ilustrasi royalti (freepik.com/freepik)
Menyikapi berbagai kebingungan pelaku usaha maupun musisi, sejumlah pihak di daerah turut urun ide demi menemukan solusi dan jalan tengah bagi sengkarut royalti ini. PHRI Balikpapan, misalnya, meminta aturan pembayaran royalti Rp120 ribu per kursi per tahun yang berlaku saat ini harus direklasifikasi ulang. Pasalnya, jenis usaha kuliner di Balikpapan sangat beragam. “Restoran di mal tentu berbeda dengan warung kopi. Sama-sama memperdengarkan musik, tapi dikenakan biaya yang sama. Itu tidak adil,” kata Sekretaris PHRI Balikpapan, Derry Indrawardhana, 30 Agustus 2025.
Menurut Derry, PHRI Balikpapan sudah mencatat sejumlah masukan dan menyampaikannya langsung kepada komisioner LMKN dalam forum sosialisasi di Disporapar Balikpapan, beberapa waktu lalu. “Usulan yang kami sampaikan adalah perlunya reklasifikasi dengan parameter yang jelas untuk industri UMKM. Walaupun dalam undang-undang disebutkan UMKM mendapat keringanan, tapi parameternya tetap harus jelas,” ujarnya. Ia menambahkan, penerapan aturan royalti musik sebaiknya memperhatikan kondisi UMKM agar tidak menghambat perkembangan usaha. “Implementasi undang-undang ini harus lebih bijak. Bisa dibagi per kelas, misalnya berdasarkan omzet,” tutur Derry.
Pengamat Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Dr. Ida Nadirah, menilai polemik royalti musik terus berulang karena akar masalahnya belum terselesaikan. Menurutnya, ada beberapa faktor utama penyebab persoalan ini. "Apa masalahnya yaitu, ketidakjelasan atau perbedaan dalam penafsiran regulasi terkait penarikan dan pembagian royalti kepada pencipta. Kemudian, kurangnya audit independen terhadap LKMN terkait pengelolaan dana royalti yang dikumpul dan didistribusikan. Dan kurang kesadaran hukum masyarakat khususnya pelaku usaha bahwa setiap penggunaan lagu musik untuk komersial harus izin ke pencipta dengan membayar royalti," jelasnya.
Ida juga menyoroti perbedaan antara aturan pusat dan daerah. Pemerintah pusat, kata dia, mengatur regulasi, standardisasi tarif, dan distribusi royalti secara nasional. "Sedangkan banyak daerah yang belum memiliki aturan turunan dari tata cara pembayaran royalti lagu atau musik yang sesuai dengan keadaan daerah atau kondisi lokal," tuturnya.
Sebagai solusi, Ida mendorong adanya revisi PP Nomor 56/2021, terutama pada mekanisme penetapan tarif dan distribusi agar lebih transparan dan akuntabel. Ia juga menekankan pentingnya klasifikasi pengguna musik komersial, sosialisasi kepada masyarakat, serta forum diskusi lintas pemangku kepentingan. "Apabila terjadi sengketa, selesaikan secara mediasi tidak perlu dibawa ke ranah litigasi," pungkasnya.
Akademisi Universitas Bandar Lampung (UBL), Benny Karya Limantara, menilai polemik royalti musik hanya bisa dituntaskan lewat reformasi kebijakan yang lebih modern, progresif, dan berbasis digital. Menurutnya, sejumlah langkah konkret bisa segera diterapkan, mulai dari digitalisasi penuh sistem royalti, penerapan tarif proporsional, integrasi pusat-daerah dalam pengawasan, edukasi hukum berkelanjutan, hingga pembentukan lembaga pengawas independen di luar LMKN.
“Royalti musik jangan hanya dipandang sebagai beban administratif, tapi bagian dari keadilan ekonomi kreatif. Reformasi digital, transparansi, dan keadilan tarif adalah kunci menciptakan keseimbangan antara kepentingan pencipta dengan pengguna,” tegasnya, 29 Agustus 2025.
Benny juga mendorong pemerintah mengubah pendekatan pembayaran royalti dari model represif menjadi lebih kolaboratif, adaptif, dan berbasis teknologi. “Kalau itu dilakukan, royalti musik benar-benar bisa menjadi instrumen perlindungan hak cipta sekaligus penggerak ekonomi kreatif nasional,” tuturnya.
Dari sudut pandang musisi, Dandi menilai perlu ada lembaga yang lebih dekat dengan musisi lokal. “Harusnya ada lembaga/organisasi/komunitas yang melindungi hak cipta dengan cara mendaftarkan. Bisa Ekraf, Dispora, atau LMK tingkat daerah atau kolektif lokal yang memang berfungsi untuk mengarsipkan dan melibatkan artis. Label biasanya mengurus ini (hak cipta), tapi banyak musisi indie/independen mengurus sendiri,” ujarnya.
Ia menegaskan, yang paling dibutuhkan musisi lokal adalah ruang dan kesempatan tampil. “Ruang untuk tampil di panggung besar, kesempatan agar karya bisa dikenalkan ke audiens luas. Kalau band-band lokal Balikpapan bisa tumbuh besar, tampil di luar kota, bahkan di luar negeri, itu akan jadi kebanggaan bagi Balikpapan sendiri,” imbuh Dandi.
Sementara, Gus Teja, memilih memberikan jalan tengah di tengah polemik royalti musik. Ia menekankan agar pemilik hotel, restoran, maupun spa yang sering memutar karyanya juga memberi ruang dengan mengundangnya tampil langsung. “Jadi kita bisa bertumbuh bersama. Jangan hanya memutar musik saya, tetapi ketika ada event (acara) yang diundang malah orang lain. Atau mungkin artis-artis internasional ya,” ucapnya dengan sabar.
Menurutnya, undangan tampil langsung bisa menjadi solusi etis bagi musisi yang tidak mendaftar LMKN tetapi lagunya sering diputar di tempat usaha. Selain mempererat hubungan profesional, langkah ini juga memberi manfaat nyata bagi kedua belah pihak. “Karena di sini bisa terjalin kerja sama, atau kita bisa bertumbuh bersama. Jadi secara etika, saya kira itu lebih baik,” tutup Gus Teja.
Pada 21 Agustus 2025, DPR RI menggelar rapat dengar pendapat membahas manajemen royalti serta permasalahannya, dalam perlindungan karya cipta dan hak cipta bersama Kemenkumham, LMKN, LMK, musisi, dan komposer di Senayan.
“Kesimpulan rapat pada hari ini saya menawarkan, yang pertama, itu untuk selama dua bulan kita berkonsentrasi menjadikan Undang-Undang Hak Cipta,” ujar Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, dalam rapat konsultasi bersama Kemenkumham, LMKN, LMK, musisi, dan komposer di Senayan.
Dasco juga mengusulkan agar musisi ikut terlibat dalam tim perumus RUU Hak Cipta serta mendorong agar lembaga pengelola royalti berada di bawah satu atap agar tidak terjadi tumpang tindih. Ia menegaskan, selama pembahasan berlangsung, pembayaran royalti sebaiknya hanya dilakukan melalui LMKN. “Saya menawarkan juga bahwa dalam tempur dua bulan itu LMKN agar menarik semua delegasi penarikan agar terkonsentrasi di LMKN supaya yang lain-lain berkonsentrasi untuk membahas undang-undang,” katanya.
Selain itu, Dasco meminta LMKN melakukan audit agar lebih transparan. “Kalau perlu itu yang namanya audit dilakukan supaya ke depan transparansi itu bisa terjadi sehingga penyanyi, pencipta lagu itu bisa mendapat hak dan manfaatnya dengan benar,” ujarnya. Ia berharap langkah ini bisa menenangkan situasi. “Supaya dalam dua bulan ini juga kegaduhan di dunia royalti bisa agak adem gitu. Jangan sampai rakyat udah gak bisa denger musik lagi,” tambahnya.
Royalti bukan sekadar angka di atas kertas, tapi wujud penghargaan atas kerja keras musisi dan pencipta lagu. Namun, pungutan yang tidak transparan dan memberatkan, justru membuat musik Indonesia terasa sumbang. Lewat evaluasi, transparansi, dan kolaborasi, harapannya sistem ini bisa menjadi lebih sehat dan adil untuk semua pihak.
Tim peliput: Ayu Afria Ulita Ermalia, Rangga Erfizal, Maya Aulia Aprilianti, Rizal Adhi Pratama, Anggun Puspitoningrum, Tama Wiguna, Halbert Caniago, Tri Purnawati, Erik Alfian, Ni Komang Yuko Utami, Herlambang Jati, Indah Permata Sari, Amir Faisol