Ilustrasi sedih (Unsplash.com/ Rifki Kurniawan)
Fenomena 'Laki-laki Tidak Bercerita' menurut Ahmed adalah hal yang lumrah. Ia yang juga baru lulus sekolah menengah atas ini berujar kalau ia adalah salah satu dari banyaknya remaja pria yang memilih diam dengan masalahnya. Bukan menutup diri, tapi menurutnya, ia hanya ingin memikirkan dan menyelesaikannya secara matang sehingga tak mengorbankan orang lain.
Pun dengan Kaka, ia bisa dan suka menceritakan kegiatan atau hal-hal menarik yang terjadi sehari-hari di hidupnya. Namun lagi-lagi, ia memilih menelan masalah pribadinya sendiri.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 75 persen dari total angka bunuh diri di dunia setiap tahunnya adalah laki-laki. Berdasarkan data WHO Global Suicide Estimates 2019, rasio bunuh diri pada pria di Indonesia mencapai 4,0 per 100.000 penduduk, jauh lebih tinggi dibandingkan perempuan yang berada di angka 1,2 per 100.000.
Sementara, data Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) pada 2022, survei nasional pertama yang meneliti prevalensi gangguan mental pada remaja berusia 10 hingga 17 tahun di Indonesia, mencatat bahwa satu dari tiga remaja mengalami masalah kesehatan mental. Selain itu, satu dari dua puluh remaja tercatat mengalami gangguan mental dalam kurun waktu 12 bulan terakhir.
Oleh karena itu, konten semacam 'Lelaki Tidak Bercerita' mestinya tak menjadi tren di mana laki-laki, baik dewasa, remaja, maupun anak, merasa harus mengikutinya. Sebab, budaya maskulinitas toksik yang berakar dapat meningkatkan perasaan keterasingan hingga berdampak pada kesehatan mental. Padahal, baik lelaki ataupun perempuan, berhak mendapat sokongan secara emosional yang bisa dibangun lewat berbagi perasaan.