ilustrasi sapi makan rumput (pexels.com/ Sandeep Singh)
Mitos juga sebuah sistem sosial yang dibuat oleh nenek moyang dengan cermat berdasarkan pengalaman, dan cerdas terhadap apa yang perlu dilakukan agar tercipta harmoni kehidupan. Bahkan, Ibnu juga membagikan pengalamannya yang menunjukkan kalau mitos lebih efektif untuk mengatur masyarakat kecil agar tidak melanggar aturan pemerintah yang berdampak kerusakan alam.
Pada tahun 2004, beliau mendapat laporan ada penambang tradisional yang menggerogoti tebing-tebing yang curam, tentu ini mengancam keselamatan penambang. Ketika sudah bertemu dan hanya mengatakan kalimat peringatan sederhana untuk tidak merusak kondisi jurang tersebut, karena kalau nekat nanti akan merasakan sendiri akibatnya.
Selang beberapa hari masih ada penambang yang nekat dan meninggal di tempat karena tertimbun pasir dan batu yang digalinya sendiri. Semenjak itu gak ada lagi yang berani menambang di tebing.
Nampaknya hal tersebut sejalan dengan Suwardi Endraswara dalam buku Falsafah Hidup Jawa yang menjelaskan mengenai mitos berupa larangan jika dilanggar, masyarakat takut akan mendapat akibat buruk. Sehubungan dengan larangan merumput dan memburu binatang-binatang hutan di lereng Gunung Merapi, jika ada yang nekat terus melanggar, maka ekosistemnya lama-lama rusak, dan ketika erupsi dapat menimbulkan dampak buruk bagi warga setempat hingga merambah ke wilayah lain.
Mari, hormati lingkungan yang jadi habitat satwa liar dengan tidak sembarangan mengeksploitasinya. Ini jadi kontribusi terhadap kelestarian ekosistem yang tentu dampak baiknya akan dirasakan banyak pihak, termasuk masyarakat daerah lain secara lebih luas lagi yang kehidupannya juga dipengaruhi oleh ekosistem Merapi.
Belajar dan memahami jalannya aturan dari nenek moyang tersebut bukan berarti sepenuhnya percaya pada hal-hal mistis semata, karena buktinya memang selaras juga dengan upaya menjaga keseimbangan alam. Generasi mendatang diharapkan juga ikut berperan menjaga kearifan lokal ini tetap lestari.