Tarif Ojol Naik, Peneliti UGM: Bisa Turunkan Pendapatan Mitra

- Kenaikan tarif berpotensi turunkan permintaan
- Isu tarif ojol: kompleks, sensitif, dan multidimensi
- Aplikator tetap kejar laba, pemerintah wajib netral
Yogyakarta, IDN Times - Rencana kenaikan tarif ojek online (ojol) hingga 15 persen oleh pemerintah menjadi sorotan berbagai pihak. Kementerian Perhubungan menyebut penyesuaian ini dilakukan dengan mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan pengguna, mitra pengemudi, dan aplikator.
Namun di balik upaya penyesuaian tarif tersebut, ada kekhawatiran bahwa dampaknya bisa kontraproduktif. Peneliti dari Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwi Ardianta Kurniawan, menilai kebijakan ini harus dikaji dengan cermat karena potensi penurunan permintaan bisa berimbas langsung pada pendapatan mitra.
1. Kenaikan tarif berpotensi turunkan permintaan

Dwi menegaskan bahwa kenaikan tarif tidak otomatis membawa dampak positif bagi mitra pengemudi. Dalam konteks transportasi jarak pendek yang menjadi andalan mayoritas ojol, konsumen dinilai sangat sensitif terhadap perubahan harga.
“Pengalaman yang lalu, kenaikan tarif akan menurunkan permintaan antara 30-50 persen untuk perjalanan jarak pendek, yang tentu justru akan menurunkan pendapatan semua pihak,” ungkapnya, Kamis (24/7/2025) dilansir laman resmi UGM.
Ia mengingatkan bahwa analisis permintaan harus menjadi acuan sebelum kebijakan diterapkan agar tidak justru menyulitkan pihak yang ingin dilindungi.
2. Isu tarif ojol: kompleks, sensitif, dan multidimensi

Dengan estimasi jumlah mitra ojol nasional mencapai 4–7 juta orang, sistem pentarifan ini menyangkut banyak aspek dan bisa menimbulkan ketegangan sosial-ekonomi.
Dwi menjelaskan bahwa banyak pekerja sebelumnya meninggalkan pekerjaan tetap demi penghasilan lebih tinggi dari ojol. Namun seiring waktu, ekspektasi penghasilan yang dulu tinggi mulai tidak realistis karena perubahan kondisi pasar dan standar kerja.
“Perubahan standar dan ekspektasi pendapatan yang tidak lagi sama menjadi pemicu kekecewaan mitra, bukan semata kesalahan aplikator atau pengguna,” terangnya.
3. Aplikator tetap kejar laba, pemerintah wajib netral

Di sisi lain, perusahaan aplikator tetap bergerak dalam kerangka bisnis. Grab mulai membukukan laba setelah merugi dalam beberapa triwulan, sedangkan Goto masih mencatatkan kerugian hingga akhir 2024.
Karena itu, peran pemerintah sebagai penengah menjadi semakin penting. Dwi menekankan bahwa pemerintah harus menjalankan fungsi pengawasan dengan tegas agar tidak terjadi ketimpangan dalam pembagian keuntungan.
“Semua pihak harus melihat dengan jernih untuk menilai seberapa besar sebenarnya tingkat kewajaran pendapatan yang berhak diterima oleh mitra. Besaran UMR dapat menjadi acuan kewajaran pendapatan yang diterima oleh mitra ojol sebagaimana acuan pada sektor lainnya,” jelasnya.
4. Transparansi bagi keberlanjutan ekosistem ojol

Menanggapi tantangan ekosistem ojol saat ini, Dwi mendorong penerapan tarif yang transparan dan adil. Ia menilai bahwa salah satu sumber persoalan selama ini adalah ketidakjelasan proporsi pembagian hasil antara aplikator dan mitra.
“Semua pihak harus menyadari bahwa tingkat tarif yang wajar sangat penting untuk menjaga agar industri tetap berjalan, karena apabila salah satu pihak memaksakan kehendak maka justru akan merugikan ekosistem secara keseluruhan,” pungkasnya.
Kenaikan tarif ojol memang bisa menjadi angin segar bagi sebagian pihak, tetapi tanpa perhitungan yang cermat, langkah ini bisa memicu efek domino yang membebani justru mitra itu sendiri. Dalam konteks ekonomi digital yang kian dinamis, transparansi dan keberimbangan menjadi kunci keberlanjutan.
Pernyataan Dwi menjadi pengingat bahwa kebijakan tarif harus dibangun di atas dasar data, bukan hanya reaksi sesaat. Tanpa pendekatan yang menyeluruh, risiko jangka panjang justru bisa menghantam sektor transportasi daring yang kini jadi tulang punggung mobilitas masyarakat urban.