Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Special screening film dokumenter Swaradwipa di JAFF 2025
Special screening film dokumenter Swaradwipa di JAFF 2025 (IDN Times/Dyar Ayu)

Intinya sih...

  • Debut film dokumenter Swaradwipa karya Titi Radjo Padmaja di JAFF 2025

  • Film ini berawal dari ketertarikan musik, menyoroti kebudayaan lokal, dan dibuka dengan lanskap Sumba yang indah

  • Proses syuting dilakukan di Sumba Timur dan Waingapu, memilih JAFF sebagai ruang debut film Swaradwipa

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Yogyakarta, IDN Times - JAFF 2025 menjadi panggung debut bagi Swaradwipa, sebuah film dokumenter Indonesia karya sineas Titi Radjo Padmaja melalui rumah produksi Alunmantra. Film ini menawarkan eksplorasi mendalam dan intim mengenai kehidupan sehari-hari keluarga dan komunitas lokal di Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Jauh dari hiruk pikuk, Swaradwipa menyoroti kisah-kisah sederhana tapi penuh makna tentang cinta, dukungan, dan ketahanan dalam menghadapi tantangan hidup yang dikemas dengan apik dan musik yang magis. Dengan fokus pada kemanusiaan dan kehangatan lokal, film dokumenter ini telah tayang pada 6 Desember 2025 di festival film bergengsi tersebut.

1. Berawal dari ketertarikan dengan alat musik dan merambah pada kehidupan sosial

Special screening film dokumenter "Swaradwipa" di JAFF 2025 (IDN Times/Dyar Ayu)

"Jadi sebenarnya film ini mau tentang musik saja. Saya datang ke Sumba ingin memperhatikan dan merekam musisi Jungga yang katanya juga sudah punah alat musiknya, dan pemainnya juga sedikit," kata Titi dalam momen special screening Swaradwipa di Empire XXI pada Sabtu (6/12/2025).

Siapa sangka, dari niat tersebut ia justru masuk lebih dalam tentang hubungan antar manusia yang terjalin di Sumba dan bagaimana musik menyatukan semua elemen di dalamnya.

Meski berawal dari musisi, Titi Radjo Padmaja bukan nama baru di industri film Indonesia. Ia sendiri telah beberapa kali berakting seperti di film Sang Penari dan The Window. Namun, ini adalah kali pertamanya mengambil peran sebagai sutradara sekaligus produser.

"Dan ini rasanya nervous seperti nganterin anak pertama kali ke sekolah. Hari pertama. Jadi, gugup, bangga, terharu dan berharap yang sayang dia (film Swaradwipa)," ujar Titi dengan berbinar.

Kepekaannya sebagai musisi turut diasah. Ia pernah terlibat dalam beberapa project scoring film, termasuk Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi. Namun awalnya, Titi mengaku kalau kiblat membuat musiknya selalu ke luar negeri atau kebarat-baratan.

"Saya (dulu) sibuk mencari, padahal saya nemu lho, di sekitar saya. Di Indonesia ini banyak banget yang bisa saya masukkan ke dalam musik saya. Termasuk dalam scoring film, itu sangat indah," imbuhnya.

2. Turut soroti kebudayaan makan daging anjing oleh masyarakat lokal

Special screening film dokumenter "Swaradwipa" di JAFF 2025 (IDN Times/Dyar Ayu)

Film ini dibuka dengan lanskap Sumba yang luar biasa indah lalu satu per satu tokoh pemain Jungga yakni Ata Ratu, Rambu Ester, Fransiskus Wora Hebi, Pura Tanya, dan Haing, menceritakan bagaimana alat musik tradisional itu meresap dalam kehidupan.

"Dalam riset, saya pikir awalnya Jungga itu sebegitu sakralnya. Saya masuk ke Sumba, saya cari tahu, ternyata gak sesakral itu. Maksudnya, saya pikir itu Ketuhanan sekali. Memang ada Ketuhanan, tapi jungga dipakai sehari-hari aja," terang Titi.

Dan betul saja, melalui film tersebut bisa diketahui bahwa Jungga telah menjadi bagian dari kehidupan modern sebagai hiburan saat di kebun, menghalau sepi, sampai menarik perhatian lawan jenis.

Di sisi lain, Titi menyoroti tentang budaya makan daging anjing yang dilakukan oleh warga lokal yang kemudian mendatangkan dilema mendalam buatnya. Ia tahu betul bahwa ini bisa menjadi isu sensitif terutama di kalangan pecinta binatang.

"Saya sebagai director tidak pernah menyudutkan atau menyalahkan kebiasaan suatu daerah, atau budaya mereka. Di sini saya menampilkan realitas yang ada dan kita semua harus tahu dan tidak boleh cepat meng-judge," ujar Titi kemudian.

3. Memilih JAFF sebagai ruang ruang debut film Swaradwipa

Pembukaan JAFF 2025 di GIK UGM. (IDN Times/Paulus Risang)

Proses syuting dilakukan di berbagai wilayah Sumba, terutama di Sumba Timur dan Waingapu. Tim mengikuti keseharian para pemain Jungga dari desa ke desa, dari pagi sampai malam, merekam kehidupan di rumah keluarga, ruang adat, tempat peribadatan, hingga lanskap alam yang membingkai kehidupan masyarakat setempat. Melalui perjalanan ini, penonton dapat melihat betapa kayanya musik tradisional Indonesia. Dan, Swaradwipa telah memulai perjalanan filmnya di JAFF.

"JAFF menjadi ruang yang kami rasa paling tepat untuk memulai perjalanan film ini. JAFF dikenal sebagai rumah bagi film-film dokumenter dan kisah-kisah yang berangkat dari budaya lokal, memberikan panggung bagi suara-suara yang sering tidak terdengar, terutama dari wilayah Indonesia Timur. Senang sekali bisa membawa Swaradwipa ke JAFF terasa seperti mengembalikan cerita ini ke tempat yang paling hangat menerima dan merayakannya,” ungkap Titi.

Ia tak menutup kemungkinan untuk membawa Swaradwipa terbang lebih tinggi lewat festival-festival film lain, termasuk ke ke luar negeri.

Editorial Team