TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Peringati 80 Tahun Sri Sultan HB X, 2 Buku Bakal Diluncurkan Hari Ini

Buku berisi pandangan tokoh-tokoh tentang sosok Sri Sultan

Ngabekten kepada Raja Keraton Yogyakarta. (Instagram.com/Keraton Yogyakarta)

Yogyakarta, IDN Times - Sebanyak dua buku Bunga Rampai Aspirasi 80 Tahun Sri Sultan Hamengku Buwono X untuk Memperingati 80 Tahun Sri Sultan Hamengku Buwono X, akan diluncurkan di Pagelaran Kraton Yogyakarta, pada Jumat (15/12/2023). Dua buku ini bertajuk 'Mendengar Suara Merawat Semesta' dan 'Berdaulat untuk Kesejahteraan Rakyat'.

Perwakilan editor Kompas, Bambang Sigap Sumantri pada konferensi pers yang digelar jelang peluncuran buku tersebut menjelaskan, buku ini merupakan kumpulan esai atau makalah, juga cerita pribadi tokoh nasional dan internasional dari berbagai latar belakang akademisi, budaya, dan sosial sebagai dedikasi kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X.

1. Bentuk perayaan momen istimewa Sultan

Raja Kraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X. (Dok. Istimewa)

Tulisan yang terkumpul adalah bentuk perayaan dari momen istimewa ulang tahun Sri Sultan 80 tahun dalam hitungan jawa. Perayaan ini dihitung berdasarkan kalender jawa bukan tanpa alasan. Sri Sultan bukan hanya sekedar menjadi pemerhati kepentingan budaya, tetapi juga seorang pelaku dan pejuang budaya. Hal itu menjadi tolak ukur untuk Sri Sultan melaksanakan perjuangan budaya Jawa.

“Sejak muda Ngarsa Dalem aktif di berbagai organisasi sosial, ekonomi, maupun politik. Beliau dilantik menjadi gubernur DIY sejak 1989 menggantikan ayahandanya yang wafat pada 1988. Hal ini yang membuat relasi dan jangkauannya sangat luas baik nasional maupun internasional, yang akhirnya menjadi narasumber penyumbang naskah dalam buku ulang tahun ini. Mereka dipilih langsung oleh Sri Sultan bersama Tim Editor Kompas,” ungkap Bambang.

Ada delapan tema yang dipilih dalam bukunya yaitu, Kepemimpinan Sri Sultan, Suksesi dan Keraton, Keistimewaan Yogyakarta dan Pemerintahan Provinsi di Indonesia, Global dan Pluralisme, Tradisi Budaya dan Lingkungan hidup, Sri Sultan dalam Reformasi Tahun 1998, Ekonomi Kreatif DIY, dan terakhir adalah Perempuan dan Keadilan Gender.

Para penulis ini umumnya pernah mempunyai pengalaman bekerja sama atau terlibat kegiatan dengan Sri Sultan. Mereka terdiri dari sesama pejabat pemerintahan nasional seperti menteri lembaga tinggi negara, budayawan, duta besar, dosen, intelektual, pengusaha, rohaniawan, wartawan, dan aktivis sosial. 

“Buku ini menunjukkan bahwa relasi mereka dengan Sri Sultan membentuk keunikan dalam masing-masing tulisannya yang terlihat dalam peliputannya. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai perbedaan sapaan, banyak yang menyebut dengan Sultan, Ngarsa Dalem, Raja Keraton Yogyakarta juga penyebutan kata dari Sultan kemudian menulis dengan beliau, dan menyebutnya dengan dia juga ada. Tim editor menghormati penyebutan ini sebagai kenyamanan dan relasi penulis dengan sultan. Ketika dikonfirmasi, Sri Sultan pun tidak mempermasalahkan hal ini,” papar Bambang. 

2. Proses pengumpulan naskah selama 4 bulan

Buku Mendengar Suara Merawat Semesta. (Dok. Istimewa)

Senada dengan Bambang, Chief Editor buku 'Mendengar Suara Merawat Semesta', Heri Nugroho Djojobisono menuturkan, pihaknya menggandeng banyak unsur untuk dijadikan narasumber. Proses pengumpulan naskah berjalan selama 4 bulan sejak dirinya dihubungi oleh Sekda DIY, Beny Suharsono untuk penerbitan buku ini. Dalam prosesnya, ia banyak berdialog dengan Pemda DIY.

“Jadi sejak 4 bulan yang lalu saya mengumpulkan teman-teman jurnalis, kurang lebih 12 atau 13 orang untuk melakukan wawancara pada narasumber. Pemilihan narasumber juga sudah kami diskusikan matang-matang, agar bisa mewakili suara berbagai kalangan,” ungkap Heri. 

Sebelum buku ini diluncurkan, setidaknya dilakukan 4 kali pertemuan tim editor dengan Sri Sultan untuk membahas progres buku ini. Pertemuan itu di antaranya terlaksana dua kali di Jogja dan dua kali di rumah pribadi Gubernur DIY di Jakarta. Pada awalnya, tim editor merasa bahwa tulisan yang ada terlalu tajam. Namun ketika hal ini disodorkan kepada Sri Sultan, beliau berpendapat lain. Beliau mengungkapkan bahwa pendapat dibebaskan agar tidak ada perilaku cawe-cawe dalam materi tulisan. Pernyataan ini pula yang menunjukkan bahwa Sri Sultan adalah seorang pemimpin yang egaliter tidak hanya dalam perkataan namun ditunjukkan secara nyata.

Baca Juga: 3 Fakta Manuk Nom, Puding Kesukaan Raja Keraton Yogyakarta

Berita Terkini Lainnya