The Paradox of Choice: Terlalu Banyak Pilihan Bikin Gak Bahagia?

- Terlalu banyak pilihan bisa menyebabkan kesulitan dalam pengambilan keputusan dan ketidakpuasan setelah memilih.
- Studi menunjukkan bahwa terlalu banyak opsi membuat otak sulit memproses informasi, mengurangi kepuasan, dan meningkatkan rasa cemas serta penyesalan.
- Membatasi pilihan, menerapkan konsep satisficing, dan belajar menerima keputusan yang telah dibuat dapat membantu mengurangi beban pikiran dan hidup lebih bahagia.
Pernahkah kamu merasa bingung saat harus memilih menu di restoran dengan ratusan pilihan? Atau mungkin kamu menghabiskan berjam-jam hanya untuk memilih film di layanan streaming? Jika iya, kamu tidak sendirian. Fenomena ini disebut The Paradox of Choice—di mana semakin banyak pilihan yang tersedia, semakin sulit kita untuk membuat keputusan dan semakin besar rasa ketidakpuasan setelah memilih.
Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Barry Schwartz dalam bukunya The Paradox of Choice: Why More Is Less. Menurut Schwartz, meskipun memiliki banyak pilihan terlihat seperti keuntungan, kenyataannya justru sebaliknya—terlalu banyak pilihan dapat menyebabkan kecemasan, penyesalan, dan ketidakbahagiaan. Artikel ini akan menjelaskan bagaimana fenomena ini terjadi dan bagaimana cara mengatasinya agar hidup lebih tenang dan bahagia. Simak sampai selesai, ya!
1. Mengapa terlalu banyak pilihan bisa membuat kita stres?

Di era digital, kita dihadapkan dengan pilihan yang hampir tidak terbatas. Dari belanja online hingga menentukan jalur karier, kita selalu diberikan berbagai alternatif. Namun, menurut penelitian, semakin banyak pilihan yang kita miliki, semakin sulit bagi otak untuk memprosesnya.
Schwartz menjelaskan bahwa ketika kita memiliki terlalu banyak opsi, kita cenderung mengalami decision paralysis—situasi di mana kita justru kesulitan mengambil keputusan karena takut membuat pilihan yang salah. Misalnya, saat ingin membeli ponsel baru, kita bisa menghabiskan waktu berhari-hari untuk membandingkan spesifikasi, membaca ulasan, dan mencari diskon terbaik. Pada akhirnya, proses ini tidak hanya menguras energi, tetapi juga meningkatkan kecemasan.
Tidak hanya itu, setelah membuat keputusan, kita sering kali merasa menyesal. Kita mulai berpikir, "Seandainya aku memilih yang lain, mungkin hasilnya akan lebih baik." Ini disebut post-decision regret—penyesalan setelah mengambil keputusan karena kita membayangkan pilihan lain bisa memberikan hasil yang lebih baik. Akibatnya, kita kurang menikmati pilihan yang sudah dibuat dan terus merasa ragu.
2. Bagaimana pilihan berlebih mengurangi kebahagiaan?

Sebuah studi yang dilakukan oleh Sheena Iyengar dan Mark Lepper dari Universitas Columbia menemukan bahwa terlalu banyak pilihan dapat mengurangi kepuasan seseorang. Dalam eksperimen mereka, pengunjung supermarket yang diberikan 24 pilihan selai cenderung lebih sedikit membeli dibanding mereka yang hanya diberikan enam pilihan. Mengapa? Karena terlalu banyak opsi membuat keputusan terasa lebih berat dan melelahkan.
Selain itu, ketika pilihan yang diambil ternyata tidak sesuai harapan, kita cenderung menyalahkan diri sendiri. Misalnya, setelah membeli laptop, kita mungkin melihat model lain dengan harga lebih murah dan fitur yang lebih baik. Meskipun kita sudah puas dengan pembelian awal, melihat opsi lain membuat kita merasa telah membuat keputusan yang buruk. Ini disebut sebagai opportunity cost—perasaan kehilangan sesuatu yang lebih baik karena memilih opsi yang ada.
Fenomena ini juga memengaruhi aspek kehidupan lain, termasuk hubungan sosial. Dalam dunia online dating, misalnya, terlalu banyak pilihan pasangan potensial justru membuat seseorang sulit berkomitmen. Mereka terus mencari "yang lebih baik" dan merasa bahwa selalu ada pilihan yang lebih sempurna di luar sana. Akibatnya, banyak orang justru merasa kesepian meskipun memiliki banyak kesempatan untuk menjalin hubungan.
3. Cara mengatasi efek negatif dari paradox of choice

Jika terlalu banyak pilihan bisa membuat kita stres, bagaimana cara mengatasinya? Salah satu solusinya adalah dengan membatasi pilihan yang kita pertimbangkan. Alih-alih mencoba membandingkan setiap opsi yang ada, cobalah untuk membuat batasan. Misalnya, jika ingin membeli pakaian, tetapkan maksimal tiga pilihan dan pilih yang paling sesuai. Dengan cara ini, proses pengambilan keputusan menjadi lebih cepat dan tidak membebani pikiran.
Selain itu, kita juga bisa menerapkan konsep satisficing, yaitu memilih sesuatu yang cukup baik, bukan yang sempurna. Menurut psikolog Herbert Simon, ada dua tipe pembuat keputusan: maximizers (yang selalu mencari pilihan terbaik) dan satisficers (yang cukup puas dengan pilihan yang memenuhi kebutuhan mereka). Studi menunjukkan bahwa satisficers cenderung lebih bahagia karena mereka tidak membuang energi untuk mencari opsi yang sempurna.
Terakhir, latih diri untuk menerima keputusan yang telah dibuat. Daripada terus memikirkan kemungkinan lain, fokuslah pada manfaat dari pilihan yang sudah diambil. Jika kamu sudah membeli sebuah smartphone, jangan lagi membandingkannya dengan model lain. Sebaliknya, nikmati fitur-fiturnya dan gunakan dengan maksimal.
Meskipun kita cenderung berpikir bahwa semakin banyak pilihan akan membuat hidup lebih baik, nyatanya, terlalu banyak pilihan bisa membuat kita cemas dan tidak bahagia. Fenomena The Paradox of Choice menunjukkan bahwa memiliki terlalu banyak opsi bisa menyebabkan stres, penyesalan, dan berkurangnya kepuasan dalam hidup.
Dengan membatasi pilihan, menerapkan konsep satisficing, dan belajar menerima keputusan yang telah dibuat, kita bisa mengurangi beban pikiran dan hidup lebih bahagia. Jadi, apakah kamu masih ingin terus mencari yang "terbaik" atau mulai menikmati yang sudah ada?