Mengenal Tingkeban, Upacara Selamatan yang Dilakukan GKR Hayu

Upacara ini digelar untuk ibu yang mengandung pertama kali

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menyelenggarakan Upacara Mitoni atau Tingkeban pada Selasa (18/6) siang untuk Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hayu, putri keempat Sri Sultan HB X dan GKR Hemas, yang tengah hamil tujuh bulan. Acara ini berlangsung di Pendapa Ndalem Kilen yang terletak di dalam Keraton Yogyakarta.

Dalam tradisi dan budaya Jawa, Tingkeban atau Mitoni merupakan satu dari sekian banyak upacara daur hidup yang dilakukan oleh masyarakat biasa maupun keluarga Keraton. Apa dan bagaimana Upacara Tingkeban itu? Mari simak penjelasannya di bawah ini.

1. Upacara daur hidup dalam tradisi Jawa

Mengenal Tingkeban, Upacara Selamatan yang Dilakukan GKR Hayuunsplash.com/@chema_photo

Mitoni atau Tingkeban, menurut Yuwono Sri Suwito, dkk dalam Upacara Daur Hidup di Daerah Istimewa Yogyakarta Jilid I (2009), menjadi bagian dari upacara daur hidup yang diadakan sejak munculnya tanda-tanda kehamilan hingga saat manusia meninggal. Upacara ini dilakukan tak hanya oleh keluarga Keraton tapi juga masyarakat biasa.

2. Selamatan untuk perempuan yang mengandung

Mengenal Tingkeban, Upacara Selamatan yang Dilakukan GKR Hayuwww.kratonjogja.id/

Khusus bagi wanita hamil, terdapat empat upacara yang diselenggarakan agar sang anak dan ibu selalu diberi keselamatan. Jika seseorang hamil bulan pertama maka selamatan ngebor-ebori diadakan. Upacara neloni dilakukan apabila si ibu mengandung usia dua hingga tiga bulan.

Di umur empat atau lima bulan, selamatan nglimani dilaksanakan supaya sang bayi tetap sehat. Mitoni, di sisi lain, diadakan ketika si ibu hamil umur enam hingga tujuh bulan. Pada saat kandungan menginjak usia delapan atau sembilan bulan pun selamatan tetap dilakukan.

Baca Juga: Kisah Kampung Wijilan, Sentra Gudeg Yogyakarta Incaran Wisatawan

3. Waktu pelaksanaan Mitoni

Mengenal Tingkeban, Upacara Selamatan yang Dilakukan GKR HayuPexels.com/ Pixabay

Purwadi dalam Upacara Tradisional Jawa: Menggali Untaian Kearifan Lokal (2005) mengatakan bahwa Tingkeban merupakan upacara Mitoni yang dilaksanakan untuk ibu yang baru pertama kali mengandung. Mitoni atau Tingkeban ini memiliki syarat khusus terkait waktu pelaksanaan upacara, yakni mesti dilakukan pada siang hari dan tanggal ganjil.

Menurut tradisi Jawa, pemilihan waktu ini dimaksudkan agar perempuan yang sedang menjalani upacara Tingkeban memperoleh berkah dari bidadari yang dipercaya turun pada siang hari.

4. Siraman sebagai tanda Upacara Tingkeban

Mengenal Tingkeban, Upacara Selamatan yang Dilakukan GKR Hayuinstagram.com/ardinarasti6

Menurut Yuwono Sri Suwito, dkk, Upacara Tingkeban ditandai dengan siraman bagi perempuan yang sedang mengandung. Oleh karena itu, persiapan perlengkapan buat proses ini pun perlu menjadi perhatian.

Benda seperti tropong  atau alat dari bambu untuk menenun, gayung tempurung kelapa, air bunga setaman, sesajen siraman dan kenduri, serta cengkir gading berlukiskan sosok tokoh wayang mesti disiapkan. Biasanya, wayang yang digambar adalah Bathara Kamajaya untuk laki-laki dan Bathari Kama Ratih buat perempuan.

Di samping barang-barang tersebut, tujuh kain dan penutup dada berbagai macam motif pun perlu disiapkan untuk siraman. Motif yang dipilih, kata Purwadi, harus motif yang mempunyai arti baik bagi sang bayi.

5. Makanan buat sesaji saat siraman

Mengenal Tingkeban, Upacara Selamatan yang Dilakukan GKR Hayubusonoasri.blogspot.com

Pada saat prosesi siraman ketika Upacara Tingkeban berlangsung, beberapa makanan wajib dibuat untuk sesaji. Yuwono Sri Suwito, dkk mengatakan panganan tersebut adalah sega janganan, jenang merah putih, jenang baro-baro, dan jajan pasar. Di samping itu, makanan lain seperti sriyatna, penyon, sampora, serta tumpeng robyong juga dibuat.

Sriyatna merupakan makanan yang terbuat dari wijen, kedelai, dan kacang, Sementara itu, penyon merujuk pada jenis makanan berbahan tepung beras yang dikukus kemudian dibuat adonan dan diberi pewarna menggunakan kuning telur.

Sampora, di sisi lain, adalah makanan yang terbuat dari campuran tepung beras dan santan yang dicetak memakai tempurung kelapa. Terakhir, tumpeng robyong merupakan tumpeng berbentuk runcing yang ditempatkan di bakul serta dihias dengan satu tusuk daging kerbau dan berbagai macam lauk.

Baca Juga: Asal-Usul Nama Yogyakarta Menurut Pakar Sejarah dan Bahasa

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya