Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Sate Klathak Pak Pong (IDN Times/Holy Kartika)

Bantul, IDN Times - Aroma khas daging dibakar dengan arang, terselubung dalam asap putih nan halus, seketika menusuk hidung apabila kamu menginjakkan kaki di kawasan Jejeran, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Semakin mendekati petang, aroma yang mengundang selera itu semakin kentara. Membuat orang yang tak berniat akhirnya penasaran apakah gerangan. Menyulap lidah yang kelu jadi berdecak lapar. Mengubah perut yang tadinya nyaman tiba-tiba kosong lagi.

Sesuai nama kampungnya, warung sate klathak berjejeran di sana. Di antara sekian banyak opsi untuk memecahkan mitos “sate mana yang paling enak?”, Sate Klathak Pak Pong berdiri kokoh sebagai legenda kuliner yang tak lekang oleh waktu.

Sejarah Sate Klathak Khas Bantul

Sate Klathak Pak Pong kuliner legendaris Yogyakarta khas Imogiri, Bantul (IDN Times/Holy Kartika)

Jauh sebelum Sate Klathak Pak Pong melegenda, tradisi kuliner istimewa ini telah lahir di Dusun Jejeran, Desa Wonokromo, Bantul. Menurut situs Warisan Budaya Tak Benda milik Kemdikbud, Mbah Ambyah, pelopor sate klathak, merintis usahanya di bawah pohon melinjo yang buahnya disebut "klathak". Bunyi "tak...tak...tak" dari percikan garam saat dibakar di tungku tanah liat menjadi inspirasi nama "sate klathak".

Berbeda dengan sate pada umumnya, sate klathak menggunakan tusukan jeruji besi, bukan bambu. Alasannya sederhana: Jeruji besi menghasilkan panas yang lebih merata dan matang hingga ke dalam daging. Perpaduan daging kambing muda yang segar, bumbu garam minimalis, dan arang kayu menghasilkan cita rasa gurih khas yang tak terlupakan.

Dari Kios Kecil Menjadi Legenda Kuliner

Editorial Team

Tonton lebih seru di