Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi orangtua dan anak-anak (unsplash.com/ Masjid Pogung Dalangan)
ilustrasi orangtua dan anak-anak (unsplash.com/ Masjid Pogung Dalangan)

Intinya sih...

  • Kegiatan silaturahmi disertai sikap saling menghormati sesuai dengan norma Jawa.
  • Penyebutan nama orangtua secara langsung dianggap tidak pantas, begitu juga dengan menyimpan tikar dengan posisi berdiri dan sumpah serapah pada orang lain.
  • Mitos-mitos Jawa mengajarkan etika cara penyimpanan yang benar, kegiatan positif seperti memaafkan, menjaga sikap dan lisan agar Lebaran makin berkesan.

Lebaran jadi momen tahunan istimewa keluarga. Dalam kebersamaan setelah lama tak berjumpa harapannya menyenangkan, maka bersikaplah dengan baik. Penting untuk mengetahui dan mematuhi tata krama yang berlaku di tempatmu merayakan Lebaran.

Mitos tak sekadar cerita tanpa makna, karena terdapat nasihat juga didalamnya. Nasihat ini menjadi bagian dalam etika Jawa. Nah, buat kamu yang lama merantau ke kota dan pulang ke daerah asal di Jawa, janganlah melupakan tata krama yang diajarkan orangtua semasa kecil.

Dalam budaya Jawa ada mitos-mitos semacam peringatan untuk berlaku sopan, ini bisa jadi pedoman beretika saat Hari Raya. Dikutip dari buku karya Budiono Herusatoto yang berjudul Mitologi Jawa: Pendidikan Moral dan Etika Tradisional, berikut mitos-mitosnya.

Etika bersilaturahmi dan kegiatan sosial, mitosnya mengajarkan sikap saling hormat

ilustrasi kehidupan sosial (pexels.com/Ikhsanico Henda Pratama)

Kegiatan silaturahmi keluarga, kerabat, dan tetangga adalah tradisi dalam momen Lebaran. Dalam interaksinya supaya menambah keakraban, maka perlu sikap saling menghormati seperti yang diajarkan dalam mitos-mitos Jawa ini.

  • Ora ilok anjangkar, artinya tidak pantas memanggil orangtua tanpa sebutan panggilan Bapak maupun Ibu. Dalam budaya Jawa, menyebut nama orangtua secara langsung dianggap ora ilok (tidak pantas). Hal ini berlaku juga untuk orang yang lebih tua secara umum seperti tetangga dan kerabat lainnya.

Sebagaimana Franz Magnis Suseno dalam bukunya Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, masyarakat Jawa memperlakukan orang lain misalnya tetangga rumah selayaknya keluarga sendiri. Oleh karena itu, saat menyapa mereka tetap menggunakan istilah kekeluargaan. Contonya, seperti Pak, Bu, Mbah, Pakdhe, Budhe, Mbakyu, atau Dhik. Terapkan kebiasaan ini ya saat mudik di kampung halaman, sebagai bentuk menghormati orang lain, sekalipun asing namun itu menunjukkan kesopanan dalam etika budaya setempat.

  • Ora ilok ngadegke lante, tidak dibenarkan menyimpan tikar dengan posisi berdiri karena bikin cepat rusak. Ketika menghadiri acara perkumpulan, atau tradisi slametan di desa-desa, biasanya masih menggunakan alas duduk tikar yang terbuat dari jajaran batang rumput yang dikeringkan.

Mitos ini mengajarkan etika cara penyimpanan yang benar dengan tujuan agar tikarnya terawat baik sehingga bisa digunakan kembali. Jadi tambahan pengetahuanmu ketika menghadiri selamatan maupun membantu keluarga persiapan acara di rumah, kalau ada tikar seperti ini, simpanlah sesuai aturan baiknya.

  • Ora ilok supatanan, artinya tidak dibenarkan sumpah serapah pada orang lain.

Momen Lebaran semestinya diisi kegiatan positif seperti memaafkan. Mitos ini penting untuk diingat ketika ada orang yang tak sengaja menyakitimu, janganlah menyumpah-nyumpahinya, sebab dalam budaya Jawa itu dianggap ora ilok, tidak benar untuk dilakukan.

