Adjie (ketiga dari kiri) bersama petani empon-empon. (Dok. Istimewa)
Bermodal nekat, Adjie mengaku memberanikan diri untuk menjadi supplier tetap. Padahal, saat itu ia belum memiliki atau menanam sendiri komoditas jahe yang ditawarkannya.
"Saya mencoba trading dulu. Saya coba cari petani dan coba beli langsung dari petani kemudian saya jual untuk suplai ke pabrik tadi," tuturnya.
Setelah berhasil menyuplai jahe lewat jual-beli dengan petani, Adjie lantas mengembangkan jaringan distribusinya ke tempat lain. Ia membuka rantai pasokan dari retailer lokal ke produsen-produsen yang membutuhkan komoditas tersebut. Barulah ia kemudian tertarik untuk mulai menanam sendiri.
"Kalau nanam sendiri tepatnya mulai dari sekitar bulan September 2019. Tiga bulan pertama kontrak kerja sama dengan petani, itu masih kita pasrahkan ke petani, karena kita belum paham betul gimana caranya nanam jahe dengan hasil kuantitas dan kualitas yang maksimal," terang Adjie.
Warga Kalurahan Pendowoharjo, Kapanewon Sewon, Kabupaten Bantul, ini mulanya bercocok tanam jahe emprit di lahan seluas 2 ribu meter persegi dengan dibantu dua petani. Namun, hasil panennya jauh dari kata memuaskan. Mengingat, Adjie sendiri tak memiliki berlatar belakang di bidang pertanian.
Sambil menggarap lahan, Adjie pun masih terus menjalankan trading dengan petani jahe yang lain, karena dirinya sudah telanjur teken kontrak menjadi supplier.
"Dari situ sambil saya belajar dari literasi-literasi IPB, jurnal-jurnalnya Balitro Bogor. Sampai dapat jurnal dari China bagaimana kandungan komposisi unsur hara nitrogen,
fosfor dan kalium yang tepat untuk beberapa komoditas empon-empon di fase usianya masing-masing pada waktu ditanam," ujarnya.