ilustrasi perempuan mengalami stres (pexels.com/MART PRODUCTION)
Maryono, sapaan akrabnya, menegaskan bahwa burnout, stres, dan depresi adalah tiga kondisi yang tidak bisa disamakan. Burnout berada pada tingkat yang lebih serius karena melibatkan kelelahan fisik, emosional, sekaligus mental dalam waktu bersamaan. Ia menilai, keluhan yang kerap muncul di masyarakat sebenarnya lebih banyak mengarah pada stres. “Yang sering terjadi itu sebenarnya stres, bukan burnout, karena burnout cenderung lebih parah,” ujarnya, Rabu (24/12/2025), dilansir laman resmi UGM.
Ia menjelaskan, beban kerja menjelang akhir tahun memang meningkat, terutama bagi para pekerja yang harus mengejar target dan tenggat waktu. Sementara itu, mahasiswa umumnya masih berada dalam tekanan akademik yang relatif wajar, sehingga kondisi yang mereka alami lebih tepat dikategorikan sebagai stres, bukan burnout.
Istilah burnout, lanjut Maryono, kerap keliru digunakan, terutama di kalangan anak muda. Menurutnya, tekanan ringan sering kali langsung dilabeli sebagai burnout, padahal secara psikologis kondisinya berbeda. Maryono menjelaskan, burnout ditandai dengan perasaan tidak berdaya yang mendalam.
“Kalau sakit kepala atau pusing, itu masih masuk kategori stres. Burnout benar-benar membuat seseorang merasa tidak mampu dan mengalami kelelahan berat untuk menjalani satu aktivitas, bahkan aktivitas lainnya,” jelasnya.
Sementara itu, depresi berada pada level yang lebih serius karena sudah termasuk gangguan klinis. Kondisi ini, lanjutnya, memerlukan penanganan profesional dan tidak bisa disamakan dengan stres maupun burnout.