Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Kenapa Cinta Itu Buta? Ini Penjelasan Psikologi di Baliknya

ilustrasi cinta buta (pexels.com/cottonbro studio)
ilustrasi cinta buta (pexels.com/cottonbro studio)
Intinya sih...
  • Cinta buta dijelaskan melalui cara kerja otak, hormon, dan persepsi manusia
  • Dopamin dan serotonin memengaruhi penilaian rasional, sementara oksitosin memperkuat rasa percaya dan toleransi terhadap perilaku buruk pasangan
  • Cinta membuat kita merasa aman, mengurangi aktivitas di amigdala, mempengaruhi cara mengambil risiko, dan menciptakan halo effect

Ungkapan “cinta itu buta” sering digunakan untuk menggambarkan perasaan cinta yang membuat seseorang mengabaikan kekurangan pasangannya. Timbul pertanyaan, apakah perasaan ini hanya sekadar ungkapan populer, atau ada dasar ilmiah yang menjelaskannya?

Dari sudut pandang psikologi, fenomena ini ternyata dapat dijelaskan melalui cara kerja otak, hormon, dan persepsi manusia. Simak alasan-alasan ilmiah berikut untuk memahami mengapa cinta bisa membuat kita “buta.”

1. Hormon kebahagiaan membuat kamu lupa logika

ilustrasi kebahagiaan saat bersama pasangan (pexels.com/Summer Stock)

Ketika kamu jatuh cinta, otak memproduksi hormon seperti dopamin dan serotonin dalam jumlah besar. Dopamin dikenal sebagai “hormon kebahagiaan” yang memberikan rasa euforia, sedangkan serotonin mengurangi kecemasan, membuat kamu merasa lebih bahagia dan tenang. Kombinasi hormon ini menciptakan perasaan “high” seperti saat seseorang mendapatkan hadiah besar.

Namun, ada sisi lain dari efek hormon ini. Menurut penelitian yang diterbitkan di The Journal of Neurophysiology, lonjakan dopamin menurunkan aktivitas di korteks prefrontal otak, bagian yang bertugas mengambil keputusan rasional. Akibatnya, kamu cenderung mengabaikan kekurangan pasangan karena otak fokus pada rasa senang yang muncul dari hubungan tersebut.

Selain itu, hormon oksitosin, yang dikenal sebagai “hormon cinta,” memperkuat rasa percaya terhadap pasangan. Meski ini membantu membangun koneksi emosional, oksitosin juga membuatmu lebih toleran terhadap perilaku buruk pasangan, sehingga sisi kritismu berkurang.

2. Koneksi emosional memperkuat bias positif

ilustrasi bias pasangan sebagai seseorang yang selalu mendukung (pexels.com/MART PRODUCTION)

Ketika kamu merasa sangat terhubung dengan pasangan, itu bukan hanya perasaan, tapi juga hasil dari kerja otak. Penelitian dari University College London menemukan bahwa saat jatuh cinta, otak menonaktifkan bagian yang bertugas menilai sifat buruk pasangan. Dengan kata lain, kamu lebih fokus pada kelebihan mereka dan cenderung mengabaikan kekurangan yang ada.

Koneksi emosional ini juga diperkuat oleh pola pikir “kami melawan dunia.” Dalam situasi seperti ini, kamu memandang pasangan sebagai seseorang yang selalu mendukungmu, sehingga memperkuat bias positif terhadap mereka. Bias ini sering membuat kamu membela pasangan, meskipun teman atau keluarga mungkin sudah memperingatkan kekurangannya.

Namun, penting untuk diingat bahwa koneksi emosional yang kuat bukan berarti kamu harus menutup mata sepenuhnya. Dalam hubungan yang sehat, cinta seharusnya menjadi kombinasi dari emosi dan penilaian yang rasional.

3. Otakmu "mematikan" kewaspadaan sementara

ilustrasi konflik setelah berbulan madu (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Cinta memiliki cara unik untuk membuat kita merasa aman. Menurut penelitian yang dipublikasikan di Nature Reviews Neuroscience, jatuh cinta mengurangi aktivitas di amigdala, bagian otak yang bertanggung jawab atas rasa takut dan kewaspadaan. Hal ini menjelaskan mengapa kamu merasa lebih percaya dan nyaman dengan pasangan, bahkan dalam waktu singkat.

Selain itu, cinta juga memengaruhi cara kita mengambil risiko. Peneliti dari Rutgers University menemukan bahwa aktivitas otak saat jatuh cinta serupa dengan efek dari zat adiktif seperti kokain. Perasaan intens ini membuatmu lebih berani mengambil keputusan impulsif, termasuk mengabaikan tanda bahaya dalam hubungan.

Namun, efek ini tidak berlangsung selamanya. Setelah fase awal cinta berlalu, aktivitas otak mulai kembali normal, memungkinkan kamu melihat pasangan dengan lebih objektif. Inilah alasan mengapa konflik biasanya muncul setelah “fase bulan madu” berakhir.

4. Pengaruh "halo effect" dalam persepsi pasangan

ilustrasi menilai pasangan hanya berdasarkan sisi positif (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Fenomena psikologi yang disebut halo effect turut memengaruhi cara kamu memandang pasangan. Halo effect merujuk pada kecenderungan seseorang untuk membuat penilaian secara keseluruhan tentang individu lain berdasarkan satu atribut positif yang mereka miliki. Misalnya, jika pasanganmu terlihat menarik, kamu mungkin secara otomatis menganggap mereka baik hati, cerdas, atau setia, meskipun belum tentu benar.

Menurut Daniel Kahneman, pemenang Nobel di bidang ekonomi perilaku, halo effect sering terjadi karena otak kita cenderung mencari pola sederhana untuk menilai orang lain. Dalam konteks cinta, efek ini membuat pasanganmu tampak lebih ideal daripada kenyataannya.

Namun, halo effect juga memiliki sisi negatif. Jika kamu terlalu mengandalkan persepsi awal, kamu bisa mengabaikan tanda bahaya yang muncul di kemudian hari. Oleh karena itu, penting untuk mengenal pasangan secara mendalam sebelum mengambil keputusan besar.

 

Cinta adalah pengalaman kompleks yang melibatkan emosi, hormon, dan cara kerja otak. Ungkapan “cinta itu buta” memang benar adanya, tetapi bukan berarti kamu harus menyerah pada kebutaan ini. Dengan memahami mekanisme di baliknya, kamu bisa menjaga keseimbangan antara perasaan dan logika dalam hubungan.

Hubungan yang sehat adalah hubungan yang saling mendukung satu sama lain dengan tetap berpijak pada kenyataan. Jadi, nikmati perasaan bahagia saat jatuh cinta, tapi jangan lupa untuk tetap membuka mata dan hati. Karena, cinta yang terbaik adalah yang membuat kamu tumbuh, bukan yang membuatmu hilang arah.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Bagus Samudro
EditorBagus Samudro
Follow Us