Jadi, tak hanya menjaga sikap, tapi juga lisan biar Lebaran makin berkesan. Kalau dalam interaksi sosial ada orang yang menyinggung atau bersikap kurang menyenangkan, ingatkan dia dengan cara halus. Ini adalah respons tepat yang bijak sehingga momen kebersamaan pada Hari Raya gak rusak karena muncul konflik.

Etika saat di rumah, mitos-mitos ini tetap perlu dipatuhi

ilustrasi tumpukan piring kotor (unsplash.com/ Kelly Moon)

Bagi yang telah lama merantau di kota, dan libur Lebaran kembali ke kampung halaman, tetaplah menjaga tata krama. Imbangi kesuksesanmu di kota dengan tetap berlaku sopan santun di tanah kelahiran. Berikut beberapa mitos Jawa dalam berperilaku di rumah.

  • Ora ilok jendhela menga, jangan biarkan jendela terbuka saat senja. Ini untuk keamanan bersama, mengajarkan agar tetap berhati-hati menjaga rumah. Apalagi saat banyak tamu keluar-masuk bersilaturahmi, menutup jendela pada malam hari juga mencerminkan kebiasaan yang tertib, rumah nampak rapi.
  • Ora ilok pajang tanpa samir, jangan biarkan kasur dan bantal tidurmu tanpa sarung. Ini mengajarkan kerapian, terutama saat rumah jadi tempat berkumpulnya keluarga besar, penting tetap merapikan kamar, termasuk memasang sprei dan sarung pada bantal guling.
  • Ora ilok kurep adjang, jangan biarkan piring kotor ditangkupkan begitu saja. Suasana Lebaran biasanya banyak makanan, maka setelah makan biasakan langsung beres-beres dan cuci piring agar rumah bersih, sehingga dapur pun rapi plus menyehatkan.
  • Ora ilok ngandheg uwuh, tak pantas membiarkan sampah dibiarkan menumpuk. Setelah bersih-bersih rumah, sampahnya segera dibuang ke tempatnya, jangan dibiarkan begitu saja. Saat Lebaran, rumah lebih ramai orang sehingga menjaga kebersihan dan kerapian itu juga wujud menghormati anggota keluarga lain dan tamu yang datang. Kalau sampah tadi dibiarkan, kamu bakal repot lagi membersihkannya.
  • Ora ilok mangan paturon, tak pantas makan di tempat tidur padahal gak lagi sakit. Selain bikin kotor, itu juga gak sopan. Ketika hidangan Lebaran sudah disediakan di meja makan, nikmatilah di tempat semestinya. Hiduplah dengan pola yang tertib meski di rumah sendiri.
  • Ora ilok ndhekok, tak pantas tidur lagi pada pagi hari. Terlebih saat momennya masih Lebaran, bangun pagi sebentar lalu tidur lagi dianggap kurang baik. Hiruplah udara segar sambil membantu orangtua beres-beres rumah, atau menyiapkan jamuan untuk tamu yang nanti silaturahmi. Mitos ini mengajarkan untuk peduli terhadap keluarga saat di rumah, dan menjaga kesehatanmu juga karena udara dan sinar matahari pagi itu bermanfaat baik.
  • Ora ilok ngaglah, tidak dibenarkan berdiri atau bersandar di pintu rumah. Tentu saja tak pantas apalagi saat rumah sedang banyak orang. Posisi berdiri atau bersandar di kerangka pintu bisa menghambat jalur keluar-masuknya orang. Mitos ini mengajarkanmu untuk peka terhadap situasi sekitar, dan bisa lebih bijak berperilaku.

Dari mitos-mitos Jawa tadi, bisa dipahami bahwa larangan-larangan tersebut juga mengandung etika budaya setempat dalam keseharian. Apa yang dianggap “tak pantas” maupun “tak dibenarkan” sebenarnya bagian dari ajaran membangun kebiasaan baik. Dalam suasana Lebaran, biar semakin hangat dan bermakna, mari jaga etika baik di mana saja dan bersama siapa pun orangnya.

Editorial Team