Ketahanan Ekonomi Era Prabowo Diuji Ekonom UGM: Fokus Perbaiki Ekonomi

Intinya sih...
- Prabowo Subianto akan sibuk menghadapi tantangan sektor perekonomian dari dalam pemerintahannya sendiri.
- Prediksi Akhmad Susamto: Pemerintahan Prabowo-Gibran bakal sibuk menghadapi tantangan dari sisi ketahanan ekonomi, terutama terkait defisit anggaran APBN.
- Akhmad juga memaparkan kondisi dan fakta lain yang dihadapi, termasuk strategi Bank Indonesia mempertahankan ekonomi nasional dengan menetapkan suku bunga tinggi.
Sleman, IDN Times - Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Akhmad Akbar Susamto menilai Presiden terpilih, Prabowo Subianto akan sibuk menghadapi tantangan sektor perekonomian dari dalam sisi pemerintahannya sendiri.
Akhmad menerangkan kondisi ekonomi nasional jelang pergantian pemerintahan masih mampu mempertahankan pertumbuhan di angka 5 persen. Mengenai pasca pandemi Covid-19, jumlah pekerja sektor informal jauh lebih besar hingga 84,13 juta orang atau setara dengan 59,17 persen dari total pekerja.
"Jadi kondisi ketenagakerjaan kita belum pulih sepenuhnya, tapi orang butuh makan. Jadi apa saja dikerjakan, serabutan begitu. Maka tidak heran kalau sektor informal meningkat," ujar Akhmad.
1. Defisit anggaran Rp93 triliun
Dengan situasi itu, Akhmad berpendapat, pemerintahan Prabowo-Gibran bakal sibuk menghadapi tantangan dari sisi ketahanan ekonomi. Prediksi ini menimbang pernyataan Kementerian Keuangan soal defisit anggaran APBN per Juli 2024 senilai Rp93,4 triliun.
Menurut Akhmad, kondisi ini berimbas pada ruang fiskal pemerintah sekalipun angka Rp93,4 triliun itu diklaim masih sesuai dengan rancangan APBN.
Akhmad memperkirakan kemampuan pemerintah dalam mendongkrak ekonomi nasional cenderung rendah hingga pengujung tahun. "Dana yang bisa diotak-atik itu lebih sedikit karena sudah ada alokasinya. Sisanya ini akan lebih kecil lagi karena ada janji-janji politik yang sudah disampaikan oleh pemerintahan lalu maupun nanti dari pemerintahan baru,” tutur Akhmad.
Sebagai contoh, apabila pemerintah akan melanjutkan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), maka membutuhkan anggaran lagi. "Ini belum termasuk program baru pemerintah, macam makan bergizi gratis yang juga membutuhkan anggaran bernilai fantastis,"imbuh Akhmad.
2. Kemampuan sektor moneter rendah
Sementara dari sisi moneter, Akhmad memaparkan kondisi dan fakta lain yang dihadapi. Salah satunya, strategi Bank Indonesia (BI) mempertahankan ekonomi nasional dengan menetapkan suku bunga tinggi dalam beberapa tahun terakhir.
Strategi ini dilakukan dengan mengacu pada kebijakan The Federal Reserve System (Fed) yang juga meningkatkan suku bunga merespons inflasi di Amerika Serikat (AS). Lalu, suku bunga AS turun 0,5 persen, tapi BI tetap mempertahankan suku bunga di angka 6 persen. Strategi ini dilakukan untuk mempertahankan nilai tukar rupiah.
"Kemampuan sektor moneter dalam mendukung perekonomian nasional itu juga rendah sebenarnya. Segi moneter ini juga tidak bisa bergerak bebas, karena banyak bergantung pada kebijakan inflasi luar negeri," sambungnya.
3. Terpaan isu di industri komoditas terbesar nasional
Akhmad menjadikan industri kelapa sawit yang merupakan komoditas ekspor terbesar Indonesia sebagai salah satu contoh. Industri ini banyak diterpa isu sosial dan lingkungan, sehingga sedikit pihak yang berkenan untuk terlibat atau bermitra di dalamnya.
"Ini bisa diatasi dengan penegakkan hukum. Jika pemerintah bisa memperkuat penegakkan hukum, maka bisa jadi masyarakat nantinya bisa tergerak untuk maju bersama," pungkasnya.