biodata dan profil cak nun (caknun.com)
Cak Nun di mata guru-gurunya mungkin bukan siswa teladan. Dikutip dari berbagai sumber, Cak Nun bahkan pernah bolos sekolah selama 40 hari lamanya. Dan selama itu, Cak Nun hidup menggelandang di Malioboro.
Di Malioboro terdapat komunitas Persada Studi Klub atau PSK yang di mata Cak Nun muda, lebih menarik daripada belajar di sekolah. Di komunitas yang digawangi oleh Umbu Landu Paranggi yang diketahui saat itu adalah redaktur sastra mingguan Pelopor Yogya tersebut, Cak Nun dan penyair lain belajar membuat puisi dan membacakannya di depan banyak orang.
Tak banyak yang tahu, Cak Nun pernah menjadi wartawan pada tahun 1970-an tepatnya bergabung dengan media bernama Mertju Suar. Lokasi dari kantor dari koran tersebut yaitu satu komplek di Jalan Gondomanan, Yogyakarta. Tugas awal Cak Nun sebagai wartaman yaitu masuk dalam kanal kesenian dan kebudayaan. Ia pun merangkap menjadi redaktur rubrik remaja dan kaum muda yang mengirimkan karya sastra.
Ketertarikan Cak Nun pada dunia jurnalisme sudah tampak sejak ia menduduki bangku SMA. Mengutip dari laman caknun.com, saat bersekolah di SMA Muhammadiyah I Yogyakarta beliau perlahan mendekati dunia pers. Sampai sekarang, Cak Nun telah tergabung dalam Paguyubuan Wartawan Sepuh Yogya (PWSY). Menariknya, pada tahun 1981 di mana usia Cak Nun menginjak 28 tahun, majalah Tempo telah menerima tulisan kolom beliau dan ia menjadi kolumnis termuda pada saat itu di majalah Tempo.
Cak Nun tak hanya menyukai dunia kepenulisan. Beliau menambah skill dengan bergabung ke Teater Dinasti yang kemudian mementaskan puisi-puisi yang telah dituliskannya. Dan bersinergi bersama Gajah Abiyoso, Fajar Suharno, Simon Hate, Joko Kamto, dan Agus Istiyanto yang tak lain adalah pendiri Teater Dinasti, Cak Nun kemudian melahirkan berbagai naskah drama dan puisi-puisi menarik.
Pada 16 Mei 1987, pementasan 'Lautan Puisi' yang diambil dari puisi berjudul sama dihadiri oleh 6000 orang. Puisi tersebut ini adalah bentuk penentangan seorang Cak Nun terhadap pembatasan hak asasi manusia, terutama wanita, oleh Orde Baru yang pada saat itu pemakaian jilbab dilarang di sekolah dan sektor pemerintahan.