Ilustrasi kawasan Malioboro, Kota Yogyakarta. (IDN Times/Tunggul Damarjati)
Filosofi ini lebih dari mengajarkan menerima keadaan dengan lapang dada, tapi juga tentang caranya mengelola rasa terhadap segala suasana. Masyarakat Jawa menjadikan hal ini sebagai panduan bersikap agar gak bereaksi berlebihan sehingga mampu fokus menemukan solusi permasalahannya.
Maka, ada beberapa sikap yang diajarkan dari konsep “Nrimo Ing Pandum”. Pertama, sikap mengendalikan diri di mana seseorang tidak mudah tersulut emosi merespons kejadian yang kurang menyenangkan. Dengan ketenangan, tentu saja kamu jadi bisa berpikir jernih dan mendapatkan jalan terbaik.
Kedua, juga mengajarkan sikap bijaksana dalam beradaptasi. Ketika rencanamu gagal, bukan berarti berakhir di situ. Saat sudah menerima dengan ikhlas, mudah untuk kembali menemukan semangat berjuang. Maka, bukan langsung menyerah tapi memahami lagi apa yang perlu diperbaiki. Dengan begitu, kamu jadi punya kebijaksanaan diri plus kemampuan beradaptasi sambil mencari strategi baru yang lebih sesuai tujuanmu.
Ketiga, kamu punya sikap untuk menyayangi diri melalui introspeksi. Sikap nrimo (menerima) berkaitan dengan kegiatan berintrospeksi diri. Ketika mengalami kegagalan, kamu gak langsung kecewa hingga putus asa, namun berusaha mengambil pelajarannya. Dengan demikian, ke depannya pasti ada kemudahan meraih atau mewujudkan impianmu.
Keempat, optimis. Beberapa orang masih keliru menerapkan filosofi ini, menerima dianggap pasrah tanpa upaya apa-apa setelahnya. Padahal, “Nrimo Ing Pandum” justru mengajarkan sikap optimis, ikhlas dengan tetap diiringi usaha untuk ke depannya.
Kelima, mampu merespons keadaan tanpa terjebak penyesalan. Sikap positif berikutnya adalah bereaksi wajar dan bangkit lagi saat ada yang di luar kendali. Sedih secukupnya, begitu juga marah maupun kecewanya. Tanamkan sikap ini di zaman yang semakin dinamis supaya tetap hidupmu terasa harmonis.