mengaitkannya dengan isu keamanan yang muncul saat pemilu 2014 dan 2019 lalu.
Hal itu disampaikannya saat memberikan sambutan pada acara peluncuran buku berjudul 'Proceeding of the R20 International Summit of Religious Leaders' di Balai Senat UGM, Sleman, DI Yogyakarta, Jumat (4/8/2023).
"Dua pemilihan umum terakhir adalah pengalaman yang sangat sangat buruk terkait politik identitas. Orang menggunakan agama sebagai senjata untuk mendapatkan dukungan politik untuk menyerang orang lain," kata Gus Yahya.
1. Dilema bicara soal agama
Menurut Gus Yahya, persoalan ini sebenarnya mengakar sangat dalam pada diskursus mengenai ajaran agama itu sendiri.
Kata Gus Yahya, membawa agama ke ranah politik awalnya adalah motivasi atau insting para penganut untuk menghadirkan agama ke ruang publik atau sosial. Kendati, banyak juga yang berpikiran jika agama itu merupakan privasi.
Logika semacam itu kemudian membuat orang berpikir bahwa ketika agama dibawa ke dalam ruang sosial dan publik maka akan menimbulkan persaingan antaragama yang berbeda.
"Bahaya ini agak jelas bagi kita, tentu berbahaya membiarkan agama saling berebut dominasi di ruang publik dan sosial karena saat ini kita hidup dalam kelompok yang berbeda, kelompok yang berbeda agama hidup bersebelahan, bertetangga lingkungan yang sama," kata Gus Yahya.
"Jadi jika kita membiarkan perselisihan seperti itu terjadi maka akan menimbulkan bahaya besar bagi keamanan, stabilitas seluruh masyarakat," sambungnya.
Baca Juga: Gus Yahya: Jangan Gunakan NU untuk Modal Politik 2024
Baca Juga: R20 ke Jogja, Ajak Tokoh Dunia Lihat Toleransi di Indonesia